BAB I
P E N D A H U L U A N
Era
globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap
Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi,
politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai
Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan
bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu
komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa
lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh
secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah
satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai
ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun
mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin
kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur
asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri,
sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak
adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya
sejak jauh hari salah seorang pakar
hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau
adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam
pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus
1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu
dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata
Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita
Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam
menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus
pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata
Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata, baik yang bersifat dan beraliran barat maupun
yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)
Beranjak dari pendapat ahli hukum
tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus
bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap
memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena
berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu
Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel
(WvK) selanjutnya disebut
dengan KUHDagang, dapat
dikatakan telah tidak
sesuai lagi
dengan
perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan
Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996,
Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16
Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya
ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap
keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu
janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas
tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa
Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan
suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN) menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak
lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 :
47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H.
tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
(MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro
dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi
prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
- Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
- Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
- Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
- Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Kelanjutan
gagasan Sahardjo, S.H., yang telah dibawakan pada Kongres MIPI mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono
Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan
Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak
lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak
delapan pasal dari BW tersebut”.
Dasar pertimbangan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung berawal dari
prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, di mana para hadirin yang umumnya
terdiri dari para ahli hukum yang
hadir pada waktu itu menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak
ikut kongres juga menerimanya.
Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang
menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan
keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut,
diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti,
S.H., sebagai pengganti Prof. Mr.
Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak
setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di
Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang
saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah
Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya
dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut
menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin
yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan
pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian
Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW
yang mengharuskan penyerahan
barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang
menggadaikan” (Z.A. Ahmad, 1986
: 51).
Melihat
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan
undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan
yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan
diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus
dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi
hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan,
untuk terus menggali dan mencermati berlakunya
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sesuai
dengan nilai-nilai luhur
bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945
yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya
ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan
peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda
sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah
sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang
berkaitan peraturan-peraturan
peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak
berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan
baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena
ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya
dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum
pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat
pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.
1.
Pertemuan Pertama (K.1)
Pada pertemuan
pertama ini diberikan materi tentang :
a. Pengenalan mata
kuliah, silabus/acuan perkuliahan, referensi/bahan
bacaan dan sasaran perkuliahan;
b. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata.
Ad.1.a. Pengenalan
mata kuliah, silabus/acuan
perkuliahan
Acuan perkuliahan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan
perkembangan hukum perdata pada umumnya baik sifatnya teoritis maupun teknis,
di mana materi kuliah dibagi atas beberapa bab dan sub bab, demikian juga bahan
bacaan yang diperlukan sebagai pendukung perkuliahan.
Sasaran perkuliahan
Mata kuliah hukum perdata
merupakan mata kuliah yang sangat penting yang harus dikuasai oleh setiap
mahasiswa fakultas hukum, karena didalam pembahasannya diberikan dasar-dasar
yang kuat tentang hukum perdata tersebut yang berpedoman pada ketiga buku dari
KUHPerdata. Oleh karenanya setelah mengikuti mata kuliah ini, diharapkan
mahasiswa mengerti dan memahami tentang kerangka hukum perdata tersebut,
sehingga mahasiswa mempunyai landasan yang kuat untuk mengikuti materi kuliah
lainnya yang erat kaitannya dengan keperdataan, seperti hal-hal yang berkaitan
dengan orang, kebendaan dan perikatan yang pada dasarnya secara faktual erat
kaitannya dengan kehidupan masyarakat.
Ad.1.b. Istilah
dan Pengertian Hukum Perdata
Dalam
kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia pada awal berdirinya telah
ditemui berbagai istilah dan atau penamaan dari “hukum perdata”, baik itu pada
Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Istilah dan
atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan berbagai istilah dan
atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum pendidikannya. Demikian
juga halnya dengan kalangan sarjana hukum, namun demikian, dengan adanya Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z. Ansori
Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal adanya
istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat (Z.A. Ahmad,
1986 : 1).
Pembedaan
sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan erat hubungannya dengan sejarah dan
sisa-sisa politik masa lampau dari Penjajahan Kolonial Belanda, yang sampai
saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan
Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu
hukum, mempergunakan istilah "hukum perdata" ditujukan untuk
"hukum perdata BW" dan hukum adat untuk "hukum perdata
adat". Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa dibidang hukum perdata terjadi
dualisme, di mana untuk golongan Erofah diberlakukan hukum perdata (BW)
sebaliknya untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum adat mereka, sementara
itu mengenai hukum perdata BW di maksud, diberlakukanlah di daerah Hindia
Belanda dengan menggunakan asas konkordansi.
Kata-kata
perdata sebagaimana dimaksudkan pertama kali secara resmi terdapat dalam
perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS yakni pada Pasal 15
ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Dalam UUDS RI Tahun 1950 istilah
perdata dapat dilihat pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101 ayat 1 dan Pasal 106 ayat
3. Beranjak dari ketentuan –ketentuan tersebut, terutama penggunaan istilah hukum
perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda yakni burgerlijk recht,
hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS, demikian juga dapat
dilihat dalam Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1952 Tentang Bank Industri
Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952 No. 21 pada tanggal 20
Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28 Pebruari Tahun 1952.
Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht tersebut adalah civiel
recht dan atau privat recht, dalam hal mana burger diartikan sebagai warga
masyarakat, sedangkan privat diartikan dengan pribadi, sebaliknya civiel
berarti warga masyarakat.
Keadaan
tersebut, jika dilihat dalam bahasa Inggrisnya, hukum perdata dikenal dengan
istilah civil law. Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni
“civis”yang berarti warga negara. Hal tersebut berarti, bahwa civil law
atau hukum sipil itu merupakan hukum yang mengatur tentang masalah-masalah yang
berkaitan dengan hak-hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak dari itu,
jika dilihat dari berbagai literatur
yang ditulis para sarjana, juga dijumpai berbagai macam definisi hukum perdata, terkadang satu sama
lainnya berbeda-beda, namun tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu prinsipil. Kebanyakan para sarjana menganggap
hukum perdata sebagai hukum yang
mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan "hukum
publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Dalam
uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli hukum berkaitan
dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain; H.F.A. Vollmar
memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai berikut, hukum
perdata adalah :
“Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan
pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada
kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat antara kepentingan yang satu dengan
kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama
yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas” (H.F.A. Vollmar,
1989: 2).
Selanjutnya
Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dari hukum perdata, menurut
beliau, hukum perdata adalah “hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan
kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan
kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat” (S. Mertokusumo, 1986: 108).
Sementara itu menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa hukum perdata adalah hukum yang mengatur
kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara
perseorangan yang lain (Sri Soedewi, 1975: 1). Demikian juga Van Dunne
memberikan pengertian hukum perdata sebagai berikut :
“hukum perdata merupakan
suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan
individu seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan
hukum publik memberikan jaminan yang menimal bagi kehidupan pribadi” (Van
Dunne, 1987:1).
Dari
beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, maka secara
umum dapat dikelompokkan kedalam dua konsep pemahaman, dikatakan demikian
karena pengertian yang dikemukakan lebih memfokuskan kepada pengaturan
ketentuannya seperti apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi dan Van Dunne.
Sebaliknya pemahaman pengertian lainnya lebih menitik beratkan kepada aspek
perlindungan hukum dan ruang lingkup pembahasannya. Dikatakan demikian, karena
perlindungan hukum sebagaimana dimaksudkan sangat erat berkaitan dengan
perlindungan perseorangan dalam melakukan hubungan hukum dengan perseorangan
yang lainnya. Selanjutnya dalam hal ruang lingkup perhatiannya juga menitik beratkan kepada adanya hubungan kekeluargaan di dalam
pergaulan masyarakat.
Beranjak
dari pemahaman pengertian hukum perdata di atas, dapat dikatakan bahwa pada
prinsipnya hukum perdata itu adalah;
“keseluruhan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang
mengatur hubungan kepentingan orang (persoon) yang satu dengan kepentingan
orang (persoon) lainnya yang terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun
akibat pergaulan dalam masyarakat.
Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana dimaksudkan adalah dalam pengertian
yuridis, artinya disamping manusia sebagai subjek hukum, termasuk juga kedalam pengertian orang (persoon)
tersebut adalah badan hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum
saja.
Hal di
atas berarti, bahwa hukum perdata pada dasarnya mengatur kepentingan orang
(persoon), namun tidak berarti semua hukum perdata secara murni mengatur
kepentingan orang (persoon) tersebut, dikatakan demikian, karena dalam
perkembangan kehidupan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah
diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan dan
perburuhan. Berkaitan dengan itu, sebenarnya hukum perdata tersebut dapat
dilihat dari berbagai sudut pandang,
misalnya dari ruang lingkupnya dan dari sudut isinya. Di lihat
dari ruang lingkupnya, maka hukum perdata ini terdiri atas :
1. Hukum perdata dalam arti luas;
Hukum perdata dalam arti luas ini termasuk kedalamnya, disamping apa
yang diatur dalam hukum perdata BW juga termasuk kedalamnya adalah hal-hal yang
berkaitan dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum dagang (WvK) itu sendiri.
Dikatakan demikian, hal ini disebabkan
keadaan yang ditimbulkan dalam perdagangan yang diatur dalam hukum
dagang (Wv) tidak bisa dilepaskan dari adanya perbuatan keperdataan itu
sendiri, seperti; jual beli, asuransi, pengangkutan dan sebagainya. Sedangkan
pemisahan pengaturan antara hukum perdata BW dengan hukum dagang (WvK) hanya soal
latar belakang sejarah pembuatannya, karena antara hukum perdata BW dan hukum
dagang (WvK) itu sendiri pada dasarnya adalah suatu hal yang tidak bisa
dipisahkan.
2. Hukum perdata dalam arti sempit
Membicarakan hukum perdata dalam arti sempit, dalam hal ini pembahasannya lebih terfokus dengan apa yang diatur dalam hukum perdata BW itu sendiri dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah keperdataan.
2. Pertemuan kedua (K.2)
Pada pertemuan kedua ini dibahas tentang :
a. sejarah
terbentuknya Hukum Perdata BW;
b. Kedudukan
BW/KUHPerdata sebagai undang-undang
setelah Indonesia
merdeka
c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di
Indonesia
Ad. 2. a. Sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
Berkaitan dengan sejarah terbentuknya hukum perdataBW, dalam hal ini
tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata Belanda. Sebaliknya sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda
juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil
Perancis" (R.Syahrani, 1992 : 12). Perjalanan sejarah dari terbentuknya BW
ini, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat Julius Caesar berkuasa di
Eropa Barat, hukum Romawi telah berlaku di Perancis yang berdampingan dengan
hukum Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania yang saling mempengaruhi.
Suatu ketika wilayah
negeri Perancis terbelah menjadi dua daerah hukum yang berbeda. Bagian Utara adalah daerah hukum yang tidak
tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan daerah selatan merupakan daerah
hukum yang tertulis (pays de droit ecrit).
Di Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania sebelum resepsi hukum Romawi. sedangkan di
Daerah Selatan berlaku hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis
pada pertengahan abad ke VI Masehi dari Justianus. Corpus Iuris Civilis pada
zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, terdiri dari 4 bagian,
yaitu (1) Codex Justiniani, (2) Pandecta, (Institutiones, dan (4) Novelles
Codex Justianni berisi kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan
oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan
segala macam undang-undang. Pandecta
memuat kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi yang termashur misalnya Gaius,
Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan sebagainya. Institutiones memuat tentang pengertian
lembaga-lembaga hukum Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang
dikeluarkan sesudah codex selesai. Hanya mengenai perkawinan di seluruh negeri
Perancis berlaku Codex Iuris Canonici (hukum yang ditetapkan oleh Gereja
Katolik Roma). Berabad-abad lamanya keadaan ini berlangsung terus dengan tidak
ada kesatuan hukum.
Pada bagian kedua abad
XVII di negeri Perancis telah timbul aliran-aliran yang ingin
menciptakan kodifikasi hukum yang akan berlaku di negeri itu agar diperoleh
kesatuan hukum Perancis. Pada akhir abad
XVII, oleh Raja Perancis dibuat beberapa peraturan perundang-undangan (seperti
ordonnance Sur les Donations yang mengatur mengenai soal-soal pemberian,
ordonnance Sur les Tertament yang mengatur mengenai soal-soal testamen,
ordonannce Sur les Substitutions fideicommissaires yang mengatur mengenai
soal-soal substitusi. Kodifikasi hukum Perdata di Perancis baru berhasil
diciptakan sesudah Revolusi Perancis (1789-1795), dimana pada tanggal 12
Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat
kodifikasi, yang menjadi sumbernya adalah :
a.
Hukum Romawi yang digali dari
hasil karya-karya para sarjana bangsa Perancis yang kenamaan (Dumolin, Domat
dan Pothier);
b.
Hukum Kebiasaan Perancis,
lebih-lebih hukum kebiasaan dari Paris;
c.
Ordonnance-Ordonnance;
d.
Hukum Intermediare yakni hukum
yang ditetapkan di Perancis sejak permulaan Revolusi Perancis hingga Code Civil
terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata
Perancis, sebagaimana dimaksudkan harus selesai dibentuk tahun 1804 dengan nama
Code Civil des Francais. Code Civil Prancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21
Maret 1804. Setelah diadakan perubahan
sedikit disana-sini, pada tahun 1807 diundangkan dengan nama Code Napolion,
tapi kemudian disebut dengan Code Civil Perancis. Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil
Perancis ini setelah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku
sebagai kitab undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena negeri Belanda
berada di bawah jajahan Perancis. Di
negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun 1813, maka
berdasarkan Undang-Undang Dasar (Grond Wet) negeri Belanda tahun 1814 (pasal
100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum
perdata. Panitia ini diketuai Mr. J.M.
Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper
disampaikan kepda Raja suatu rancangan kodifikasi hukum perdata tapi rancangan
ini tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia (pada waktu itu negeri
Belanda dan negeri Belgia merupakan suatu negera) karena rencana tersebut
disusn Kemper berdasarkan hukum Belanda kuno.
Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia menghendaki agar rancangan itu
disusun menurut Code Civil Perancis.
Setelah mendapat sedikit perobahan, maka rancangan itu disampaikan
kepada Perwakilan Rakyat Belanda (Tweede Kamer)
pada tanggal 22 Nopember 1820. Rencana
ini terkenal dengan
nama
"ontwerp Kemper" (Rencana
Kemper). Dalam perdebatan di Perwakilan
Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan yang hebat dari
anggota-anggota bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland Selatan) yang dipimpin
oleh Ketua Pengadilan Tinggi di Kota Luik (Belgia) yang bernama Nicolai.
Dalam tahun 1822 rencana
Kemper itu ditolak oleh Perwakilan Rakyat Belanda. Setelah Kemper meninggal
dunia tahun 1824, pembuatan kodifikasi dipimpin oleh Nicolai dengan suatu
metode kerja yang baru yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan tentang hukum
yang berlaku yang akan dinilai parlemen.
Setelah diketahui kehendak mayoritas, panitia lalu menyusun
rencana-rencana dan mengajukannya ke parlemen (Perwakilan Rakyat) untuk
diputuskan. Demikianlah cara kerja yang dilakukaan semenjak tahun 1822 sampai
1826 bagian demi bagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda diselesaikan dan
setiap bagian dimuat tersendiri dalam Staatsblad, tetapi tanggal mulai
berlakunya tentu saja ditangguhkan sampai seluruhnya selesai. Dalam tahun 1829 pekerjaan itu selesai dan
diakhiri dengan baik. Undang-undang yang tadinya terpisah dihimpun dalam satu
kitab undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbutkan. Berlakunya ditetapkan tanggal 1 Februari
1931. Pada waktu yang sama dinyatakan
pula berlaku Wetboek van Koophandel (WvK), Burgelijke Rechtsvordering ( BRv).
Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
Berdasarkan azas
konkordansi maka peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda
diberlakukan juga buat orang-orang golongan Eropah di Hindia Belanda. Untuk
itu, dengan firman Raja Belanda tanggal 15 Agustus 1839 No. 102 dibentuk suatu
komisi dengan tugas membuat rencana peraturan-peraturan untuk memberlakukan
peraturan itu sekiranya dipandang perlu. Komisi itu terdiri dari Mr.C.J
Scholten, Mr. I Scheiner dan Mr. I.F.H van Nos. Setelah 6 tahun bekerja komisi
tersebut dibubarkan (dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 No. 68) berhubung dengan permintaan berhentinya Mr.
Scholten van Out Haaslem oleh karena selalu terganggu kesehatannya. Kemudian
dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 timbangan Negara Jhr. Mr. H.I Wichers
diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan Ketua Mahkamah Agung dan
Mahkamah Agung Tentara sebelum berangkat dia diwajibkan bersama-sama Mr.
Scholten van Out Haarlem untuk menyiapakan rencana peralatan hukum buat Hindia
Belanda yang masih belum selesai dikerjakan. Rencana peraturan yang telah
dihasilkan adalah :
1.
Algemene Bepalingen van
Wetgeving voor Nederlandsch Indie (Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia);
2.
Burgelijk Wetboek (Kitab
Undang-undang Hukum Perdata);
3.
Wetboek van Koophandel ( K.U.H.
Dagang ).
4.
Reglement op de Rechterlijke
Organisatie en het Beleid der Justitie (RO = Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi);
5.
Enige Bepalingen betreffende
Misdrijven begaan tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk Overmogen,
mitsgader bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan
yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu
membayar)
Sebagai hasil kerja Mr.
Wicher dan Mr. Scholten van Out Haarlem
maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 No. 1, dan
beberapa hari kemudian berangkatlah Mr. Wicher
ke Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai dikerjakannya serta
telah ditandatangani oleh Raja untuk diberlakukan di Hindia
Belanda. Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu semuanya terdiri
dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847
no. 23. Dalam pasal 1 nya antara lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan
hukum yang dibuat untuk Hindia Belanda adalah : (1) Ketentuan umum
perundang-undangan di Indonesia,
(2) Kitab undang-undang hukum perdata, (3) Kitab undang-undang hukum dagang.
(4) Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan (5) Beberapa
ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam
keadaan nyata tidak mampu membayar.
Kemudian dalam pasal 2 Firman Raja itu ditentukan, bahwa Gubernur
Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan untuk
mengumumkan peraturan-peraturan tersebut di atas di dalam bentuk yang lazim
digunakan di Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 18 Mei 1847 serta untuk
memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.
Dalam sejarah tercatat,
perjalanan kapal yang membawa kitab-kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Indonesia,
sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk memberlakukan
perundang-undangan yang baru itu. Maka oleh karena itu dengan Firman Raja
tanggal 10 Pebruari 1847 Nomor 60 diberikan kuasa kepada Gubernur Hindia
Belanda untuk mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan hukum
tersebut. Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut dikerjakan
oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat sebagai anggota Raad van State
Belanda yang diperbantukan pada Gubernur Jenderal. Tugas Gubernur Jenderal adalah memberlakukan
peraturan-peraturan hukum tersebut (pasal 2 Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 no.
1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers telah membuat beberapa rancangan peraturan
antara lain "Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke
Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiers (golongan hukum Indonesia asli)
en de Vreemde Oosterlingen (golongan hukum Timur Asing) op Java en
Madoera" (Stb. 1848 No. 16 jo 57) yang sekrang sebagai Reglemen Indonesia
Baru (RIB).
Akhirnya dengan suatu
peraturan penjalan (invoeringsverordening) yang bernama "Bepalingen
omtrent de Invoering van en de Overgang tot de Niewe Wetgeving (Stb. 1848 No.
10) yang disingkat dengan "Overgangsbepalingen" (peraturan peralihan)
yang juga disusun oleh Mr. Wichers, maka kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk
Wetboek) menjadi berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei Tahun 1848. Pasal 1
Overgangbapalingen itu menyatakan bahwa, "pada waktu kodifikasi hukum
tersebut mulai berlaku, maka hukum Belanda Kuno, hukum Romawi dan semua statuta
aturan yang baru itu". Dalam pada itu menurut pasal 2 nya, hal tersebut
tidak mengenai hukum pidana.
Berdasarkan fakta-fakta
sejarah tentang terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum
Perdata Belanda dan Burgelijk Wetboek yang diungkapkan di atas ini, maka
jelaslah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang
sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata
yang telah menyerap atau mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan
kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno,
Belanda kuno dan sudah tentu pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam
masyarakat dimana dan dimasa kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu
ratusan tahun yang silam.
Ad.2..b.
Kedudukan BW/KUHPerdata sebagai undang-undang setelah Indonesia
merdeka
Era
globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia
yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM,
keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar
harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain
dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya
yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu,
sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus
era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan
keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan
nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan
kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan
bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign
element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau
dan sangat mendesak adalah keberadaan
hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya
sejak jauh hari salah seorang pakar
hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau
adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam
pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus
1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi
oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya
harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut
aspirasi Bangsa Indonesia”.
Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu
diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada
penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan
tindak-tindak perdata, baik yang
bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan
timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)
Beranjak dari pendapat ahli hukum
tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus
bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap
memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena
berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu
Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel
(WvK) selanjutnya disebut
dengan KUHDagang, dapat
dikatakan telah tidak
sesuai lagi
dengan
perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan
perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok
Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974,
Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan
Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996,
Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16
Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya
ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap
keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu
janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas
tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa
Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan
suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional
(BPHN) menyarankan bahwa: “khusus
KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja
yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad,
1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo,
S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia
(MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro
dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi
prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
- Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
- Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
- Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
- Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).
Kelanjutan
gagasan Sahardjo, S.H., dibawa pada Kongres MIPI mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono
Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan
Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak
lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan ini adalah dengan mencabut berlakunya
sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”.
Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari prasaran dalam Kongres
MIPI Tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan demikian juga halnya
yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya
harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan
Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963
tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti,
S.H., sebagai pengganti Prof. Mr.
Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak
setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di
Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang
saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada
Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah
Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya
dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut
menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan
membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan
pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang
memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang
menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang
digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 :
51).
Melihat
uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan
undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan
yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan
diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus
dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi
hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan,
untuk terus menggali dan mencermati berlakunya
ketentuan peraturan
perundang-undangan yang sesuai
dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan
Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas
tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut.
Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup
lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak
diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang
bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan peninggalan penjajahan tersebut diganti dan
atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan
memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan
zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam
perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek
hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum
Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang
berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang
bagaimana kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek)
sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan "Persoalan
ini pertama kali dilontarkan oleh
Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja Badan Perancang
Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei tahun 1962" (S. Adiwinata,
1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana; "Menteri Kehakiman, pada waktu
itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu problema hukum : "Apakah BW sebagai
kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan
kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ?". Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi
sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya
menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis. Dengan kata lain BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi
Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman" (S. Adiwinata, 1983; 26).
Menanggapi persoalan yang
dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo tersebut dalam pada itu Mahadi berpendapat sebagai berikut:
1.
BW sebagai kodifikasi sudah
tidak berlaku lagi.
2.
Yang masih berlaku ialah
aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana kemerdekaan.
3.
Diserahkan kepada yurisprudensi
dan doktrina untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana
yang tidak bisa dipakai lagi.
4.
Tidak setuju diambil suatu
tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai
aturan-aturan tertulis. Tegasnya, tidak
setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum
kebiasaan (hukum adat), sebab :
- Kelompok-kelompok hukum, yang sekarang di atur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita juga dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang Pokok Agraria. Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam perencanaan Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebahagian dari Buku IV sedang dirancangkan. Dan sebagainya. Jadi, tidak logis kalau yang tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
- Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat, tidak hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tapi masih tetap ada segi "interlokalnya".
- Dengan memperlakukan BW sebagai hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagain besar dari warga negara Indonesia.
- Kedudukan BW rasanya harus kita tilik bergandengan dengan kedudukan KUH Dagang. Dapatkah kita membuat pernyataan bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ?, Apakah tidak ada segi-segi internasionalnya, bandingkan dengan wesel.
- Menjadikan aturan-aturan BW sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam pemikiran hakim madya, yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai administratif yang tidak sedikit jumlahnya itu. Sekarang mereka mempunyai perpegangan, pernama norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan hukum adat, maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa akibat baik kepada mutu keputusan-keputusan hakim yang bersangkutan.(S. Adiwinata, 1983; 34-35).
Mahadi akhirnya
mengusulkan agar persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung melalui yurisprudensinya serta melalui jalan
lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para pengarang di dalam
majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang dapat
dipandang sebagai tidak berlaku lagi. Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap
BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek ini dibawa ke dalam Kongres
Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di
Yogyakarta pada bulan Oktober 1962, yang dikemukakan Wirjono Prodjodikoro, dalam prasarannya yang
berjudul "Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat", di mana dalam
prasarannya itu dikemukakan pemikiran :
1.
Mengingat kenyataan bahwa BW
oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di
negeri Belanda dan untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang Belanda di
Indonesia, yang sudah merdeka lepas dari
belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah untuk memandang BW
tersebut sejajar dengan suatu Undang-undang yang secara resmi berlaku di
Indonesia ?. Dengan kata lain apakah BW yang bersifat kolonial masih pantas
secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di Indonesia sebagai undang-undang?;
2.
Gagasan Menteri Kehakiman
Sahardjo, dalam sidang Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada
bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang,
melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok
hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para
penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan beberapa Pasal
dari BW yang tidak sesuai dengan Indonesia;
3.
Namun oleh karena dalam gagasan
tersebut, BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya
oleh para pengusa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan
sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, BW sebagai pedomanpun
harus dihilangkan sama sekali dari Bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan
suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang, melainkan dengan suatu pernyataan
Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.(Wirjono.P, 1979 : 7-11)
Gagasan tentang kedudukan
hukum BW yang dikemukakan Wirjono dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan
Indonesia tersebut, mendapatkan sambutan dan persetujuan, di mana Mahkamah Agung menyetujuinya dan sebagai
konsekuensinya, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun
1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua PN dan PT di
seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tentang
"gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang".
Sebagai konsekwensi dari gagasan tersebut, kemudian Mahkamah Agung menganggap
tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek :
Pasal-pasal 108 dan 110
BW tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum untuk menghadap
di muka pengadilan tanpa izin dan bantuan suami.
1.
Pasal 284 ayat (3) BW mengenai
pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia
asli. Dengan demikian, pengakuan anak
itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara Ibu dan Anak,
sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga
negara Indonesia.
2.
Pasal 1682 BW yang mengharuskan
dilakukannya suatu perhibahan dengan akta Notaris.
3.
Pasal 1579 BW yang menentukan
bahwa dalam hal sewa menyewa barang si
pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia
akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk
persetujuan sewa menyewa ini dijanjikan
diperbolehkan.
4.
Pasal 1283 BW yang menyimpulkan
bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila
gugatan ini didahului dengan penagihan tertulis.
Mahkamah Agung sudah pernah
memutuskan antara dua orang Tionghoa bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap
sebagai penagihan, oleh karena
sitergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar
hutangnya sebelum hari sidang
pengadilan.
5.
Pasal 1460 BW tentang resiko
seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu yang
sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun
penyerahan barang itu belum dilakukakan. Dengan tidak lagi berlakunya pasal
ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya
pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan
dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau
ya, sampai kapan saatnya.
6.
Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat
(2) BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan bukan
orang Eropah di lain pihak mengenai perjanjian perburuhan.
Ad.2.
c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia
Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1596. Keaneka ragaman hukum ini berawal pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan atas tiga golongan yaitu :
1.
Golongan Eropah, ialah (a)
semua orang Belanda, (b) semua orang Eropah lainnya, (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang
berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang
pada pokoknya berdasarkan atas yang sama seperti hukum Belanda, dan (e) anak
sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang
lahir di Hindia Belanda;
2.
Golongan Bumiputera, ialah
semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk
golongan lain dan mereka yang semua termasuk golongan lain yang telah
membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia;Golongan Timur Asing,
ialah semua orang yang bukan golongan Eropah dan golongan Bumiputera
3.
Selanjutnya dalam pasal 131 IS
dinyatakan bahwa "bagi golongan Eropah berlaku hukum di negeri Belanda
(yaitu hukum Eropah atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumiputera
dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing". Kemudian apabila
kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka hukum
untuk golongan Eropah dapat dinyatakan
berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan
membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasar ketentuan Pasal
131 IS di atas, maka kodifikasi hukum perdata hanya berlaku bagi golongan
Eropah dan mereka yang dipersamakan.
Sementara itu bagi golongan Bumiputera dan timur asing berlaku hukum
adat mereka masing-masing kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropah
diperlakukan terhadap golongan timur asing selain hukum keluarga dan waris.
Selanjutnya ada beberapa peraturan yang khusus dibuat untuk Bumiputera seperti ;
ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74),
ordonansi tentang maskapai Andil Indonesia, disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No.
569 jo 717 dan ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No.
570 jo. No. 717).
Selanjutnya orang-orang
bukan Eropah dapat dengan suka rela menunjukan diri kepada hukum perdata Eropah
hal ini diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama dengan "Regeling
Nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht" (Peraturan
mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropah.
Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri yaitu: penundukan diri
kepada seluruh hukum perdata Eropah (pasal 1 s/d 17), penundukan diri pada
perbuatan hukum tertentu (pasal 29). Mengenai pasal 29 tersebut menentukan jika
seorang bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak
dikenal atau tidak diatur dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara
diam-diam menundukan dirinya pada hukum perdata Eropah misalnya menandatangani
aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang), menandatangani wesel,
menandatangani perjanjian asuransi dan sebagainya.
Diadakannya lembaga
penundukkan diri ini, sedikitnya banyaknya adalah untuk kepentingan orang-orang
golongan Eropah sendiri. Dikatakan demikian sebab seperti dinyatakan oleh Mr.
C.J Scholten ; "bahwa penundukkan sukarela akan memberi keamanan besar dan
keuntungan kepada orang Eropah, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau
perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam orang Eropah, dengan memperlakukan hukum
Eropah atas perjanjian yang dibuatnya itu.
Dengan demikian kepentingan orang Eropah dapat diamankan karena hukum
Eropah merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian
hukum dari pada hukum adat yang tidak tertulis. Lembaga penundukan diri secara
sukarela tidak mungkin terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin
dilakukan oleh orang Indonesia Asli dan Timur Asing terhadap hukum Perdata
Eropah, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang
eropah atau timur asing terhadap hukum adat.
Sebagaimana telah
dikemukakan di atas bahwa lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah
bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya
peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79.
Sebab dengan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 dan Wetbooek van
Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang golongan timur asing, kecuali
hukum keluarga dan hukum waris. Pada Tahun 1917 mulai di adakan pembedaan
antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, karena
untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap bahwa hukum Eropah yang sudah
berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Peraturan tersendiri mengenai hukum
perdata ini bagi mereka, termuat dalam Stb. 1917 No. 129 (yang baru berlaku
untuk seluruh Indonesia
sejak tanggal 1 September
1925). Menurut peraturan ini
seluruh hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali pasal-pasal mengenai
Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku I BW, dimana
bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa diadakan Burgerlijk Stand tersendiri,
serta peraturan tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi) pada bagian II
dari Stb. 1917 No. 129 tersebut.
Dalam pada itu, bagi orang-orang
golongan Timur Asing bukan Tionghoa (Arab, India,
Pakistan
dll), berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Kemudian
dirubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1924 dan mulai
berlaku tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali
mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang hukum ini
tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Tetapi mengenai pembuatan wasiat
(testament) hukum perdata Eropah berlaku juga bagi mereka.
3. Pertemuan Ketiga (K.3)
Pada pertemuan
ketiga di bahas tentang :
a. Dasar Hukum
Berlakunya Hukum Perdata Eropah;
b. Bidang-bidang Hukum Perdata;
c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi;
d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan
Memaksa
Ad.3. a. Dasar
Hukum Berlakunya Hukum Perdata Erofah
Apabila dilihat dalam
Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar sementara 1950
terdapatnya aturan peralihan, di mana salah
satu maksud diadakannya aturan peralihan tersebut adalah "untuk menjadi
dasar berlakunya terus peraturan perundang-undangan yang ada pada saat Undang-Undang Dasar tersebut
diberlakukan". Dengan demikian kefakuman hukum yang dapat menimbulkan
ketidakpastian dan kekacauan dalam masyarakat dalam dihindari. Aturan peralihan
sebagaimana dimaksudkan di atas, dalam UUD 1945 Pasal II nya menentukan :
"segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama
sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Dalam pada
itu Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juga menetukan bahwa
"sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan
Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan
dijalankan oleh Presiden dengan bantuan
sebuah Komite Nasional Pusat".
Berdasarkan Aturan
Peralihan tersebut, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan
dan mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, yang bunyinya sebagai
berikut : "KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, untuk ketertiban masyarakat,
bersandar pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal
II berhubung dengan pasal IV menetapkan peraturan sebagai berikut" :
Pasal 1
"Segala Badan-badan Negara
dan Peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal
17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar
masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar
tersebut".
Pasal 2
"Peraturan ini mulai berlaku
pada tanggal 17 Agustus 1945".
Dalam menjelaskan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945 ini disebutkan
bahwa, diadakan Peraturan Pemerintah tersebut adalah untuk lebih menegaskan
berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.
Pada waktu Indonesia
dijajah oleh Jepang, sampai sebelum tanggal 17 Agustus 1945, berlaku
peraturan-peraturan Pemerintah Balatentara Jepang. Dalam hal mana untuk daerah Jawa dan Madura,
Pemerintah Balatentara Jepang telah mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942
tanggal 7 Maret 1942, dimana dalam pasal 3 dinyatakan : "Semua badan-badan
Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang
dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan
dengan aturan Pemerintah Meliter". Sementara itu untuk daerah-daerah di
luar Jawa dan Madura ada badan-badan dan keluasaan lain Balatentara Jepang yang
tindakan-tindakan dalam hal ini boleh dikatakan sama. Oleh karena itu maka
dapat dikatakan bahwa pada zaman Jepangpun tetap melanjutkan berlakunya
peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda, yang sebenarnya tidak
hanya mengenai hukum perdata, akan tetapi juga hukum-hukum bidang yang lain,
seperti hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan sebagainya.
Berkaitan dengan uraian
di atas, dapat dikatakan, bahwa dengan adanya ketentuan peralihan UUD 1945 dan
Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 sebagaimana dikemukakan, maka segala
peraturan hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dahulu (seperti IS, BW,
WvK, dan sebagainya) dinyatakan tetap
berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ad.3.b. Bidang-bidang Hukum Perdata
Mengenai bidang-bidang
hukum perdata sebagaimana dimaksudkan di atas, Riduan Syahrani mengemukakan,
bahwa dalam ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi dalam 4 bagian yakni :
1.
Hukum perseorangan/badan
pribadi (personenrecht);
2.
Hukum Keluarga (familierecht);
3.
Hukum harta kekayaan
(vermogenrecht);
4.
Hukum waris (erfrecht),
(Wirjono.P, 1979 : 29).
Sementara itu bidang-bidang hukum perdata
menurut undang-undang adalah sebagaimana termuat dalam BW yang terdiri dari 4
buku, antara lain:
Buku I :
Tentang orang (van personen);
Buku II :
Tentang benda (van zaken);
Buku III :
Tentang perikatan (van verbintenissen);
Buku IV :
Tentang pembuktian dan daluwarsa (van bewij en verjaring).
Hukum keluarga di dalam BW dimasukan pada buku I tentang orang. Hal
ini disebabkan oleh karena hubungan-hubungan keluarga berpengaruh besar
terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk
menggunakan hak-haknya itu. Hukum waris
dimasukan dalam Buku II tentang benda oleh karena perwarisan adalah merupakan
salah satu cara untuk memperoleh hak milik (eigendom). Sedangkan hak milik
(eigendom) diatur dalam Buku II. Selain
itu juga dikatan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa hak waris
adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan atas "boedel"
dari orang yang meninggal dunia.
Sedangkan pembuktian dan daluwarsa sebenarnya termasuk hukum acara
perdata sehingga kurang tepat dimasukan dalam BW yang pada asasnya mengatur
hukum perdara materil. Tapi rupanya ada pendapat bahwa hukum acara perdata itu
dapat dibagi dalam dua bagian yaitu bagian materil dan bagian formil. Soal-soal pembuktian dan alat-alat bukti
termasuk bagian materil sehingga dapat juga dimasukan dalam BW sebagai hukum
acara perdata.
Ad.3.c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata yang berlaku secara menyeluruh
seperti mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, dikatakan demikian, karena
sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Aturan Peralihan dari UUD 1945, yakni
sebelum terbentuknya peraturan-peraturan yang beru maka peraturan sebelum
kemerdekaan masih dapat digunakan sebagai acuan. Akan tetapi setelah
kemerdekaan, Pemerintah kemudian membuat
peraturan-peraturan yang sesuai dengan keadaan sekarang dan nilai-nilai luhur
bangsa, sehingga berakibat peraturan peninggalan kolonial tersebut tidak
berlaku lagi, demikian juga halnya dengan beberapa ketentuan dari BW tersebut.
Ketentuan-ketentuan
sebagaimana dimaksudkan di atas, antara laian Undang-undang Nasional dilapangan
perdata yang pertama sekali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi
beberapa ketentuan dalam BW adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yang lahir tanggal 24
September 1960. Berlakunya UUPA ini, maka bagian Buku II BW mengenai benda, sepanjang mengenai bumi, air
dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berlakunya UUPA itu maka
berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen Agraria tanggal
26 Pebruari 1964 nomor Unda 10/3/29
dapat diperinci atas 3 macam :
a.
Ada pasal-pasal
yang masih berlaku penuh karena tidak mengani bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
b.
Ada pasal-pasal
yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu mengatur tentang
bumi, air dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya.
c.
Ada pasal-pasal
yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya
tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan masih tetap
berlaku sepanjang benda-benda lainnya.
(Sri Soedewi, 1975 : 4).
Sementara itu Pasal-pasal
mana dari Buku II BW yang masih berlaku penuh, pasal-pasal mana yang tidak
berlaku dan pasal-pasal mana yang masih berlaku tetapi tidak penuh, Sri Soedewi
Masjhoen Sofwan, dalam bukunya hukum benda memperinci secara garis besar
sebagai berikut :
a.
Pasal-pasal yang masih berlaku
penuh ialah :
- Pasal-pasal tentang benda bergerak yakni pasal 505, 509, 518 BW;
- Pasal-pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, 613 BW;
- Pasal-pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826 - 827 BW;
- Pasal-pasal tentang hukum waris pasal 830 - 1130 BW. Walaupun ada beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris;
- Pasal-pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie) pasal 1130 - 1149 BW;
- Pasal-pasal tentang gadai karena gadai hanya melulu mengenai benda bergerak, pasal 1150 - pasal 1160 BW;
- Pasal-pasal tentang hipotik, karena hipotik meskipun mengenai tanah memang dikecualikan dari pencabutan oleh UUPA, dikurangi pasal-pasal yang tak pernah berlaku berdasarkan pasal 31 O.V (peraturan peralihan perundang-undangan) S. 1848 No.10 setelah berlakunya UUPA ketentuan-ketentuan mengenai segi formil/acara dari hipotik yaitu mengenai pembebanan / pemberian hipotik dan pendaftaran hipotik, mengenai hal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, PP No. 10 tahun 1961, PMA 15 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksana lainnya, namun setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atas Tanah dan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka ketentuan Hipotik atas Tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UUPA No. 5 Tahun 1960, dinyatakan tidak berlaku lagi.
b.
Pasal-pasal yang tidak berlaku
lagi ialah :
- Pasal-pasal tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah;
- Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
- Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak beregerak, tidak pernah berlaku;
- Pasal-pasal tentang kerja Rodipasal 673 BW;
- Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertentangan P 625 - 672 BW;
- Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (erfpachtbaarheid) pasal 674 - 710 BW
- Pasal-pasal tentang Erfpacht pasal 711 - 719 BW;
- Pasal-pasal tentang hak Erfpacht 720 - 736 BW;
- Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil sepersepuluh pasal 737 - 755 BW.
- Pasal-pasal yang mengatur tentang Hipotik atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah.
Pasal-pasal yang masih
berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak berlaku sepanjang mengenai bumi,
air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, masih tetap berlaku
sepanjang mengenai benda-benda lain, ialah :
- Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;
- Pasal-pasal tentang cara membedakan benda pasal 503 - pasal 505 BW;
- Pasal tentang benda tidak mengenai tanah, terletak di antara pasal-pasal 529-568 BW;
- Pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah, di antara pasal 570 BW;
- Pasal-pasal tentang hak memungut hasil (Vruchtgebruuk) sepanjang tidak mengenai tanah pasal 756 BW;
- Pasal tentang hak pakai tidak mengenai tanah, pasal 818 BW. (Sri Soedewi, 1975 : 4).
Berkaitan dengan hal
tersebut di atas, Boedi Harsono mengemukakan, "Kemudian semua pasal-pasal
yang merupakan pelaksanaan atau berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak berlaku
lagi itu, meskipun tidak secara tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II yaitu
dalam Buku III dan Buku IV seperti pasal 1588 s/d 1600 tentang sewa menyewa
tanah, dan pasal 195 dan 1963 tentang verjaring sebagai upaya untuk mndapatkan
hak eigendom atas tanah tidak berlaku lagi. Demikian juga pasal 621,622 dan 623
BW yang mengatur tentang penegasan hak atas tanah yang menjadi wewenang
Pengadilan Negeri, tidak berlaku lagi, karena tempatnya didalam Buku II, yakni
pasal-pasal yang secara tegas dicabut oleh UUPA. Setelah berlakunya UUPA
penegasan hak atas tanah harus menurut cara sebagaimana yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961
tentang "Pendaftaran Tanah" yang telah dicabut dengan berlakunya PP
No. 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pemberian penegasan hak atas tanah itu
dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah saat ini menjadi Badan
Pertanahan Nasional” (B. Harsoeno, 1993 : 127 –131).
Undang-Undang Nasional di
lapangan perdata yang juga cukup besar mengakibatkan tidak berlakunya lagi
beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan yang lahir pada tanggal 2 Januari 1974 ( LNRI 1974 No.1 ).Dengan
adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini, maka pasal-pasal yang mengatur
tentang perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dalam
Buku I BW, sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang Pokok Perkawinan Nasional tersebut dinyatakan
tidak berlaku lagi.
Dalam Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang
perkawinan ini telah diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan,
pencegahan perkawinan, batalnya
perkawinan, perjanjian perkawinan, hak-hak dan kewajiban suami isteri, harta
benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak,
hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, pembuktian asal usul
anak, perkawinan diluar Indonesia dan perkawinan campuran. Maka pasal-pasal
Buku I BW yang mengatur mengenai hal-hal yang telah diatur dalam Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut tidak
berlaku lagi yaitu sekitar pasal-pasal 26 s/d 418a (titel IV s/d XV). Bahkan
pasal-pasal 419 s/d 432 (titel XVI) yang mengatur lembaga pendewasaan
(Handlichting) menjadi tidak berlaku lagi, karena menurut pasal 47
Undang-undang No.1 tahun 1974 seorang anak yang berumur 18 tahun sudah dianggap
dewasa, sehingga terhadap dirinya tidak perlu lagi dilakukan pendewasaan..
Sementara itu dengan
lahirnya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama,
yang disusul Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 tanggal 27
Desember 1966 dan dilengkapi Keputusan Presedium Kabinet No. 127/UKep/12/1966
tanggal 27 Desember 1966 yang diatur lebih lanjut dalam Surat Mendagri No.
Pol.32/12/21 tanggal 9 Juli 1969 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota
seluruh Indonesia maka pasal-pasal Buku I BW sepanjang mengenai hal yang sama
yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak berlaku lagi.
Dalam pada itu
bagian-bagian dan pasal-pasal BW yang tidak
berlaku lagi karena dikesampingkan dan mati karena putussan-putusan hakim yang
merupakan yurisprudensi-yurisprudensi, agaknya tidak mungkin disebutkan
satu-persatu di sini. Akan tetapi untuk menyebutkan sebagai contoh pasal-pasal
atau ketentuan-ketentuan BW yang tidak berlaku lagi karena mati oleh
yurisprudensi adalah pasal-pasal yang disebut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
N0. 3/1963 yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat (3), 1682, 1579, 1238, 1460 dan
1603 x ayat (1) dan (2). Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963
tersebut para hakim tidak merasa takut lagi untuk mengesampingkan pasal-pasal
BW tersebut karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan
masyarakat sekarang.
Ad.3.d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Menurut kekuatan
berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum
yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa
(dwingend recht). Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan
hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang
berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang
orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Misalnya
dalam pasal 1477 BW ditentukan bahwa
penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada
waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Peraturan hukum
ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual
beli sesuatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang
menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah
mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu
barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat
memaksa adalah peraturan- peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau
disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan
hukum mana orang-orang yang bekepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Dalam
pasal 39 Undang-undang No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa "perceraian hanya
dapat dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah yang
telah ditentukan". Peraturan hukum ini bersifat memaksa, sehingga suami
isteri tidak boleh mengadakan perceraian sendiri di luar sidang pengadilan
tanpa alasan yang sah yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata
tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun
hukum perdata itu merupakan bagian dari pada hukum yang mengatur
kepentingan-kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan
kehendak individu yang bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum
yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu tersebut. Hukum
perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung
ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan. Pada bidang-bidang
yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan inilah otonomi individu
dibatasi.
BABI II
HUKUM ORANG
4. Pertemuan
Keempat (K.4)
Manusia Sebagai
Subjek Hukum
Pertemuan keempat, merupakan perkuliahan awal yang telah
memasuki pembahasan bab 2 yang di bahas adalah hukum tentang orang, namun dalam
pembahasannya dikaitkan juga dengan pembahasan hukum perkawinan, hal ini
disebabkan bahwa masalah perkawinan dalam sistematika BW/KUHPerdata dimasukan
kedalam pembahasan hukum orang, namun pada pertemuan keempat ini pembahasan
lebih difokuskan tentang manusia sebagai
subjek hukum yang terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas di dalamnya,
antara alain :
a). Manusia
Manusia adalah
pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk
hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya. Sedangkan orang adalah pengertian juridis
ialah gejala dalam hidup bermasyarakat.
Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person. Menurut hukum modern, seperti hukum yang
berlaku sekarang di Indonesia,
setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi.
Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia
diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan
kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama, golongan,
kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing.
Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pula kepada
kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa
(pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
Manusia sebagai
pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan, dimulai sejak lahir dan baru
berakhir apabila mati atau meninggal dunia.
Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata
ditergaskan pada pasal 2 yang menentukan
sebagai berikut :
(1)
Anak yang ada dalam kandungan
seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan
si anak menghendakinya;
(2)
Mati sewaktu dilahirkan,
dianggaplah ia tak pernah telah ada".
Ketentuan yang
termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut
"rechtsfictie". Ketentuan ini
sangat penting dalam hal warisan misalnya. Demikian juga dalam pasal 236
KUHPerdata ditentukan; “bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia
telah ada pada saat pewaris meninggal dunia”.
Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia
hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia. Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang
anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah
dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak
dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak
pernah telah ada. Artinya kalau anak
(bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka ia
ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah
merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2 BW terlihat pada contoh
kasus sebagai berikut. Seorang ayah pada
tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia
mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung).
Seandainya pasal 2
BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah yang meninggal dunia itu
tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan jandanya (istrinya).
Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu lahir hidup dan segar
bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan
ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masing-masing
mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya
meninggal dunia tidak mendapat apa-apa.
Keadaan ini dirasakan tidak adil,
namun keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris. Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang istri/janda). Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik. Adapun bagiannya mendaji warisan. Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal itu menjadi pewaris. Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudaranya dan ibunya.
Sebagaimana telah
dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam
perdata adalah apabila ia meninggal dunia.
Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai
kewenangan berhak. Pasal 3 BW menyatakan
:"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan
segala hak perdata". Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi
kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut
antara lain adalah :
1.
Kewarga-negaraan; misalnya
dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang
dapat mempunyai hak milik;
2.
Tempat tinggal; misalnya dalam
psal 3 Peraturan Pemerintah No. 24 tahun 1960 dan pasal I Peraturan
Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2)
UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat
tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya;
3.
Kedudukan atau Jabatan;
misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang
yang masih dalam perkara.
4.
Tingkah laku atau Perbuatan;
misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan, bahwa
kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam
hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua /wali atau berkelakuan
buruk sekali.
b). Ketidak
Cakapan
Selanjutnya
meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban atau
subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk
melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid).
Orang-orang yang menurut undang-udang dinyatakan tidak cakap untuk
melakukan perbuatan hukum adalah :
1.
Orang yang belum dewasa, yaitu
anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan
perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU no. 1 tahun 1974);
2.
Orang-orang yang ditaruh di
bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata
gelap, dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW);
3.
Orang-orang yang dilarang
undang-undang melakukan perbuatan-perbuatan
hukum tertentu, misalnya orang
dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
Jadi orang yang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa dan sehat akal fikirannya serta tidak
dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum
tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang ditaruh di bawah
pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh
orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator). Sedangkan penyelesaian hutang-piutang
orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan (weeskamer).
Uraian di atas
dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid)
yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang cakap untuk
melakukan perbuatan hukum. Orang yang
cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu
berwenang untuk melakukan perbuatan
hukum (rechtsbevoegheid). Dengan demikian rechtbekwaamheid
adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat
khusus untuk melakukan perbuatan hukum.
c). Pendewasaan
Dalam sistim hukum
perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan
perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan
(handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432. Pendewasaan merupakan suatu cara untuk
meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur
21 tahun. Jadi maksudnya adalah
memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada
orang-orang yang belum dewasa.
Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapi
umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi
lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang sudah tidak relevan lagi dengan
adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1)
yang menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah
dewasa. Ketentuan Undang-Undang
Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh
Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76 dalam perkara perdata antara Masrul Susanto
alias Tan Kim Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
Dalam pergaulan
hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sedemikian banyaknya,
maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan orang yang satu
dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan
hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan yang diperlukan ialah nama.
d). Nama
Bagi golongan
eropah dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I
titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang nama-nama,
perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan. Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang No. 4
tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang
ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropah dan
mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu
merupakan indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum. Bahwa dari nama itu sudah dapat diketahui
keturunan siapa seorang yang bersangkutan.
Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal
lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Nama seorang golongan Eropah pada
umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama kecil" (misalnya Karel,
Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan sendiri oleh orang tuannya dan
"nama keluarga" seperti (Bakker, Koch, Tounssen dan sebagainya) yang
dipakai oleh bapak dan ibunya.
e). Tempat
Tinggal
Selain dari pada
nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu hak/atau kewajiban
serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata
ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili). Kepentingan adanya ketentuan
tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia berkediaman pokok. Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat
kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh
berada. Tempat tingggal dibedakan atas 2 macam :
1.
Tempat tinggal yang
sesungguhnya. Di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang
melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada
umumnya. Tempat tinggal yang
sesungghnya dapat dibedakan pula atas 2
macam, yakni :
- Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung pada hubungannya dengan pihak lain.
- Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung pada hubungannya dengan pihak lain. Misalnya : tempat tinggal anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat tinggal dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2.
Tempat tinggal yang
dipilih. Dalam suatu sengketa dimuka
pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat
memilih tempat tinggal lain dari pada tempat tinggal mereka yang
sebenarnya. Pemilihan tempat tinggal ini
dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu
dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang
memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam
Undang-Undang tidak lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang
meninggal pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti :
pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang
dipersengketakan ; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan
siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak
dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian" melainkan
"tempat kedudukan". Secara
yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya
menetap. Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad. Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal
yang memuat dalam BW Buku I pasal 17 s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan
Undang-Undang Tata Usaha maupun Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang
itu tidak menentukan lain.
f). Keadaan Tidak
Hadir
Bilamana seseorang
untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya,
tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili
dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak ditempat orang itu
tidak menimbulkan persoalan. Akan tetapi
bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak
memeberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk
mengurus harta kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak
ditempatnya orang itu menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan
bagaimana mengurus harta kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat
tinggal itu tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek
hukum, namun keadaan tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang
tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk
undang-undang perlu mengaturnya.
Ketentuan mengenai
keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezigheid) termuat dalam BW
Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Bilblad V dan Stb. 1949
No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa atau
tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa yang berhubungan
dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal
dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif (pasal 484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu
ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau
sudah meninggal dunia ; akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh
atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil
baginya. Pada masa ini Pengadilan Negeri
tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta
Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan
orang tersebut. Sekiranya harta kekayaan
dan kepentingan orang yang tidak
ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili
kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau
lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.
Masa yang
berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin
meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat
tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan
bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum
dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali.
Hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada
ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat
sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
Sedangkan masa
pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang
tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30
tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100
tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu. Meskipun
demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut tetap
mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang
ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan
kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu
(pasal 486 dan pasal 487). Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang
akibat-akibat keadaan ditempat yang berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan
berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW
mengenai afwezigheid yang behubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak
relevan lagi.
Pentingnya pengaturan
mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir terutama adalah pada
masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar. Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana
hubungan antar daerah atau antar negara sudah lancar. Untuk masa sekrang pengaturan
mengenai keadaan tidak ditempat tetap ada gunanya, satu dan hal-hal bila
terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan dimana orang banyak yang hilang
dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.
5. Pertemuan
Kelima (K.5)
Badan Hukum
Sebagai Subjek Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
Dalam pergaulan
hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subjek
hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek hukum lain yang
sering disebut "badan hukum" (rechtspersoon). Sebagai halnya subjek hukum manusia, badan
hukum inipun dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula
mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhouding) baik
antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lain maupun antara badan hukum
dengan orang manusia (natuurlijkpersoon). Karena
itu badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar
menukar, sewa menyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
Dengan demikian
badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa sebagai
lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia. Dan sebagai subjek hukum yang tidak berjiwa maka badan hukum tidak dapat dan
tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan,
melahirkan anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum (rechtspersoon)
disamping manusia tunggal
(natuurlijkpersoon) adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu
kebutuhan hukum pergaulan ditengah-tengah masyarakat. Sebab, manusia selain mempnuayi kepentingan
perseorangan (individuil), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan
bersama yang harus diperjuangkan bersama pula.
Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan
membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka. Mereka juga memasukan harta kekayaan
masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern
yang hanya berlaku dikalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan
hukum, semua orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung
dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap perlu sebagai kesatuan yang baru,
yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat
bertindak hukum sendiri.
b. Teori-Teori
Tentang Badan Hukum
Untuk mengetahui
hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul
bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Ada beberapa teori
mengenai badan hukum ini, antara lain:
a) Teori Fictie dari Von Savigny
Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja. Badan hukum itu hanyalah fiksi, yankni
sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam
bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti
manusia. Teori ini diikuti juga oleh
Houwing.
b) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens Theorie)
Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek
hukum. namun, kata teori ini ada
kekayaan (Vermogen) yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat
tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada mempunyainya dan yang tidak terikat
kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan
oleh A. Brinz, dan diikuti oleh Van Der Heyden.
c) Teori Organ dari Otto Van Gierke
Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan
(hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang
riel, yang menjelma sungguh-sungguh dalam
pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan
alat-alat yang ada padanya (penguru,
anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indra dan
sebagainya. Pengikut teori organ ini
antara lain Mr. L. Polano.
d) Teori Propriete Collective
Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak
dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota
bersama-sama. Kekayaan badan hukum
adalah kepunyai bersama-sama anggotanya.
Orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan yang membentuk
suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.
Oleh karena itu badan hukum
adalah suatu konstruksi yuridis saja.
Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
e) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, kongkrit,
riil, walaupun tidak bisa diraba bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori
yang dikemukakan oleh Mejers ini
menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia
terbatas sampai pada bidang hukum saja. Meskipun
teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat
badan hukum, namun teori-teori itu sependapat bahwa badan hukum dapat ikut
berkecimpung dalam pergaulan hukum di masyarakat, artinya hanya dalam lalu
lintas hukum saja.
c. Pembagian
Badan-Badan Hukum
Menurut pasal 1653
BW badan hukum di bagi atas 3 macam yaitu :
1.
Badan hukum yang diadakan oleh
pemerintah/kekuasaan umum misalnya daerah tingkat I, daerah tingkat II/
Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
2.
Badan hukum yang dikaui oleh
Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan
organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3.
Badan hukum yang didirikan
untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan
kesusilaan, seperti PT, perkumpulan asuransi dan perkapalan.
Badan hukum dapat
dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam :
1.
Koorperasi (coorporatie) adalah
gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak
bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini
merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan
kewajiban-kewajiban para anggotanya. Misalnya PT (NV), perkumpulan asuransi,
perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan
sebagainya.
2.
Yayasan (stiching) adalah harta
kekayaan yang ditersendirikan untuk tujusn tertentu. Jadi pada yayasan tidak
ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya.
Batas antara
korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul beberapa ajaran untuk
membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai berikut :
a.
Pada korporasi para anggotanya
bersama-sama mempunyai kekayaan dan bermacam-macam kepentingan yang berwujud
dalam badan hukum itu; sedangkan pada yayasan kepentinan yayasan tidak terlekat
pada anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.
b.
Dalam korporasi para anggota
bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan
dalam yayasan yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
c.
Dalam korporasi yang menentukan
maksud dan tujuannya yang menentukan maksud dan tujuannya ditetapkan oleh
orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berdiri di luar badan tersebut.
d.
Pada korporasi titik berat pada
kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan pada yayasan titik berat pada suatu
kekayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan hukum ini dapat pula dibedakan atas dua jenis :
1. Badan hukum Publik
2. Badan Hukum privat
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk menentukan suatu badan hukum termasuk pada
hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada dua macam :
a.
Berdasarkan terjadinya, yakni
"Badan Hukum Privat" didirikan oleh perseorangan, sedangkan
"badan hukum publik" didirikan oleh pemerintah/negara.
b.
Berdasarkan lapangan kerjanya,
yakni apakah lapangan kerja itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau
lapangan pekerjaannya utnuk kepentingan umum maka badan hukum tersebut
merupakan badan hukum publik, jika lapangan pekerjaannya untuk kepentingan
perseorangan maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan Hukum Publik misalnya :
- Negara RI
- Daerah Tingkat I
- Daerah Tingkat II/Kotamadya
- Bank-bank Negara (Seperti Bank Indonesia)
Badan Hukum Privat misalnya :
- Perseroan Terbatas
- Koperasi
- Perkapalan
- Yayasan
- Dan lain-lain
d. Peraturan
Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
BW tidak mengatur
secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum. Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya
termuat pada Buku III titel IX pasal 1653 s/d 1665 dengan istilah "van
zedelijke lichamen" yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu
diatur dalam buku II tentang Perikatan.
Hal ini memnimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah
persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I tentang orang.
Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain
termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1870 No. 64 tentang
pengakuan badan hukum ; Stb. 1927 No. 156
tentang gereja dan
organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo 717 tentang badan
hukum Indonesia; Stb. 1939 No. 569 jo, 717 tentang Indonesische maatschappij op
aandelen (IMA); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang PT yang telah dicabut
dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang PT, Undang-undang
Yayasan No. 31 Tahun 2000, Perseroan Perkapalan dan perkumpulan asuransi ;
Undang-Undang pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi;
dan lain-lain.
Dalam pada itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi
oleh suatu badan/perkumpulan/ badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan
hukum (rechtspersoon). Menurut doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai
berikut di bawah ini :
1) Adanya
harta kekayaan yang terpisah. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota
maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah
untuk suatu tujuan tertentu. Adanya
harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari
pada badan hukum yang bersangkutan. Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari pemasukan anggota-anggotanya, namun terpisah
dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuatan
pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan tersebut, sebaliknya
perbuatan badan hukum yang diwakili
pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai tujuan tertentu
Tujuan
tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersiil yang
merupakan tujuan tersendiri dari pada badan hukum. Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau
beberapa orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan
sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai
itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum
yang bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
Dalam
mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi
oleh hukum. Kepentinga-kepentingan
tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa
hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri dan dapat
menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan
hukumnya. Kepentingan sendiri dari
badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu-waktu yang
pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada
organisasi yang teratur
Badan
hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum disamping manusia badan hukum hanya dapat
melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya. Bagaimana tata cara organ badan hukum yang
terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu
dipilih, diganti dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan
peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota yang tiada lain dari pada
pembagian tugas. Dengan demikian badan
hukum mempunyai organisasi. Pada akhirnya yang menentukan suatu
badan/perkumpulan atau perhimpunan
sebagai badan hukum atau tidak adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku
pada suatu daerah / negara tertentu, pada waktu tertentu dan pada masyarakat
tertentu. Misalnya di Perancis dan
Belgia, hukum positifnya mengakui perseroan Firma sebagai badan hukum. Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak
mengakuinya sebagai badan hukum.
Syarat mutlak untuk
diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan hukum itu harus mendapat
izin dari Pemerintah cq. Departemen Kehakiman (d/h Gubernur Jenderal - pasal 1 Stb. 1870 No. 64).
e. Perbuatan
Badan Hukum
Sebagaimana
dikatakan, bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang berjiwa seperti manusia,
karena itu badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri,
melainkan harus diwakili oleh orang-orang manusia biasa. Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk
dirinya sendir tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang
bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut "organ" (alat
perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang
merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
Bagaimana organ
dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa
saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini ditentukan dalam
anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan-peraturan
lainnya. Dengan demikian organ badan
hukum tersebut tidak dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian
rupa oleh ketentuan-ketentuan intern yang berlaku dalam badan hukum itu, baik yang termuat dalam
anggaran dasar maupun peraturan-peraturan lainnya.
Tindakkan organ
badan hukum yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan, tidak menjadi
tanggung jawab badan hukum, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi organ yang
bertindak melampaui batas itu, terkecuali tindakan itu menguntungkan badan
hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan
itu. Persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi ini harus masih dalam
batas-batas kompetensinya. Hal ini
sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 1656 BW yang menyatakan :
"Segala perbuatan, untuk mana para pengurusnya tidak berkuasa
melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu
sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar
perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah".
f. Prosedur
Pembentukan Badan Hukum
Pembentukan badan
hukum dapat dilakukan, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dengan
perjanjian. Badan hukum yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan,
status badan hukum itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya pembentukan
Perum, Persero, Perjan dan lain-lain. Sebaliknya badan hukum yang dibentuk
melalui perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh Pemerintah melalui
pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu
adalah kesepakatan yang dibuat para pendiri, misalnya dalam pendirian PT, Koperasi dan lain-lain.
6. Kuliah Keenam
(K.6)
HUKUM
PERKAWINAN
A.
PENDAHULUAN
1.
Dasar
Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang
berlaku sekarang ini antara lain adalah:
a.
Buku I dari
Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI.
b.
Undang-Undang
No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.
Undang-Undang
No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d.
Peraturan
Pemerintah No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan.
e.
Peraturan
Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan
Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi
Pegawai Negeri Sipil.
f.
Instruksi
Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1 -170
KHI).
2. Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan
lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri
dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan
Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat
di dalam KUHPdt, tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Menurut
Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam
adalah pernikahan, yaitu akad yang
sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan
melaksanakannya merupakan ibadah.
Disamping pengertian tersebut
diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana, yaitu:
a.
Menurut Prof.
Subekti, S.H.: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki
dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.(Subekti, 1997; 23)
b.
Menurut Prof.
Ali Afandi, S.H.: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.(Ali
Afandi, 1997; 94)
c.
Menurut Prof.
Mr. PaulScholten: Perkawinan adalah hubung-an hukum antara seorang pria
dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh
negara.(R.Soetojo P, 1985; 31)
d.
Menurut Prof
Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Perkawinan yaitu suatu hidup bersama
dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang
termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.(Wirjono P, 1990; 7)
e.
Menurut Prof.
Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Perkawinan adalah suatu hubungan antara orang wanita
dan pria yang bersifat abadi.(Soediman K, 1994; 36)
f.
Menurut K.
Wantjik Saleh, S.H: Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang
pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri. (K.Wantjik Saleh, 1996; 14)
Dari uraian definisi di atas, maka
dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan
lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu
keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hukum
Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya
melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang
melangsungkan perkawinan tersebut.
3.
Bentuk-bentuk Perkawinan
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat
dilihat dari dua segi, yaitu:
a. Dilihat dari segi jumlah suami
atau isteri
Ditinjau dari segi jumlah
suami atau isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1)
Perkawinan Monogami ialah perkawinan antara seorang pria dengan seorang
wanita. Bentuk perkawinan ini
paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-Undang Perkawinan.
2)
Perkawinan
Poligami ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita
ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Dengan
demikian, bentuk perkawinan ini dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:
a)
Poligini,
yaitu perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita.
b)
Poliandri,
yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Misalnya
pada orang Eskimo, orang Markesas di Oceania, orang Philipina di Pulau Palawan dan sebagainya.
b. Dilihat dari segi asal suami-isteri
Apabila ditinjau dari segi asal suami-isteri,
maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1) Perkawinan Eksogami ialah perkawinan antara pria
dan wanita yang berlainan suku dan ras. Misalnya: masyarakat di Tapanuli,
Minangkabau dan Sumatera Selatan.
2) Perkawinan Endogami ialah perkawinan antara pria
dan wanita yang berasal dari suku dan ras yang sama. Misalnya: masyarakat
Toraja.
3) Perkawinan Homogami ialah perkawinan antara pria
dan wanita dari lapisan sosial yang sama. Misalnya: orang kaya cenderung kawin
dengan anak orang kaya pula, suku Batak cenderung kawin dengan anak dari
keluarga Batak pula, dan sebagainya.
4) Perkawinan Heterogami ialah perkawinan antara pria
dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan. Misalnya: orang keturunan
bangsawan menikah dengan orang biasa, orang Batak menikah dengan orang Sunda.
Disamping bentuk-bentuk perkawinan di atas,
terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan lainnya, yaitu:
a. Perkawinan Cross Cousin
Ialah perkawinan antara saudara sepupu, yakni
anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah.
Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan sebagainya.
b. Perkawinan Parallel Cousin
Ialah perkawinan antara anak-anak dari ayah
mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
c.
Perkawinan Eleutherogami
Ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya
dalam perkawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya.
Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera Timur, Kalimantan,
Minahasa, Ternate, Bali
dan sebagainya.
B.
PERKAWINAN MENURUT KUHPdt
1.
Asas Monogami dalam Perkawinan .
Hukum Perkawinan
yang diatur dalam KUHPdt berasaskan monogami dan berlaku mutlak. Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan
mempunyai seorang isteri saja, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan
ketentuan Pasal 27 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUHPdt). Hal ini berarti, bahwa
perkawinan itu sah apabila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum.
Sementara itu dalam KUHPdt tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal
ini ditegaskan dalam Pasal 81 nya, di mana upacara keagamaan tidak boleh
dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di
dalam KUHPdt, perolehan keturunan bukan merupakan tujuan perkawinan.
2. Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Hukum
Perdata Barat (KUHPdt), syarat sahnya perkawinan (syarat materil) adalah:
a.
Berlaku
asas monogami (Pasal 27);
b.
Harus ada
kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 );
c.
Seorang
pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29);
d.
Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai,
yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34);
e.
Anak-anak
yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka
(Pasal 35). Sementara itu, mengenai izin kawin ini diatur dalam
ketentuan-ketentuan berikut ini:
1)
Jika wali
ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada
izin dari wali pengawas (Pasal 36).
2)
Jika kedua
orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka
yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu,
sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37);
3)
Anak luar
kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak
dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak
yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara
orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka
Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39);
4)
Anak luar
kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa
izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40);
5)
Untuk anak yang
sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin
dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak
dapat memintanya dengan perantaraan hakim (Pasal 42).
f. Tidak terkena larangan kawin
(Pasal 30-33).
3.
Larangan Perkawinan
Mengenai larangan perkawinan,
di dalam KUHPdt ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara:
a. Mereka yang bertaiian keluarga
dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan
menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan
(Pasal 30);
b. Ipar laki-laki dan ipar
perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau
cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki
saudara atau cucu
laki saudara (Pasal 31);
c.
Kawan
berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah, oleh putusan hakim
(Pasal 32);
d.
Mereka yang
memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat
waktu 1 tahun (Pasal 33).
7.
Kuliah Ketujuh (K.7)
4.
Perjanjian Perkawinan
Janji-janji kawin tidak menimbulkan
hak untuk menuntut di mu-ka Hakim akan berlangsungnya perkawinan dan menuntut
penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat kecideraan yang di-lakukan
terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti-rugi dalam hal ini adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Pada umumnya,
seorang anak yang masih di bawah umur (belum mencapai umur 21 tahun), tidak
diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau
walinya, oleh undang-undang diadakan pengecualiannya. Menurut Pasal 151 KUHPer,
seorang anak yang belum dewasa yang memenuhi syarat untuk kawin, diperbolehkan
bertindak sendiri dalam menyetujui perjanjian kawin, asalkan ia
"dibantu" oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi
izin kepadanya untuk kawin.
Setiap perjanjian kawin harus dibuat
dengan akte notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan perjanjian mulai
berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 147). Perjanjian kawin
ini mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di Kepaniteraan
Pengadilan Negeri setempat, dimana pernikahan itu telah dilangsungkan (Pasal
152). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun
tidak boleh diubah (Pasal 149).
Di dalam ketentuan Pasal 13 9-143
KUHPdt juga diatur mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian
kawin, yaitu:
a. Tidak boleh bertentangan
dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
b. Tidak boleh melanggar
kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
c. Tidak boleh melanggar hak
kekuasaan orang tua.
d. Tidak boleh melanggar hak yang
diberikan Undang-Undang kepada suami atau isteri yang hidup terlama.
e. Tidak boleh melanggar hak
suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan suami-isteri.
f. Tidak boleh melepaskan haknya
atas legitieme portie (hak mutlak) atas warisan dari keturunannya dan
mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
g. Jidak boleh diperjanjikan
bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang lebih besar daripada
bagian keuntungannya
h. Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum, bahwa
ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, adat
kebiasaan, atau peraturan daerah.
5. Pemberitahuan, Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan
Semua orang yang hendak kawin, harus
memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah
satu dari kedua pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik
sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan
kehendak kedua calon suami-isteri, dan tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai
Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51). Menurut Pasal 52 KUHPdt,
sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan
pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama daripada
gedung dalam mana register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap
tertempel selama 10 hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu
atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal,
dan hari Mikraj Nabi. Surat
itu berisi:
a.
Nama, umur,
pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-isteri dan jika salah seorang atau
keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b.
Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.
Kemudian, surat itu ditandatangani oleh
Pegawai Catatan Sipil. Jika kedua calon suami-isteri tak mempunyai tempat
tinggal dalam daerah Pegawai Catatan
Sipil yang sama, maka pengumuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil
tempat tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPdt). Pengumuman hanya berlaku
selama 1 bulan; apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan perkawinan, maka
perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, untuk itu pengumuman harus diulang
sekali lagi (Pasal 57). Pada
asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal
100).
6. Pelaksanaan Perkawinan
Menurut Pasal 71 KUHPdt, sebelum
melangsungkan perkawinan, Pegawai Catatan Sipil harus meminta supaya
diperlihatkan kepadanya:
a. Akta kelahiran calon
suami-isteri masing-masing.
b. Akta yang dibuat oleh pegawai
catatan sipil tentang adanya izin kawin dari mereka yang harus memberi izin,
izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri.
c. Akta yang memperlihatkan
adanya perantaraan Pengadilan Negeri.
d. Jika perkawinan itu untuk
kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian suami atau di
dalam hal ke-tidakhadiran suami atau isteri yang dahulu, turunan izin Hakim
untuk kawin.
e. Akta kematian segala mereka yang sedianya harus
memberikan izin kawin.
f. Bukti, bahwa pengumuman kawin
tanpa pencegahan telah berlangsung di tempat, di mana pengumuman itu
diperlukan, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah digugurkan.
g. Dispensasi kawin yang telah diberikan.
h. Izin bagi para perwira dan militer rendahan yang
diperlukan untuk kawin.
Pegawai Catatan
Sipil berhak menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasar atas kurang
lengkapnya surat-surat yang diperlukan. Dalam hal demikian, pihak-pihak yang
berkepentingan dapat
memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu
sudah mencukupi (Pasal 74). Perkawinan
tak boleh dilangsungkan sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumumannya
(Pasal 75).
Perkawinan harus dilangsungkan
dimuka umum, dihadapan Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari
kedua belah pihak, dan
dengan dihadiri oleh dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang
telah mencapai umur 21 tahun dan berdiam di Indonesia (Pasal 76). Untuk
melangsungkan perkawinan, kedua calon suami-isteri harus menghadap sendiri di
muka Pegawai Catatan Sipil (Pasal 78).
7. Pencegahan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 61-65 KUHPdt,
para pihak yang ber-hak mencegah berlangsungnya suatu perkawinan adalah:
a. Bapak atau ibu mereka.
b. Kakek atau nenek.
c.
Paman dan
bibi mereka.
d.
Wali atau
wali pengawas.
e.
Pengampu
atau Pengampu Pengawas.
f. Saudara lak-laki atau
saudara perempuan.
g.
Suami yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas isterinya sebelum 300 hari lewat, setelah pembubaran
perkawinan.
h.
Jawatan
Kejaksaan.
Sebaliknya adanya alasan pencegahan
perkawinan, menurut Pasal 61 KUHPdt, disebabkan beberapa hal:
a. Tidak mengindahkan izin kawin
dari orang tuanya.
b.
Belum
mencapai usia 30 tahun.
c.
Salah satu
pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal budinya.
d.
Salah satu
pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk kawin
e. Jika pengumuman kawin tidak
telah berlangsung.
f. Jika salah satu pihak ditaruh
di bawah pengampuan, karena tabiatnya yang boros dan perkawinan mereka
nampaknya akan membawa ketidakbahagiaan.
Pencegahan perkawinan diadili
oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya Pegawai Catatan Sipil
yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai tempat kedudukannya (Pasal 66
KUHPdt).
8. Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 85 KUHPdt, kebatalan
suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim, selanjutnya menurut Pasal
86, kebatalan suatu perkawinan dapat dituntut oleh:
a.
Orang yang
karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari
suami-isteri.
b.
Suami atau
isteri itu sendiri.
c. Para keluarga dalam
garis lurus ke atas.
d.
Jawatan Kejaksaan.
e. Setiap orang yang
berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu.
Dalam pada itu, menurut
Pasal 92 KUHPdt, pembatalan suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak di depan
Pegawai Catatan Sipil yang ber-wenang, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh
sejumlah saksi sebagaimana mestinya, maka boleh dimintakan pembatalannya oleh:
a.
Suami-isteri
itu sendiri.
b.
Para
keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas.
c.
Wali atau
wali pengawas.
d.
Setiap
orang yang berkepentingan.
e.
Jawatan
Kejaksaan.
Pasal 93 KUHPdt mengatur mengenai
larangan terhadap pihak-pihak tertentu untuk melakukan pembatalan perkawinan,
yaitu:
a. Anggota keluarga sedarah dalam
garis ke samping.
b.
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c.
Orang lain yang bukan keluarga selama suami-isteri masih hidup.
Selanjutnya, setelah suatu perkawinan dibubarkan, Jawatan Kejaksaan tidak diperbolehkan
menuntut pembatalan perkawinan (Pasal 94). Suatu perkawinan walaupun telah
dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap suami-isteri
mau-pun terhadap anak-anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami-isteri
kedua-duanya telah dilakukan dengan itikad baik (Pasal 95 KUHPer).
9. Hak dan Kewajiban Suami-isteri
Menurut KUHPdt, hak dan kewajiban tersebut
antara lain :
a. Suami dan isteri harus setia
dan tolong-menolong (Pasal 103);
b. Suami-isteri wajib
memeliharadan mendidikanaknya (Pasal 104);
c. Setiap suami adalah kepala
dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat 1);
d. Suami wajib memberi bantuan
kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2);
e. Setiap suami harus mengurus
harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3);
f.
Setiap
suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4);
g.
Suami tidak
diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak
milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5);
h.
Setiap
isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1);
i.
Setiap
isteri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2);
j.
Setiap
suami wajib membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110);
k.
Setiap
isteri berhak membuat surat
wasiat tanpa izin suaminya (Pasal 118).
Menurut ketentuan Pasal 111 KUHPdt
menegaskan, bantuan suami kepada isterinya tidak diperlukan apabila:
a. Si isteri dituntut di muka
Hakim karena sesuatu perkara pida-na.
b. Si isteri mengajukan tuntutan
terhadap suaminya untuk men-dapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat
tidur, atau pemisahan harta kekayaan.
8. Kuliah Kedelapan (K.8)
10. Harta Benda dalam Perkawinan
a. Persatuan Harta Kekayaan
1)
Pengurusan
harta kekayaan persatuan
Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh
aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam
perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Menurut Pasal 119, prinsip harta benda
perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami dan isteri. Sedangkan yang
berwenang bertindak atas harta benda perkawinan adalah suami, baik untuk harta
pribadi isteri (Pasal 105 yaitu suami sebagai kepala perkawinan) atau harta
persatuan (Pasal 124 ayat 1 yaitu suami sebagai kepala harta persatuan).
Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat
(2) KUHPdt, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membebani harta
kekayaan persatuan, tanpa campur tangan si isteri, kecuali dalam hal-hal
berikut ini:
a)
Tidak
diperbolehkan menghibahkan barang-barang tak bergerak dan semua barang bergerak
dari persatuan, kecuali memberi kepada
anak (Pasal 124 ayat 3);
b)
Tidak
diperbolehkan menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun
diperjanjikan, ia tetap menikmati pakai hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4);
c)
Meskipun ada
persatuan, di dalam suatu perjanjian ka-win dapat ditentukan, bahwa barang tak bergerak dan piutang atas
nama isteri yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan si isteri, tidak dapat
dipindah atau dibebani (Pasal 140 ayat 3).
Jika si suami tidak hadir atau tidak
mampu untuk menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera sangat
dibutuhkannya, maka si isteri dapat meminta izin Pengadilan memindahtangankan
atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125).
2)
Bubarnya
harta persatuan
Menurut Pasal 126 KUHPdt, harta kekayaan persatuan menjadi bubar karena:
a) Kematian salah satu pihak.
b) Berlangsungnya perkawinan baru si isteri atas
izin hakim, setelah adanya keadaan tak hadir si suami.
c) Perceraian,
d) Perpisahan meja dan tempat tidur.
e) Perpisahan harta kekayaan.
Setelah bubarnya harta persatuan,
maka harta persatu-an dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli
waris mereka masing-masing, tanpa mempersoalkan dari pihak mana barang itu diperolehnya
(Pasal 128 ayat l).
b. Pemisahan harta kekayaan
1)
Alasan-alasan
pemisahan harta kekayaan
Menurut Pasal 186 ayat (1), sepanjang perkawinan, setiap isteri berhak
memajukan tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, yaitu hanya
dalam hal-hal sebagai berikut:
a)
Jika si
suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah memboroskan harta
kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga.
b)
Jika si
suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta
kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya harta si isteri
menjadi kurang.
c)
Jika si
suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si isteri, sehingga
kekayaan ini terancam bahaya.
Selanjutnya menurut Pasal 186 ayat
(2), pemisahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri adalah terlarang.
Menurut Pasal 187, tuntutan akan pemisahan harta kekayaan hams diumumkan
dengan terang-terangan.
2)
Akibat-akibat
pemisahan harta kekayaan
Menurut Pasal 189 KUHPdt, kekuatan
putusan Pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku surut sampai hari
tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta kekayaan itu, timbul
hal-hal sebagai berikut:
a)
Isteri
wajib memberikan sumbangan guna membiayai rum ah tangga dan pendidikan
anak-anaknya (Pasal 193);
b)
Isteri
memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaannya dan bolehlah ia
mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum dari Pengadilan
Negeri (Pasal 194).
3)
Penyatuan
kembali harta kekayaan yang sudah dipisah
Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan
harta kekayaan boleh dipulihkan kembali dengan persetujuan suami-isteri.
Persetujuan yang demikian itu diadakan dengan cara memuatkannya dalam sebuah
akta otentik (Pasal 196). Suami-isteri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan
persatuan harta kekayaan dengan terang-terangan (Pasal 198).
11. Putusnya Perkawinan
a. Alasan-alasan putusnya perkawinan
Menurut Pasal 199 KUHPdt, perkawinan putus
(perkawinan bubar) karena:
1)
Kematian.
2)
Kepergian
suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan
orang lain.
3)
Putusan
hakim setelah adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.
4)
Perceraian.
b. Perpisahan meja dan tempat tidur
1)
Pengertian
perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur adalah
perpisahan antara suami dan isteri yang tidak mengakhiri pernikahan. Akibat
yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi suami-isteri untuk tinggal
bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian. Dengan
demikian, perkawinan belum menjadi bubar dengan adanya perpisahan meja dan
tempat tidur.
2)
Cara-cara
pengajuan perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri mengajukan permohonan perpisahan
meja dan tempat tidur adalah:
a)
Semua
alasan untuk perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja,
penghukuman, penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak,
suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
b)
Berdasarkan
perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar,
yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain (Pasal 233 ayat 2).
Cara pengajuan permohonan,
pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan meja dan tempat tidur
adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal perceraian (Pasal 234).
Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat diajukan tanpa
alasan, dengan syarat:
a)
Perkawinan
harus telah berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b)
Suami dan
isteri harus membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan diri
mereka, mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan
serta pendidikan anak-anak mereka (Pasal 237 ayat 1).
3)
Pengumuman
keputusan perpisahan meja dan tempat tidur
Keputusan mengenai perpisahan meja dan tempat
tidur harus diumumkan dalam Berita Negara. Selama pengumuman itu belum
berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 245). Setelah
men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan perpisahan meja dan tempat
tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa dari kedua orang tua itu
yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan ini berlaku setelah
keputusan perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal
246).
4)
Akibat
dari perpisahan meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur ini
adalah:
a)
Suami-isteri
dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila perpisahan
meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa
adanya perdamaian (Pasal 200);
b)
Pembebasan
dari kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c)
Berakhirnya
persatuan harta kekayaan (Pasal 243);
d)
Berakhirnya
kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5)
Batalnya
perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur demi hukum
menjadi batal apabila suami-isteri rujuk kembali dan semua akibat dari
perkawinan antara suami-isteri hidup kembali, namun semua perbuatan perdata
dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap berlaku (Pasal 248 KUHPdt).
c.
Perceraian
1)
Pengertian
perceraian
Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan
karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak
atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut Pasal 208 KUHPdt, perceraian
atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2)
Alasan-alasan
perceraian
Menurut Pasal 209 KUHPdt, alasan yang dapat mengakibatkan
perceraian adalah:
a)
Zinah.
b)
Meninggalkan
tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c)
Mendapat
hukuman penjara 5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu
kejahatan.
d)
Penganiayaan
berat, yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga
membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.
3)
Tata
cara perceraian
a)
Gugatan
perceraian: Tuntutan untuk perceraian perkawinan harus diajukan ke Pengadilan
Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat
tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus
diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenarnya. Jika suami
pada saat tersebut tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman
sebenarnya di Indonesia,
maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri
sebenarnya (Pasal 207);
b)
Gugatan
perceraian gugur demikian juga hak untuk menuntut gugur : apabila:
1.
Antara
suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2.
Suami atau
isteri meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c)
Pemeriksaan
di pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat
maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si
suami dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si
suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak
mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1).
Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan
pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada
orang tua yang lain, atau kepada seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan,
atau pun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh
dimohonkan banding (Pasal 214);
d)
Putusan
Pengadilan: Perkawinan bubar karena kepu-tusan perceraian dan pembukuan
perceraian itu dalam register Pegawai Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4)
Akibat
perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian
menurut KUHPdt adalah:
a)
Kewajiban
suami atau isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang
menang dalam tuntutan perceraian (Pasal 222). Kewajiban memberikan tunjangan
nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b)
Pengadilan
menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian
terhadap anak-anak mereka (Pasal 229).
c)
Apabila suami dan isteri yang telah bercerai
hendak melakukan kawin ulang, maka demi hukum segala akibat perkawinan pertama
hidup kembali, seolah-olah tak pernah ada perceraian (Pasal 232 KUHPer).
12. Perkawinan di Luar Indonesia
Menurut Pasal 83 KUHPdt, perkawinan yang
dilangsungkan di luar Indonesia,
baik antara warganegara Indonesia
satu sama lain, maupun antara mereka dan warganegara lain adalah sah, jika
perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, di mana
perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-isteri warganegara Indonesia tidak
melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt. Selanjutnya menurut Pasal 84, dalam
waktu 1 tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, maka
perkawinan tadi harus dibukukan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat
tinggal mereka.
9. Kuliah Kesembilan (K.9)
C.
PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
1.
Asas Monogami dan Izin Berpotigami dalam Perkawinan
a. Asas monogami dalam perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, berlaku pula
asas monogami dalam perkawinan. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUP, pada asasnya
dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan
seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogami). Dalam
Undang-Undang Perkawinan ini, perolehan keturunan merupakan tujuan perkawinan.
b. Izin berpoligami dalam perkawinan
Di samping asas monogami tersebut, dalam Pasal 3
ayat (2) UUP disebutkan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin ke-pada seorang
suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak
yang bersangkutan. Menurut Pasal 63 UUP, pengadilan yang dimaksudkan di sini
adalah:
1)
Pengadilan
Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2)
Pengadilan
Umum bagi lainnya.
Setiap keputusan Pengadilan Agama
dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Menurut Pasal 4 UUP, dalam hal seorang suami
akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada
Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada
seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1) Isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2) Isteri
mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3) Isteri
tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan
kepada Pengadilan menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, harus dipenuhi syarat-syarat
sebagai berikut:
1)
Adanya persetujuan
dari isteri/isteri-isteri.
2)
Adanya kepastian
bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan
anak-anak mereka.
3)
Adanya jaminan
bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2)
UUP disebutkan, bahwa persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami
apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak
dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari
isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab
lainnya yang perlu mendapat penilaian dari
hakim pengadilan. Dalam Pasal 65 UUP ditegaskan pula, bahwa dalam hal seorang suami
beristeri lebih dari seorang, maka berlaku
lah ketentuan-ketentuan berikut:
1)
Suami wajib
memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
2)
Isteri yang
kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada
sebelum perkawinan dengan isteri kedua
atau berikutnya itu terjadi.
3)
Semua
isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak
perkawinannya masing-masing.
Dengan demikian menurut
Undang-Undang Perkawinan, seorang suami
boleh mempunyai isteri lebih dari seorang asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Pasal 3 ayat (2), Pasal
4, Pasal 5, dan Pasal 65 UUP.
Sedangkan menurut Pasal 40 »No. 9 Tahun 1975, apabila seorang suami bermaksud
untuk beristeri lebih dari
seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan
secara tertulis kepada Pengadilan. Kemudian menurut Pasal 41 PP No.9 Tahun 1975, Pengadilan
memeriksa mengenai:
1)
Sah atau tidaknya alasan yang
memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu:
a)
Bahwa isteri tidak dapat
menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b)
Bahwa
isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c)
Bahwa
isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2) Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik
persetujuan lisan maupun tertulis. Apabila persetujuan itu merupakan
persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
3) Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk
menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
a)
Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang
ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b)
Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c)
Surat
keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
4)
Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan
berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau
janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai
hal-hal tersebut di atas, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang
bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya
30 hari setelah diterimanya surat
permohonan beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 PP 9/1975). Apabila
Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pe-mohon untuk beristeri lebih
dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk
beristeri lebih dari seorang (Pasal 43 PP 9/1975). Pegawai Pencatat dilarang
untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih
dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan (Pasal 44 PP 9/1975).
2.
Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Pasal 2 UUP, perkawinan sah
apabila dilakukan menu-rut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya.
Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 6
UUP, syarat-syarat perkawinan adalah:
a.
Perkawinan
harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b.
Untuk
melangsungkan perkawinan, seorang yang belum men-capai umur 21 tahun harus
mendapat izin kedua orang tua.
c.
Dalam hal
salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan
tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua
yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan ke-hendaknya.
d.
Dalam hal
kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk
menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara
atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas
selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e.
Dalam hal
ada perbedaan pendapat antara orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus
ke atas, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan
pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tern pat tinggal orang yang
akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang tersebut dapat memberikan
izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut.
f.
Ketentuan
pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu
dari yang bersangkutan tidak menentukan lain.
g.
Selanjutnya,
menurut ketentuan di dalam Pasal 7 UUP di-sebutkan, bahwa perkawinan hanya
diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan
pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal adanya
penyimpangan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang
ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3. Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara
dua orang yang:
a.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.
b.
Berhubungan
darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang
dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.
c.
Berhubungan
semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapaktiri.
d.
Berhubungan
susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman
susuan.
e.
Berhubungan
saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal
seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f.
Mempunyai
hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Sedangkan menurut Pasal 9 UUP,
seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin
lagi, kecuali dalam hal:
a.
Mendapat
izin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat 2 UUP).
b.
Si isteri
tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacad
badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat
melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat 2 UUP).
Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang
lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh
dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UUP).
10. Kuliah Kesepuluh (K. 10)
4. Perjanjian Perkawinan
Mengenai perjanjian perkawinan ini
menurut Pasal 29 UUP adalah sebagai berikut:
a.
Pada waktu
atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama
dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat
perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang
pihak ketiga tersangkut.
b.
Perjanjian
tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan
kesusilaan.
c.
Perjanjian
tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d.
Selama
perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak dapat dirubah, kecuali bila
dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak
merugikan pihak ketiga. Dengan demikian, perjanjian perkawinan ini bisa dibuat
dengan akta otentik dan bisa juga dibuat dengan akta di bawah tangan.
5. Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan
Menurut PP No. 9 Tahun 1975,
tahap-tahap pencatatan perkawinan itu adalah sebagai berikut:
a. Pegawai pencatat perkawinan
Pencatatan perkawinan dari mereka yang
melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain
agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat
Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
b. Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan
memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan
akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari
kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu
tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat
atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan
atau tertulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4).
Pemberitahuan memuat: nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman
calon mempelai dan apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin,
disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal 5).
c. Penelitian oleh pegawai pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima
pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai
berikut:
1)
Apakah
syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.
2)
Apakah
tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
3)
Kutipan
akta kelahiran atau surat
kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat
dipergunakan surat
keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan
oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
4)
Keterangan
mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon
mempelai.
5)
Izin tertulis/izin
Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai
umur 21 tahun.
6)
Izin
Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai
isteri.
7)
Dispensasi
Pengadilan/Pejabat.
8)
Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau
dalam hal perceraian surat
keterangan perceraian, bagi perkawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
9)
Izin
tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah
seorang calon mempelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
10)
Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang
disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mempelai atau
keduanya tidak dapat hadir sendiri karena se-suatu alasan yang penting,
sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Hasil penelitian tersebut oleh
pegawai pencatat ditulis dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu.
Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai
dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut di atas (3-10), keadaan itu segera
diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya
(Pasal 7).
d. Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata cara dan
syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai
pencatat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak
melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang
ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah
ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Menurut Pasal 9, pengumuman
ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1)
Nama, umur,
agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari
orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin
disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu.
2)
Hari,
tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
e. Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah
hari kesepuluh sejak pengumuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat.
Tata - cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing
hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan is
pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah
dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang
telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta
perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya
ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri
perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam,
ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan
penanda-tanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi
(Pasal 11).
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap
2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada
Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada
suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal
13).
6.
Pencegahan Perkawinan
a. Syarat dan para pihak yang berhak mencegah
perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang
tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 13 UUP).
Adapun para pihak yang dapat mencegah perkawinan menurut Pasal 14 ayat (1) UUP
adalah sebagai berikut:
1) Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas
dan ke bawah;
2) Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3) Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
4) Wali dari salah seorang calon mempelai;
5) Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6) Pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka yang tersebut di atas
tersebut, dapat juga mencegah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang
dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan
tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang
lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut di atas
(Pasal 14 ayat 2 UUP). Selanjutnya menurut Pasal 15 UUP, barang-siapa karena
perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua be I ah pihak dan
atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan
tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini. Hal
ini berarti, bahwa yang bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat
izin dari Pengadilan.
Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat
(1) UUP, seorang pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya
perkawinan apabila:
1)
Usia pria
dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)
Terkena
larangan perkawinan (Pasal 8 UUP).
3)
Seseorang
masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)
Suami dan
isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)
Tidak
memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP).
b. Pengajuan dan pencabutan pencegahan perkawinan
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan
dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan
juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kepada calon-calon mempelai
diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai
pencatat perkawinan (Pasal 17 UUP).
Pencegahan perkawinan dapat dicabut
dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan
pada Pengadilan oleh yang mencegah (Pasal 18 UUP). Perkawinan tidak dapat
dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut (Pasal 19 UUP).
c. Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat
perkawinan
Menurut Pasal 20 UUP, pegawai pencatat
perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan
perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran mengenai:
1)
Usia pria
dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)
Terkena
larangan kawin (Pasal 8 UUP).
3)
Seseorang
masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)
Suami dan
isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)
Tidak
memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP). meskipun tidak ada
pencegahan perkawinan.
Selanjutnya di dalam Pasal 21 UUP
ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap
perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang ini, maka ia akan
menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah
satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan
akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai
dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak
yang perkawinannya ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di
dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan
berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas.
Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan
ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan
agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang kekuatannya jika
rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak
yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
7. Pembatalan Perkawinan
a. Syarat-syarat dan pihak-pihak yang berhak
mengajukan pembatalan perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan apabila
para pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal
22 UUP). Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan menurut Pasal 23 UUP
adalah:
1)
Para
keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2)
Suami atau
isteri.
3)
Pejabat
yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4)
Pejabat
yang ditunjuk dalam Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai
kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya
setelah perkawinan itu putus.
Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal
24 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah
satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat
mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.
b.
Pengajuan
permohonan pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan
diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilangsungkan
atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UUP). Perkawinan
yang dilangsungkan di muka pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang,
wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tan pa dihadiri oleh 2 (dua)
orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga dalam garis
keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri.
Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan tersebut gugur
apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami-isteri dan dapat
memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang
tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah (Pasal 26 UUP). Di
dalam Pasal 27 UUP ditegaskan, bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan
permohonan pembatalan perkawinan apabila:
1)
Perkawinan
dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2)
Pada waktu
berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka atas diri suami atau isteri.
Apabila ancaman telah berhenti atau
yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam)
bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak
mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur.
Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak
mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat
berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami
atau isteri. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan
sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (Pasal 38 PP 9/1975).
c.
Saat
batalnya perkawinan
Menurut Pasal 28 UUP, batalnya suatu
perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang
tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku
surut terhadap:
1)
Anak-anak
yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2)
Suami atau
isteri bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila
pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3)
Orang
ketiga lainnya, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum
keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, batalnya suatu
perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 PP 9/1975).
8. Hak dan Kewajiban Suami-isteri
Hak dan kewajiban dari suami-isteri
dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34,
yaitu:
a.
Suami-isteri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi
dasar dari susunan masyarakat.
b.
Hak dan
kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan
rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c.
Masing-masing
pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d.
Suami
adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
e.
Suami-isteri
harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman ini
ditentukan secara bersama-sama.
f.
Suami-isteri
wajib saling cinta-mencintai. hormat- menghormati, setia dan memberi bantuan
lahir batin yang satu kepada yang lain.
g.
Suami wajib
melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup
berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.
h.
Isteri
wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
i.
Jika suami
atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan
kepada Pengadilan.
9. Harta Benda dalam Perkawinan
Harta benda yang diperoleh selama
perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan
isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau
warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak
menentukan lain (Pasal 35 UUP).
Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah harta
ferpisah. Aftinya, segala harta yang dibawa ke dalam perkawinan (yang disebut
dengan harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang membawa.
Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali
diperoleh karena warisan dan hibah. Apabila mau menyimpang dari prinsip harta
benda perkawinan ini, maka dibuat perjanjian kawin sebelum perkawinan (lihat
Pasal 29).
Sementara itu, yang berwenang
bertindak atas harta benda perkawinan menurut
Pasal 36 UUP adalah :
a)
Mengenai
harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah
pihak.
b)
Mengenai
harta bawaan masing-masing. suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk
melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Selain itu disebutkan dalam Pasal 37
UUP. bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut
hukumnya masing-masing.
11. Kuliah Kesebelas (K.11)
10. Putusnya Perkawinan
a. Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan,
putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Menurut Pasal
38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
1)
Kematian.
2)
Perceraian.
3) Atas keputusan
Pengadilan,
b. Masa tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP, bagi
seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pasal 39
PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan, bahwa masa tunggu bagi seorang janda adalah:
1)
Apabila
perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2)
Apabila
perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan
ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak
datang bulan ditetapkan 90 hari.
3)
Apabila
perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu
ditetapkan sampai melahirkan.
Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu tunggu
bagi janda yang putus perkawinan karena perceraian, sedang antara janda
tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi
perkawinan yang putus karena
perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan
yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; sedangkan bagi perkawinan yang putus
karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.
11. Perceraian Perkawinan
a. Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan, bahwa
perceraian dapat terjadi karena atasan:
1)
Salah satu
pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya
yang sukar disembuhkan.
2)
Salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tan pa alasan yang sah atau karena hal lain di luar
kemampuannya.
3)
Salah satu
pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima)
tahun Jtjf atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4)
:4) Salah
satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak
yang lain.
5)
Salah satu
pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak tidak dapat menjalankan kewajibannya
sebagai suami/isteri.
6)
Antara
suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun
lagi dalam rumah tangga.
b. Tata Cara Perceraian
1)
Gugatan
perceraian: Menurut Pasal 39
UUP, perceraian hanya dapat
dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan
berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua
belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara
suami- isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan (Pasal 40
UUP). Dalam Pasal 20 PP 9/1975, disebutkan, bahwa:
a)
Gugatan
perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang
daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b)
Dalam hal
tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai
tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di
tempat kediaman penggugat.
c)
Dalam hal
tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada
Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan
permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia
setempat.
Dalam hal karena alasan salah satu
pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin
pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya,
maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman penggugat.
Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak
mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21 PP 9/1975). Sedangkan
gugatan perceraian karena alasan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi
perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam
rumah tangga, maka diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan
ini dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai
sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak
keluarga, serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu (Pasal 22 PP
9/1975). Menurut Pasal 23 PP 9/1975, gugatan perceraian karena alasan salah
seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang
lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan
perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan
Pengadilan yang memutuskan perkara di serta i keterangan yang menyatakan bahwa
putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Menurut Pasal 24 PP 9/1975, selama
berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau tergugat atau
berdasarkan pertimbangan bahaya yang mung-kin ditimbulkan, Pengadilan dapat
mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama
berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat,
Pengadilan dapat:
a)
Menentukan
nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b)
Menentukan
hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c)
Menentukan
hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak
suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
2)
Gugatan
perceraian gugur: Gugatan
perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan
Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu (Pasal 25 PP 9/1975).
3)
Panggilan
sidang; Setiap kali diadakan
sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun
tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut.
Bagi Pengadilan Negeri, panggilan dilakukan oleh juru si la, dan bagi
Pengadilan Agama, panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua
Pengadilan Agama. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan.
Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan
melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu, Panggilan tersebut dilakukan
dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan
kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat
gugatan (Pasal 26 PP 9/1975).
Apabila dalam hal tempat kediaman
tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap. panggilan dilakukan dengan
cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya
melalui satu atau beberapa surat
kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman melalui surat kabar atau
surat-surat kabar atau mass media, dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan
tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu
antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3
bulan. Dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap
tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat (Pasal 27 PP 9/1975).
Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, panggilan
disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 28 PP
9/1975).
4)
Pemeriksaan
di pengadilan: Pemeriksaan
gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah
diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu mengadakan
sidang pemeriksaan gugatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu
pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat
atau kuasa mereka. Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar
negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6
bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan
Pengadilan (Pasal 29 PP 9/ 1975). Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian,
suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 30 PP
9/1975).
Hakim yang memeriksa gugatan
perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. Selama perkara belum diputuskan,
usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan (Pasal 31 PP
9/1975). Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan
perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang. Ada sebelum perdamaian dan telah diketahui
oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian (Pasal 32 PP 9/1975). Apabila
tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam
sidang tertutup (Pasal 33 PP 9/1975).
5)
Putusan pengadilan:
Perceraian itu terjadi terhitung
pada saat. Perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (Pasal
18 PP 9/1975). Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang
terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya
terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan
oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya
putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 34
PP 9/1975).
6)
Pegawai
pencatat perceraian: Panitera
Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu
helai salinan putusan Pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang
tetap/yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat di tempat
perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam
sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila perceraian dilakukan pada
daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat di mana
perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan mengenai gugatan
perceraian yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan
tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan
dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir
dari daftar catatan perkawinan; dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar
negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian
mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi tanggung jawab Panitera yang
bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas
suami atau isteri atau keduanya (Pasal 35 PP 9/ 1975).
c.
Akibat perceraian
Menurut Pasal 41 UUP,
akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1)
Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik
anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada
perselisihan mengenai penguasaaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2)
Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan
yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi
kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya
tersebut.
3)
Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya
penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
12. Perkawinan di Luar Indonesia
Hal yang sama juga
disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) UUP, di mana perkawinan yang dilangsungkan
di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang
warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan
menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsungkan dan
bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang
ini. Selanjutnya menurut Pasal 56 ayat (2) UUP, dalam waktu 1 (satu) tahun
setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat buku perkawinan mereka harus
didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.
13. Perkawinan Campuran
a.
Pengertian perkawinan campuran
Dalam
Pasal 57 ditegaskan; “perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang
yang di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah
satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
b. Memperoleh dan kehilangan
kewarganegaraan
Selanjutnya
ditegaskan, bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang
melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari
suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan-nya, menurut cara-cara
yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang
berlaku (Pasal 58 UUP). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat
perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik
mengenai hukum publik maupun hukum perdata. Perkawinan yang dilangsungkan di Indonesia
dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 UUP).
c.
Syarat-syarat melangsungkan perkawinan campuran
Perkawinan campuran
tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang
ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi.
Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipenuhi dan karena itu
tidak ada rintangan untuk melangsungkan - perkawinan campuran, maka oleh mereka
yang menurut hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat
perkawinan, diberikan surat
keterangan bahwa syarat- syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan
menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang
berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara, serta
tidak boleh dimintakan banding
lagi tentang soal apakah
penolakan pemberian surat keterangan itu beralasan atau tidak. Jika pengadilan
memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, keputusan itu menjadi pengganti
keterangan. Surat
keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak mempunyai kekuatan lagi
jika perkawinan itu • tidak
dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah keterangan itu diberikan
(Pasal 60 UUP).
d. Pencatatan perkawinan campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh
pegawai pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan perkawinan campuran
tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau
keputusan pengganti keterangan ini, dihukum dengan hukuman kurungan
selama-lamanya 1 (satu) bulan. Apabila pegawai pencatat perkawinan yang
mencatat perkawinan mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti
keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga)
bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 UUP).
e. Kedudukan anak dalam perkawinan campuran
Dalam perkawinan campuran, kedudukan anak diatur
sesuai dengan Pasal 59 ayat ( 1) UUP, yaitu kewarganegaraan si anak yang
diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya
menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata
(Pasal 62 UUP).
Keluarga adalah
kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak yang
berdiam dalam satu tempat tinggal. Hal ini dapat dikatakan sebagai pengertian
keluarga dalam arti sempit, namun apabila dalam suatu keluarga itu berdiam pula
pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota
keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena
perkawinan dan pertalian darah. Hal ini merupakan pengertian keluarga dalam
arti luas. Dari uraian tersebut, dalam usaha membahas lebih lanjut hukum
keluarga ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama masalah
perkawinan.
BAB III
HUKUM BENDA
12. Kuliah Kedua Belas (K.12)
HAK KEBENDAAN
1. Pengertian Hak Kebendaan
Hak kebendaan {zakelijk recht) adalah
suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat
dipertahankan terhadap tiap orang. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hak-hak
kebendaan adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas
sesuatu benda. Kekuasaan langsung berarti bahwa ada terdapat sesuatu hubungan
yang langsung antara orang-orang yang berhak dan benda tersebut. Demikian juga menurut
Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah
hak mutlak atas suatu benda di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas
sesuatu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Dari rumusan tersebut, maka dapat
dikatakan bahwa, hak kebendaan merupakan suatu hak mutlak yang memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan setiap orang dan
mempunyai sifat melekat.
2. Ciri-ciri Hak Kebendaan
Pada dasarnya, ciri-ciri dari suatu
hak kebendaan itu adalah sebagai berikut:
a.
Merupakan
hak mutlak Hak kebendaan
merupakan hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga.
b.
Mempunyai
zaaks gevolg atau droit de suite.
Hak kebendaan mempunyai zaaks gevolg (hak
yang mengikuti), artinya hak itu terus mengikuti bendanya di mana pun juga
(dalam tangan siapa pun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti
orang yang mempunyainya.
c.
Mempunyai
sistem
Sistem yang terdapat pada hak kebendaan ialah
mana yang lebih dulu terjadinya, tingkatnya adalah lebih tinggi daripada yang
terjadi kemudian. Misalnya: seorang pemilik tanah menghipotikkan tanahnya,
kemudian tanah tersebut diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil,
maka dalam hal ini, hak hipotik mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada
hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian
d.
Mempunyai
droit de preference
Hak kebendaan mempunyai droit de preference, yaitu
hak yang lebih didahulukan daripada hak lainnya.
e.
Mempunyai
macam-macam actie
Pada hak kebendaan ini, orang mempunyai
macam-macam actie jika terdapat gangguan atas haknya, yaitu berupa penuntutan
kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya, gugatan
untuk pemulihan dalam keadaan semula, gugatan untuk penggantian kerugian dan
sebagainya. Pada hak kebendaan, gugatnya itu disebut dengan gugat kebendaan.
Gugatan-gugatan ini dapat dilaksanakan terhadap siapapun yang menganggu haknya.
Mempunyai cara pemindahan yang berlainan Kemungkinan untuk memindahkan
hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan.
Sedangkan menurut Prof. Subekti,
hak-hak kebendaan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a.
Memberikan
kekuasaan langsung atas suatu benda.
b.
Dapat
dipertahankan terhadap setiap orang.
c.
Mempunyai
sifat "melekat", yaitu mengikuti benda bila ini dipindahtangankan {"droit
de suite").
d.
Hak yang
lebih tua selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.
3. Pembedaan
Hak-hak Kebendaan
Di dalam Buku II KUHPer diatur macam-macam hak
kebendaan, akan tetapi dalam membicarakan macam-macam hak kebendaan dalam Buku
II KUHPdt harus diingat berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang
Undang-Undang Pokok Agraria. Dengan demikian, hak-hak kebendaan yang diatur
dalam Buku II KUHPdt (yang sudah disesuaikan dengan berlakunya UUPA No. 5/1960)
dapat dibedakan atas dua macam, yaitu2:
a.
Hak-hak
kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan meliputi :
1)
Hak
kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya: hak eigendom,
hak bezit.
2)
Hak
kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya: hak opstal,
hak erfpacht, hak memungut hasil, hak pakai, hak mendiami.
b.
Hak
kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrechf). Misalnya:
hak gadai (pand), hipotik. Di samping itu, ada pula hak-hak yang diatur
dalam Buku II KUHPdt, tetapi bukan merupakan hak kebendaan, yaitu privilege dan
hak retentie. Namun, hak-hak ini dapat pula digolongkan dalam hak
kebendaan.
13. Kuliah Ketiga Belas (K.13)
C.
MACAM-MACAM HAK KEBENDAAN
1.
Hak Bezit
a. Pengertian Bezit
1) Menurut KUHPdt
Bezit
diterjemahkan dengan
kedudukan berkuasa, yaitu kedudukan
seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan diri sendiri maupun dengan
perantaraan orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang
yang memiliki kebendaan itu (pasal 529 KUHPdt)
2) Menurut Prof Subekti, SH
Bezit adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang
menguasai suatu benda seorang – olah kepunyaannya sendiri yang oleh hukum
diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya
ada pada siap
3) Menurut Prof Dr. Sri Soedewi Macjchoen Sofwan,
SH
Dengan mengacu pada Pasal 529 KUHPdt, maka bezit ialah
keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda di mana seseorang menguasainya,
baik secara sendiri ataupun perantaraan
orang lain, seolah – olah itu
adalah kepunyaan sendiri.
Dari defenisi ditas dapat
disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan bezit
adalah hak seseorang yang
menguasai suatu benda, baik langsung
maupun dengan perantaraan orang lain untuk bertindak seolah – olah benda itu
kepunyaan sendiri.
b.
Bezit jujur dan bezit tidak
jujur
Pada dasarnya, suatu bezit itu
dapat berada di tangan pemilik benda itu atau dapat pula berada ditangan orang
lain. Jika orang itu mengira bahwa benda yang dikuasainya adalah miliknya
sendiri (misalnya ia memperoleh karena ia membeli secara sah, karena pewarisan dan sebagainya),
maka bezitter yang demikian itu disebut dengan "bezit te goeder
trouw" atau bezit yang jujur
(Pasal 531 KUHPdt). Sebaliknya, apabila ia mengetahui bahwa benda yang ada
padanya itu bukan miliknya (misalnya ia
mengetahui bahwa benda itu berasal dari pencurian) maka bezitter yang
demikian disebut dengan -bezit Trader trouv" atau bezit yang
tidak jujur (Pasal 532 KUHPdt).
Baik bezitter yang jujur maupun bezitter yang tidak jujur kedua-duanya mendapat
perlindungan hukum. Dalam hukum berlaku satu asas, bahwa “kejujuran” itu
dianggap selalu ada pada setiap orang, sedangkan “ ketidakjujuran“ itu harus dibuktikan. Dengan demikian, menurut
ketentuan Pasal 533 mengemukakan bahwa sesuatu bezit itu adalah tidak
jujur, maka iawajib membuktikannya.
c.
Syarat – syarat adanya bezit
Untuk adanya suatu bezit, haruslah dipenuhi syarat – syarat , yaitu
:
1)
Adanya Corpus, yaitu harus ada
hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya
2)
Adanya Animus, yaitu hubungan
antara orang dengan benda itu harus dikehendaki
oleh orang tersebut.
Dengan demikian, untuk adanya bezit harus ada dua unsur
yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memilikinya benda tersebut.
Dalam hal ini, bezit harus dibedakan dengan “detentie”, dimana seseorang
menguasai suatu benda berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain
(pemilik dari benda itu). Jadi. Seorang detentor tidak mempunyai kemauan untuk
memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.
d.
Fungsi
bezit
Pada dasarnya, bezit mempunyai dua fungsi, yaitu
:
1)
Fungsi
polisionil
Bezit itu mendapat perlindungan hukum tanpa
mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi
siapa yang membezit sesuatu benda, maka ia mendapat perlindungan dari hukum
sampai terbukti bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Dengan demikian , bagi yang
merasa haknya dilanggar, maka ia harus meminta penyelesaiannya melalui polisi
atau pengadilan. Inilah yang dimaksud dengan fungi polisionil yang ada pada
setiap bezit.
2)
Fungsi zakkenrectelijk
Bezitter yang telah membezit suatu benda dan telah berjalan untuk
beberapa waktu tertentu tanpa adanya proses dari pemilik sebelumnya, maka bezit itu berubah menjadi hak milik melalui
lembaga verjaring (lewat waktu /
daluwarsa). Inilah yang dimaksud dengan fungsi zakenrectelijk dan fungsi ini tidak ada pada setiap bezit
e.
Cara
memperoleh bezit
Menurut ketentuan Pasal 538 KUHPdt, bezit
(kedudukan berkuasa) atas sesuatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan
perbuatan menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya, dengan maksud mempertahankannya
untuk diri sendiri. Menurut ketentuan Pasal 540 KUHPdt, cara-cara memperoleh bezit
dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1)
dengan jalan occupation
Memperoleh bezit jalan dengan occupatio ( pengambilan benda ) artinya ia memperoleh bezit tanpa
bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. Jadi bezit diperoleh karena
perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.
2)
dengan jalan tradition
Memperoleh bezit dengan jalan tradition (pengoperan) artinya ialah
memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. Jadi
bezit diperoleh karena penyerahan dari orang lain yang sudah menguasainya
terlebih dahulu.
Di samping dua cara di atas, bezit
juga dapat diperoleh karena adanya warisan. Menurut Pasal 541 KUHPdt, bahwa
segala sesuatu bezit yang merupakan bezit dari seorang yang
telah meninggal dunia beralih kepada
ahli warisnya dengan segala sifat dan cacad-cacadnya. Menurut Pasal 593 KUHPdt,
orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang
belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.
f. Hapusnya Bezit
Pada dasarnya, orang bisa kehilangan bezit
apabila
1) kekuasaan atas benda itu berpindah pada orang lain, baik secara
diserahkan maupun karena diambil oleh
orang lain
2) Benda yang dikuasainya nyata telah ditinggalkan.
2.
Hak Eigendom/Hak Milik
a.
Pengertian
Eigendom
1) Menurut KUHPdt
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan
sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terhadap kebendaan
itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang
atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak
menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan
tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum
berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti-rugi (Pasal
570 KUHPdt).
2)
Menurut Prof.
Subekti, SH
Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas
suatu benda. Seseorang yang mempunyai hak
eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu
(menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak
melanggar undang-undang atau hak orang lain.
3)
Menurut Prof.
Dr. Sri Soedewi Masjchoen So/wan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 570 KUHPdt, hak milik
adalah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai
benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tak dipergunakan bertentangan dengan
undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai
wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang
lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya pencabutan hak
itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan
menurut ketentuan undang-undang.
Melihat perumusan di atas dapat
disimpulkan, bahwa hak milik adalah hak milik adalah hal yang paling utama jika
dibandingkan dengan hak – hak kebendaan yang lain. Karena yang berhak itu dapat
menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya. Hak
milik ini tidak dapat diganggu gugat.
b.
Ciri-ciri
hak milik
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang
merupakan ciri-ciri dari hak milik itu ialah:
1)
Hak milik
itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain. Sedangkan
hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai
hak anak terhadap hak milik.
2)
Hak milik
itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
3)
Hak milik
itu tetap sifatnya. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang
lain. Sedang hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
4)
Hak milik
itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedang hak
kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdeel (bagian) saja dari hak
milik. Menurut ketentuan Pasal 574 KUHPdt, tiap pemilik sesuatu benda, berhak
menuntut kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak
miliknya itu.
c.
Cara
memperoleh hak milik
Menurut Pasal 584 KUHPdt, hak eigendom
dapat diperoleh dengan jalan:
1) Pendahuluan ( toeeigening)
2) Ikutan
3) Lewat waktu
4) Pewarisan ( erfopvolging), baik menurut undang –
undang maupun menurut surat
wasiat
5) Penyerahan (levering) berdasarkan suatu
peristiwa perdata untuk memindahkan hak
milik, dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap benda itu.
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, cara memperoleh hak milik di luar Pasal 584 KUHPdt yang
diatur oleh Undang-Undang adalah:
1)
Penjadian
benda (zaaksvorming);
2)
Penarikan
buahnya (vruchttrekking);
3)
Persatuan
benda (vereniging);
4)
Pencabutan
hak (onteigening);
5)
Perampasan (verbeurdverklaring);
6)
Pencampuran
harta {boedelmenging);
7)
Pembubaran
dari sebuah badan hukum;
8)
Abandonnement
(dijumpai dalam Hukum Perdata
Laut - Pasal 663 KUHD)
d.
Memperoleh
hak milik dengan lewat waktu (Verjaring)
Lewat waktu adalah
salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda. Lewat waktu (verjaring)
ini ada dua macam, yaitu:
1.
Acquisitieve
verjaring, yaitu lewat waktu
sebagai alat untuk memperoleh hak-hak kebendaan (di antaranya hak milik).
2.
Extinctieve
verjaring, yaitu lewat waktu
sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu perutangan.
Untuk memperoleh hak milik dengan
lewat waktu (acquisitieve verjaring) adalah:
1)
Harus ada bezit sebagai pemilik;
2)
Bezitnya
itu harus te goeder trouw;
3)
Membezitnya
itu harus terus-menerus dan tak terputus;
4)
Membezitnya
harus tidak terganggu;
5)
Membezitnya
harus diketahui oleh umum;
6)
Membezitnya
harus selama waktu 20 tahun atau 30 tahun;
7)
20 tahun
dalam hal ada alas hak yang sah, 30 tahun dalam al tidak ada alas hak.
e.
Memperoleh
hak milik dengan penyerahan (Levering)
Menurut Hukum
Perdata, yang dimaksud dengan penyerahan ialah penyerahan suatu benda oleh
pemilik atau atas namanya - kepada orang lain, sehingga orang lain ini
memperoleh hak milik atas benda itu. Sedangkan menurut Prof. Subekti, per
kataan penyerahan mempunyai dua arti, yaitu:
1) Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan
belaka (feitelijke levering).
2)
Perbuatan
hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische
levering).
Jadi dapat disimpulkan, bahwa hak milik atas
suatu benda baru beralih kepada orang lain, apabila telah terjadi penyerahan
bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan penyerahan atas benda itu dapat
dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan diserahkan. Menurut Pasal 612
KUHPdt, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahan dapat dilakukan dengan
cara:
1) Penyerahan nyata (feitelijke levering).
2) Penyerahan kunci dari tempat di mana benda itu
berada.
Di samping itu, ada
dua bentuk penyerahan lainnya, yaitu:
1) Traditio brevi manu (penyerahan dengan tangan pendek).
2) Constitutumpessessorium (penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya).
Sebaliknya penyerahan atas benda
bergerak yang tak berwujud dapat di lakukan dengan cara:
1) Penyerahan dari piutang atas nama, yang
dilakukan dengan cessie, yaitu dengan cara membuat akta otentik atau
akta di bawah tangan (Pasal 613 ayat 1 KUHPdt).
2) Penyerahan dari surat piutang atas bawa, yang dilakukan
dengan penyerahan nyata (Pasal 613 ayat 3 KUHPdt).
3) Penyerahan dari piutang atas pengganti, yang dilakukan
dengan penyerahan surat
disertai dengan endosemen (Pasal 613 ayat 3 KUHPdt).
Penyerahan terhadap benda tidak
bergerak dilakukan dengan cara balik nama. Menurut Prof. Subekti, pemindahan
hak milik atas benda yang tak bergerak ini tidak cukup dilaksanakan dengan
pengoperan kekuasaan belaka, melainkan harus pula dibuat suatu surat penyerahan
("akte van transport") yang harus dikutip dalam daftar
eigendom. Sebaliknya, terhadap benda yang bergerak, levering lazimnya berupa
penyerahan dari tangan ke tangan.
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, untuk sah-nya penyerahan itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu,
yaitu:
a. Harus ada perjanjian yang zakelijk.
b.
Harus ada
titel (alas hak).
c.
Harus
dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd).
d.
Harus ada
penyerahan nyata.
Menurut sistem KUHPer, suatu
pemindahan hak terdiri atas dua macam, yaitu:
1)
Perjanjian obligatoir
ialah perjanjian yang bertujuan memindahkan hak, misalnya: perjanjian
jual-beli, dan sebagainya.
2)
Perjanjian zakelijk
ialah perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan, misalnya:
hak milik, bezit, dan sebagainya.
Selanjutnya mengenai sah atau
tidaknya suatu penyerahan itu dapat dilihat dari dua pendapat di bawah ini:
1)
Menurut Causaal
Stelsel,
Sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu
digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir, misalnya:
perjanjian jual-beli atau perjanjian schenking, dan sebagainya. Jadi
dengan kata lain, untuk sahnya penyerahan itu, diperlukan titel yang nyata.
2)
Menurut Abstract
Stelsel
Untuk sah atau tidaknya suatu pemindahan hak
milik itu tidak digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir.
Jadi dengan kata lain, untuk sahnya penyerahan itu, tidak perlu adanya titel
yang nyata dan cukup asal ada titel anggapan saja.
f.
Hak milik bersama (Medeeigendom)
Biasanya, sebuah benda hanya dimiliki oleh
seorang pemilik. Tetapi ada kemungkinan lain, bahwa benda itu dapat dimiliki
oleh dua orang atau lebih. Kalau benda itu dimiliki oleh lebih dari seorang,
maka hak ini disebut dengan hak milik bersama atas sesuatu benda. Mengenai hak
milik bersama ini menurut KUHPdt dapat dibagi menjadi dua macam , yaitu :
1)
Hak milik bersama yang bebas
2)
Hak milik bersama yang terikat
g.
Hapusnya hak milik
Pada dasarnya seseorang yang dapat
kehilangan hal miliknya apabila :
1)
seseorang memperoleh hak milik
itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik
2)
Binasanya benda itu
3)
Pemilik hak milik (eigenaar)
melepaskan benda itu
14. Kuliah Keempat Belas (K.14)
3. Hak Servituut
a. Pengertian hak servituut
1)
Menurut KUHPdt,
Hak servituut disebut juga dengan
pengabdian pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan
bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain (Pasal 674 ayat 1
KUHPdt).
2)
Menurut Prof.
Subekti, S.H.,
Yang dimaksud dengan "erfdienstbaarheitf
atau "ser-vituut" ialah suatu beban yang diletakkan di
atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Dengan
demikian dapat disimpulkan, bahwa hak servituut atau hak pekarangan
adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan
suatu pekarangan lain.
b. Macam-macam hak pekarangan
Menurut Pasal 677-678 KUHPer, hak pekarangan (servituut)
ini dapat dibedakan :
1)
Hak
pekarangan abadi, yaitu hak tersebut dapat dilangsung-kan secara terus-menerus,
tanpa bantuan orang lain atau manusia, misalnya: hak mengalirkan air, hak atas
peman-dangan ke luar, dan sebagainya.
2)
Hak
pekarangan tak abadi, yaitu hak tersebut dalam peng-gunaannya memerlukan
sesuatu perbuatan manusia, misalnya: hak melintas pekarangan, hak mengambil
air, dan sebagainya.
3)
Hak
pekarangan yang nampak, yaitu hak terhadap suatu benda yang nampak, misalnya:
pintu, jendela, pipa air, dan sebagainya.
4)
Hak
pekarangan yang tak nampak, yaitu hak terhadap tanda-tanda yang tak nampak,
misalnya: larangan untuk mendirikan bangunan di sebuah pekarangan.
c.
Syarat-syarat
hak pekarangan
Hak pekarangan (servituut) baru dianggap
sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)
Harus ada
dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan
yang dimiliki oleh berbagai pihak.
2)
Kemanfaatan
dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai
pihak yang memiliki halaman tadi.
3)
Hak
pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan kemanfaatan dari halaman
penguasa.
4)
Beban yang
diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.
5)
Kewajiban-kewajiban
yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan
sesuatu, atau tidak membolehkan sesuatu.
d.
Timbulnya
hak pekarangan
Menurut Pasal 695 KUHPdt, hak pekarangan timbul
karena:
1) Suatu
perbuatan perdata.
2)
Lewatwaktu.
e.
Hapusnya
hak pekarangan
Hak pekarangan hapus karena:
1) Kedua
pekarangan itu jatuh ke tangan satu orang (Pasal 706 KUHPdt).
2) Selama
30 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (Pasal 707 KUHPdt).
4. Hak Opstal
a. Pengertian hak opstal
Prof. Subekti mengutarakan pendapatnya tentang
pengertian hak opstal dengan mengacu pada Pasal 711 KUHPdt, yaitu adalah
suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas
tanahnya orang lain. Sebaliknya menurut Pasal 711 KUHPdt, hak opstal disebut
juga dengan hak numpang-karang, yaitu adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai
gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas pekarangan orang lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan hak opstal adalah
hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain.
Hak opstal ini dapat
dipindahkan pada orang lain atau dapat dipakai sebagai hipotik dan atau hak
tanggungan, di mana hak ini diperoleh
karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUHPdt).
b. Hapusnya hak opstal
Menurut Pasal 718-719 KUHPdt, hak opstal dapat
hapus karena:
1)
Hak opstal
jatuh ke dalam satu tangan.
2)
Musnahnya
pekarangan.
3)
Selama 30
tahun tidak dipergunakan.
4)
Waktu yang
diperjanjikan telah lampau.
5)
Diakhiri
oleh pemilik tanah. Pengakhiran ini hanya dapat dilakukan setelah hak tersebut
paling sedikit sudah dipergunakan selama 30 tahun, dan harus didahului dengan
suatu pemberitahuan paling sedikit 1 tahun sebelumnya.
5. Hak Erfpacht
a. Pengertian hak erfpacht
Menurut Pasal 720 ayat (1) KUHPdt itu sendiri
adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu
barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti
tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa
uang, baik berupa hasil atau pendapatan. Prof. Subekti mengutarakan
pendapat-nya tentang pengertian hak erfpacht dengan mengacu pada Pasal
720 KUHPer, yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya
untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban
membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan "pachf
atau "canon".
Dengan demikian dapat disimpulkan,
bahwa yang dimaksud dengan hak erfpacht (hak guna usaha) adalah hak kebendaan
untuk menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik
orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap
tahun. Hak erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan
hutang (hipotik).
b. Berakhirnya hak erfpacht
Hak erfpacht ini berpindah
pada para ahli warisnya apabila orang yang mempunyai hak meninggal. Sama
seperti berakhirnya hak opstal, maka menurut Pasal 736 KUHPdt, hak erfpacht
ini dapat hapus karena :
1) Hak
opstal jatuh ke dalam satu tangan.
2)
Musnahnya pekarangan.
3) Selama
30 tahun tidak dipergunakan.
4) Waktu
yang diperjanjikan telah lampau.
5) Diakhiri
oleh pemilik tanah.
6. Hak Pakai Hasil
a. Pengertian hak pakai hasil
1) Menurut KUHPdt,
Hak pakai hasil adalah suatu hak kebendaan,
dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan
milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dengan
kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya (Pasal 756 KUHPdt).
2) Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 756 KUHPdt, vruchtgebruik
adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang
lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga
supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula.
3)
Menurut Prof.
Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 756 KUHPdt, hak
memungut hasil ialah suatu hak untuk memungut hasil dari barang orang lain
seolah-olah seperti eigenaar dengan kewajiban untuk memelihara barang
itu supaya tetap adanya.
Dari uraian isi pasal 756 KUHPdt ini
tampaklah, bahwa hak memungut hasil (yruchtgebruik) tidak hanya
memberikan hak untuk menarik penghasilan saja, melainkan juga hak untuk memakai
benda itu.
b. Cara memperoleh hak pakai hasil
Menurut Pasal 759 KUHPdt, hak pakai hasil ini
diperoleh karena:
1)
Undang-undang.
2)
Kehendak si pemilik.
c. Kewajiban si pemakai hasil
Menurut ketentuan Pasal 783-784 KUHPdt,
kewajiban-kewajiban daripada orang yang mempunyai hak pakai hasil (vruchtgebruiker)
adalah sebagai berikut:
1)
Membuat
catatan/daftar pada waktu ia menerima haknya.
2)
Menanggung
segala biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.
3)
Memelihara
benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik apabila hak
itu berakhir. Apabila ia melalaikan kewajibannya tersebut, maka ia dapat
dituntut untuk mengganti kerugian.
d. Hapusnya hak pakai hasil
Menurut Pasal 807 KUHPdt, hak pakai hasil (hak
memungut hasil) hapus karena:
1)
Meninggalnya
si pemakai.
2)
Tenggang
waktu yang diberikan telah lewat waktu atau telah terpenuhkan.
3)
Percampuran,
yaitu apabila hak milik dan hak pakai hasil berada di tangan satu orang.
4)
Pelepasan
hak oleh si pemakai kepada pemilik.
5)
Kadaluwarsa,
yaitu apabila si pemakai selama 30 tahun tak mempergunakan haknya.
6)
Musnahnya
benda itu seluruhnya.
7.
Hak Gadai
a. Pengertian hak gadai
1) Menurut KUHPdt
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh
seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh
seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan
kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang
tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan
kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah
dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya
mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUHPdt).
2) Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1150 KUHPdt, pandrecht
adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang
lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan
suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari
penagih-penagih lainnya.
3)
Menurut Prof.
Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Gadai ialah suatu hak yang diperoleh kreditur
atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang
lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan
kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari
kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang
tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus
didahulukan.
b. Sifat-sifat hak gadai
Hak gadai ini bersifat accessoir, yaitu
merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjaman
uang. Ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai si ber-utang itu lalai membayar
kembali utangnya. Menurut Pasal 1160 KUHPdt, hak gadai ini tidak dapat
dibagi-bagi. Artinya, se-bagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan
dibayarnya sebagian dari utang. Gadai tetap meletak atas seluruh benda-nya.
c. Syarat-syarat timbulnya hak gadai
Hak gadai lahir dengan penyerahan kekuasaan atas
barang yang dijadikan tanggungan pada pemegang gadai. Hak atas barang gadai ini
dapat pula ditaruh di bawah kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan
kedua belah pihak yang berkepentingan (Pasal 1152 ayat 1 KUHPdt). Selanjutnya
menurut Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt, gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan
tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai (si berutang).
d. Obyek hak gadai
Yang dapat dijadikan obyek dari hak gadai ialah
semua benda yang bergerak, yaitu:
1)
Benda
bergerak yang berwujud.
2)
Benda
bergerak yang tak berwujud, yaitu berupa pelbagai hak untuk mendapatkan
pembayaran utang, yaitu yang berwujud:
a)
Surat-surat piutang atas pembawa.
b)
Surat-surat piutang atas tunjuk.
c)
Surat-surat piutang atas nama.
e. Hak si pemegang hak gadai
Hak-hak dari si pemegang hak gadai adalah
sebagai berikut:
1)
Si pemegang
gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti
halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUHPdt).
2)
Apabila si
pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka si pemegang gadai (si
berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu; dan kemudian
mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu
dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156
ayat 1 KUHPdt).
3)
Si pemegang
gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk
menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157 ayat 2).
4)
Si pemegang
gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang
dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat 1
KUHPer).
f.
Kewajiban
si pemegang gadai
Seorang pemegang gadai mempunyai
kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
1)
Si pemegang
gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual
barang gadainya (Pasal 1156 ayat 2 KUHPdt).
2)
Si pemegang
gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang
digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPdt).
3)
Si pemegang
gadai harus memberikan perhitungan ten-tang pendapatan penjualan itu dan
setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya
pada si berutang (Pasal 1158 KUHPdt).
4)
Si pemegang
gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya
untuk menyelamatkan barang gadai telah dibayar lunas (Pasal 1159 KUHPdt).
Apabila si pemberi gadai (si beutang) tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya,
maka tak diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan. Segala
janji yang bertentangan
dengan ini adalah batal (Pasal 1154 ).
g. Hapusnya hak gadai
Pada dasarnya, hak gadai dapat hapus karena:
1)
Seluruh utangnya sudah dibayar lunas.
2) Barang
gadai hilang/musnah.
3) Barang
gadai ke luar dari kekuasaan si penerima gadai.
4) Barang
gadai dilepaskan secara sukarela.
15. Kuliah Kelima Belas
(K.15)
8.
Hak Hipotik
a. Pengertian hipotik
1) Menurut KUHPdt,
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda
tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu
perikatan (Pasal 1162).
2) Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu dari Pasal 1162 KUHPdt, hipotik
adalah suatu hak kebendaan atas
suatu benda tak bergerak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari
(pendapatan penjualan) benda itu.
3)
Menurut Prof.
Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1162 KUHPdt, hipotik
adalah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak, untuk mengambil
penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perutangan {verbintenis).
b. Sifat dari hipotik
Sama seperti halnya dengan hak gadai, hipotik
sifatnya adalah accessoir, yaitu adanya tergantung pada perjanjian
pokok. Pada dasarnya, hipotik mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1)
Hipotik
lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain atau droit
depreference (Pasal 1133 KUHPdt).
2)
Hipotik itu
tak dapat dibagi-bagi dan meletak di atas seluruh benda yang menjadi obyeknya
(Pasal 1163 ayat 1 KUHPdt).
3)
Hak hipotik
itu senantiasa mengikuti bendanya dalam tang-an siapa benda itu berada atau droit
de suite (Pasal 1163 ayat 2 KUHPdt).
4)
Obyek
hipotik adalah benda-benda tetap, yaitu yang dapat dipakai sebagai jaminan
adalah benda-benda tetap, baik yang berwujud maupun yang berupa hak-hak atas
tanah (Pasal 1164 KUHPdt).
5)
Hak hipotik
hanya berisi hak untuk pelunasan utang saja dan tidak mengandung hak untuk
menguasai/memiliki bendanya.
c. Subyek dan obyek hipotik
Suatu hipotik hanya dapat diberikan oleh pemilik
benda itu (Pasal 1168 KUHPdt). Sedangkan yang dapat dijadikan obyek hipotik
adalah benda yang tak bergerak. Menurut Pasal 1164 KUHPdt, yang dapat dibebani
dengan hipotik adalah:
1)
Benda-benda
tak bergerak.
2)
Hak pakai
hasil atas benda tersebut.
3)
Hak opstal
dan hak erfpacht.
4)
Bunga
tanah.
5)
Bunga sepersepuluh.
6)
Pasar-pasar
yang diakui oleh Pemerintah beserta hak istimewa yang melekat padanya.
Di luar Pasal 1164 KUHPer yang dapat
dibebani hipotik ialah
1)
Bagian yang
tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak bergerak yang merupakan hak milik
bersama (hak milik bersama yang bebas). f 2) Kapal (diatur dalam KUHD).
Selanjutnya menurut Pasal 1167 KUHPdt, benda bergerak tidak dapat dibebani
dengan hipotik.
d.
Syarat-syarat
hipotik
Cara untuk mengadakan hipotik harus memenuhi
syarat-syarat tertentu, yaitu:
1)
Harus dengan
akta notaris, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang
(Pasal 1171 KUHPdt).
2)
Harus
didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179 KUHPdt).
e. Asas-asas hipotik
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ada
dua asas dalam hipotik, yaitu:
1) Asas publiciteit
Yaitu asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu
harus didaftarkan pada pegawai pembalikan nama, yaitu pada kantor kadaster.
Yang didaftarkan ialah akte dari hipotik itu.
2) Asas specialiteit
Yaitu asas yang menghendaki, bahwa hipotik hanya
dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus untuk dipakai
sebagai tanggungan.
f.
Hapusnya
hipotik
Menurut Pasal 1209 KUHPdt, hak hipotik dapat
hapus karena:
1)
Hapusnya perikatan pokoknya.
2) Si
berpiutang melepaskan hipotiknya.
3) Penetapan
tingkat oleh hakim.
g. Perbedaan antara gadai dan hipotik
Pada dasarnya, antara gadai dengan hipotik
terdapat perbedaan, yaitu antara lain:
1)
Pada gadai,
benda jaminannya adalah benda bergerak, sedangkan pada hipotik adalah benda tak
bergerak.
2)
Gadai harus
disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan gadai, sedangkan
pada hipotik syarat yang demikian tidak ada.
3)
Perjanjian
gadai dapat dibuat secara bebas dan tidak terikat pada bentuk tertentu,
sedangkan pada perjanjian hipotik harus dibuat dengan akte otentik.
4)
Pada gadai,
lazimnya benda jaminan hanya digadaikan satu kali, sedangkan pada hipotik,
benda yang dipakai sebagai jaminan dapat dihipotikkan lebih dari satu kali.
Dari penguraian tentang hipotik ini, jika dikaitkan
dengan pembebanannya atas tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah, sejak
berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, dinyatakan tidak
berlaku lagi ketentuan yang mengatur tentang hipotik tersebut yang terdapat
dalam KUHPdt, kecuali seperti pesawat terbang dan kapal laut, dapat dipedomani
ketentuan KUHPdt tersebut.
9.
Hak
Istimewa (Privilege)
a. Pengaturan privilege
Pada dasarnya banyak yang tidak
setuju apabWa privilege di-atur dalam Buku II KUHPdt. Menurut mereka,
privilege bu-kan merupakan hak kebendaan dan hanya merupakan hak untuk
lebih mendahulukan dalam pelunasan/pembayaran piutangnya. Lebih lanjut menurut
mereka, privilege sebaiknya bisa diatur di luar KUHPer atau diatur dalam
hukum acara perdata (dalam hal pelelangan dan kepailitan).
Menurut Prof. Subekti, meskipun privilege
mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand dan hypotheek, tetapi
kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena privilege itu
barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup
untuk melunasi semua utang dan karena privilege itu tidak memberikan
sesuatu kekuasaan terhadap suatu benda.
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi
Masjchoen Sofwan, karena privilege ini sekalipun bukan merupakan hak
kebendaan dalam satu dua hal mempunyai sifat kebendaan juga, dalam satu dua hal
menunjukkan sifat droit de suite. Privilege ini sedikit banyak
memberikan jaminan juga, oleh karena itu, maka menurut sistem hukum KUHPdt, privilege
ini diatur bersama dengan pengaturan pand dan hipotik. Lebih lanjut
menurut beliau, privilege bukan jaminan yang bersifat kebendaan dan
bukan jaminan yang bersifat perorangan, tetapi memberi jaminan juga. Privilege
adalah hak terhadap benda, yaitu terhadap benda debitur. Jika perlu benda
itu dapat dilelang untuk melunasi piutangnya. Sedangkan hak kebendaan itu
adalah hak atas sesuatu
benda. Jadi, adanya privilege itu diberikan oleh undang-undang, bukan
diperjanjikan seperti gadai dan hipotik. Sedangkan menurut Pasal 1134 ayat (2)
KUHPdt, gadai dan hipotik mempunyai kedudukan yang lebih tinggi darfpada hak
istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan
sebaliknya.
b. Pengertian hak istimewa
1) Menurut KUHPer,
Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh
undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih
tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya
piutang (Pasal 1134 ayat 1 KUHPdt).
2) Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1134 ayat (1) KUHPdt,
yang dimaksudkan dengan privilege ialah suatu kedudukan istimewa dari
seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat
piutang.
3)
Menurut Prof.
Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., Dengan mengacu pada Pasal 1134 ayat
(1) KUHPdt, privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang
kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata berdasarkan
sifat dari piutangnya.
c. Macam-macam privilege
Menurut undang-undang, privilege ini ada
2 (dua) macam, yaitu:
1) Privilege khusus
Adalah piutang-piutang yang diistimewakan
terhadap benda-benda tertentu (Pasal 1139 KUHPdt).
2) Privilege umum
Adalah piutang-piutang yang diistimewakan
terhadap semua harta benda (Pasal 1149 KUHPdt).
Menurut ketentuan Pasal 1138 KUHPdt,
privilege yang khusus ini didahulukan dariipada privilege yang
umum.
10. Hak Reklame
Hak reklame ini diatur dalam Pasal 1145-1146a
KUHPdt dan . dalam KUHD (Pasal 230 dan seterusnya). Yang dimaksud dengan . hak reklame adalah hak yang diberikan
kepada si penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si
pembeli ' setelah pembeli membayar tunai. Jadi, jikalau penjualan telah
dilakukan dengan tunai, maka si penjual mempunyai kekuasaan menuntut kembali
barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli,
asal saja penuntutan kembali ini dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah
penyerahan barang kepada si pembeli (Pasal 1145 ayat 1 KUHPdt).
Menurut undang-undang, hak si penjual ini
gugur/tidak dapat dilaksanakan apabila:
1)
Barang-barang
yang telah diterima pembeli, ternyata telah disewakan (Pasal 1146).
2)
Barang-barang
tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah
diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a KUHPdt).
Dari uraian di atas dapat
disimpulkan, bahwa hak reklame ini mempunyai unsur yang dimiliki dalam hak
kebendaan, yaitu ;memberikan kekuasaan langsung pada bendanya dan dapat dipertahankan
terhadap siapa pun juga. Oleh karena hak reklame ini ada miripnya dengan hak
kebendaan, maka ia diatur dalam Buku II KUHPdt.
11. Hak Retentie
Hak retentie ini juga diatur dalam Buku II KUHPdt,
karena mengandung persamaan dengan gadai. Hak retentie ini juga memberikan
jaminan dan juga bersifat accessoir. Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen
Sofwan, yang dimaksud dengan hak retentie adalah hak untuk menahan sesuatu
benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi. Sedangkan
menurut H.F.A. Vollmar, hak menahan (hak retentie) adalah hak untuk tetap
memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda
tersebuttelah lunas. Hak retentie ini mempunyai sifat yang tak dapat
dibagi-bagi. Artinya, pembayaran atas sebagian utang saja, tidak berarti
ha-pusnya hak retentie (harus mengembalikan sebagian dari barang yang ditahan).
Hak retentie hapus apabila seluruh utang telah dibayar lunas.
12. Hak Kebendaan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria No.
5 Tahun 1960, hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut:
a. Hak milik
Adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh
yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua hak atas tanah
mempunyai fungsi sosial (Pasal 20 ayat 1 UUPA).
b. Hak guna usaha
Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang
dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan
pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat 1 UUPA).
c. Hak guna bangunan
Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai
bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu
paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA).
d. Hak pakai
Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut
hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang
lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat
yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah nya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala
sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan undang-undang ini (Pasal 41 ayat 1 UUPA).
e.
Hak sewa
untuk bangunan
Adalah hak seseorang atau suatu badan hukum
mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar
kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat 1 UUPA).
f.
Hak
membuka hutan dan memungut hasil hutan
Adalah hak membuka tanah dan memungut hasil
hutan yang hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia. Dengan mempergunakan hak
memungut hasil hutan secara sah, tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik
atas tanah itu (Pasal 46 UUPA).
g.
Hak guna
air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Adalah hak memperoleh air untuk keperluan
tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain (Pasal 47 ayat 1
UUPA).
h.
Hak guna
ruang angkasa
Adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan
unsur-unsur dalam ruang angkasa, guna memelihara, memperkembangkan kesuburan
bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal lainnya yang bersangkutan
dengan itu (Pasal 48 (1).
i.
Hak-hak
tanah untuk keperluan suci dan sosial
Adalah hak milik tanah badan-badan keagamaan dan
sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial
diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah
yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial (Pasal
49 ayat 1 UUPA).
13. Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Hak
Tanggungan
a. Pengertian hak tanggungan
Mengenai hak tanggungan ini diatur dalam
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang "hak tanggungan atas tanah beserta
benda-benda yang berkaitan dengan tanah" dan disingkat dengan
Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Maksud
hak tanggungan adalah hak jaminan atas tanah yang dibebankan pada hak
atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu
kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan
kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur
yang lain (Pasal 1 angka 1 UUHT).
Kehadiran Undang-Undang Hak Tanggungan ini
adalah bertujuan untuk:
1)
Menuntaskan
unifikasi tanah nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan
Hipotik dan Credietverband (Pasal 29 UUHT).
2)
Menyatakan
berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya hak jaminan
atas tanah. Oleh karena itu, tidak berlaku lagi Fidusia sebagai hak jaminan
atas tanah.
b. Sifat-sifat hak tanggungan
Pada dasarnya, hak tanggungan ini mempunyai
sifat-sifat sebagai berikut:
1)
Kreditur
pemegang hak tanggungan diutamakan (droit de preference) daripada
kreditur-kreditur lainnya dalam rangka pelunasan atas piutangnya (Pasal 1 angka
1 UUHT).
2)
Tidak dapat
dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan oleh kreditur dan debitur dilaksanakan roya
partial (Pasal 2 UUHT).
3)
Obyek hak
tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan (Pasal 5 UUHT).
4)
Hak
tanggungan tetap mengikuti obyeknya ditangan siapa pun obyek tersebut berada
(Pasal 7 UUHT).
5)
Hak tanggungan
hanya dapat diberikan oleh yang berwenang atau yang berhak atas obyek hak
tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 2 UUHT).
6)
Hak
tanggungan dapat beralih kepada kreditur lain apabila perjanjian kreditnya
dipindahkan kepada kreditur yang bersangkutan karena cessie atau
subrograsi (Pasal 16 UUHT).
7)
Pemegang
hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut
UUHT, apabila pemberi hak Tanggungan dinyatakan pailit (Pasal 24 UUHT).
c.
Obyek
hak tanggungan
Menurut Pasal 4 UUHT, obyek dari hak tanggungan
adalah sebagai berikut:
1)
Hak Milik
(Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal
39 UUPA).
2)
Hak Pakai
atas tanah Negara, yang memenuhi syarat sebagai berikut:
a)
Bersertifikat
b) Dapat
diperjual-belikan
3)
Bangunan
Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Riimah Susun, yang berdiri di atas tanah
Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (UU No.
16/1985 tentang Rumah Susun).
Pemberi dan pemegang hak
tanggungan Pemberi hak tanggungan
adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 1
UUHT).
Sedangkan pemegang hak tanggungan
adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang
(kreditur). Sebagai pemegang hak tanggungan, dapat berstatus Warganegara
Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Wargane-gara Asing atau Badan Hukum Asing,
baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri, sepanjang kredit
yang bersangkutan
dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia
(Pasal 9 UUHT).
d. Lahirnya hak tanggungan
Hak tanggungan lahir sejak tanggal
hari ketujuh (hari kerja ketujuh), setelah penerimaan secara lengkap
surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan dinyatakan lengkap
oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan yang bersangkutan.
e.
Hapusnya
hak tanggungan
Menurut Pasal 18 UUHT, hak
tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1)
Hapusnya
piutang yang dijamin dengan hak tanggungan.
2)
Dilepaskannya
hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan.
3)
Pembersihan
hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan
pembeli obyek hak tanggungan.
4)
Hapusnya
hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.