Selasa, 13 Desember 2011

Materi kuliah Pengetahuan dasar Hukum Perdata " Lengkap "


 

BAB I

P E N D A H U L U A N

Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak  adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak  jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata,  baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)

            Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK)  selanjutnya  disebut  dengan  KUHDagang,  dapat  dikatakan   telah  tidak  sesuai  lagi
dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN)  menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
  1. Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
  2. Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
  3. Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
  4. Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).




Kelanjutan gagasan Sahardjo, S.H., yang telah dibawakan pada Kongres MIPI  mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan   ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”.           Dasar pertimbangan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung berawal dari prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, di mana para hadirin yang umumnya terdiri dari para ahli      hukum yang hadir pada waktu itu menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak ikut       kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak       juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan            keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H.,  sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919                  yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober          1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan         barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”          (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya   ketentuan   peraturan perundang-undangan   yang  sesuai  dengan nilai-nilai luhur


bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan  peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.

1. Pertemuan Pertama (K.1)
Pada pertemuan pertama ini diberikan materi tentang :
a. Pengenalan  mata kuliah,  silabus/acuan perkuliahan, referensi/bahan bacaan dan sasaran perkuliahan;
b. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata.
Ad.1.a. Pengenalan mata kuliah,  silabus/acuan perkuliahan 
Acuan perkuliahan yang diberikan disesuaikan dengan kebutuhan dan perkembangan hukum perdata pada umumnya baik sifatnya teoritis maupun teknis, di mana materi kuliah dibagi atas beberapa bab dan sub bab, demikian juga bahan bacaan yang diperlukan sebagai pendukung perkuliahan.
Sasaran perkuliahan

Mata kuliah hukum perdata merupakan mata kuliah yang sangat penting yang harus dikuasai oleh setiap mahasiswa fakultas hukum, karena didalam pembahasannya diberikan dasar-dasar yang kuat tentang hukum perdata tersebut yang berpedoman pada ketiga buku dari KUHPerdata. Oleh karenanya setelah mengikuti mata kuliah ini, diharapkan mahasiswa mengerti dan memahami tentang kerangka hukum perdata tersebut, sehingga mahasiswa mempunyai landasan yang kuat untuk mengikuti materi kuliah lainnya yang erat kaitannya dengan keperdataan, seperti hal-hal yang berkaitan dengan orang, kebendaan dan perikatan yang pada dasarnya secara faktual erat kaitannya dengan kehidupan masyarakat.

Ad.1.b. Istilah dan Pengertian Hukum Perdata
Dalam kurikulum Pendidikan Tinggi Ilmu Hukum di Indonesia pada awal berdirinya telah ditemui berbagai istilah dan atau penamaan dari “hukum perdata”, baik itu pada Fakultas Hukum, Sekolah Tinggi Ilmu Hukum maupun Akademi Hukumnya. Istilah dan atau penamaan hukum perdata dimaksud, dikenalkan dengan berbagai istilah dan atau penamaan hukum perdata di dalam kurikulum pendidikannya. Demikian juga halnya dengan kalangan sarjana hukum, namun demikian, dengan adanya  Konsorsium Ilmu Hukum, menurut Z. Ansori Ahmad "dalam khazanah ilmu hukum di Indonesia, pernah dikenal adanya istilah dan pembedaan antara Hukum Perdata BW dan Perdata Adat (Z.A. Ahmad, 1986 : 1).
Pembedaan sebagaimana dimaksudkan, dapat diartikan erat hubungannya dengan sejarah dan sisa-sisa politik masa lampau dari Penjajahan Kolonial Belanda, yang sampai saat ini masih tetap berlaku sebagai hukum positif berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945. Sementara itu dalam penamaan istilahnya, konsorsium ilmu hukum, mempergunakan istilah "hukum perdata" ditujukan untuk "hukum perdata BW" dan hukum adat untuk "hukum perdata adat". Kenyataan ini dapat diartikan, bahwa dibidang hukum perdata terjadi dualisme, di mana untuk golongan Erofah diberlakukan hukum perdata (BW) sebaliknya untuk golongan bumi putera diberlakukan hukum adat mereka, sementara itu mengenai hukum perdata BW di maksud, diberlakukanlah di daerah Hindia Belanda dengan menggunakan asas konkordansi.
Kata-kata perdata sebagaimana dimaksudkan pertama kali secara resmi terdapat dalam perundang-undangan Indonesia ditemui dalam Konstitusi RIS yakni pada Pasal 15 ayat 2, Pasal 144 ayat 1 dan Pasal 158 ayat 1. Dalam UUDS RI Tahun 1950 istilah perdata dapat dilihat pada pasal 15 ayat 2, Pasal 101 ayat 1 dan Pasal 106 ayat 3. Beranjak dari ketentuan –ketentuan tersebut, terutama penggunaan istilah hukum perdata merupakan alih bahasa dari bahasa Belanda yakni burgerlijk recht, hal ini secara resmi dapat dilihat dalam Pasal 102 UUDS, demikian juga dapat dilihat dalam Undang-undang Darurat No. 5 Tahun 1952 Tentang Bank Industri Negara yang termuat dalam Lembaran Negara RI Tahun 1952 No. 21 pada tanggal 20 Pebruari Tahun 1952 dan diundangkan pada tanggal 28 Pebruari Tahun 1952. Padanan istilah yang sama dengan burgerlijk recht tersebut adalah civiel recht dan atau privat recht, dalam hal mana  burger diartikan sebagai warga masyarakat, sedangkan privat diartikan dengan pribadi, sebaliknya civiel berarti warga masyarakat.
Keadaan tersebut, jika dilihat dalam bahasa Inggrisnya, hukum perdata dikenal dengan istilah civil law. Kata civil berasal dari bahasa Latin yakni “civis”yang berarti warga negara. Hal tersebut berarti, bahwa civil law atau hukum sipil itu merupakan hukum yang mengatur tentang masalah-masalah yang berkaitan dengan hak-hak warga negara dan atau perseorangan. Beranjak dari itu, jika dilihat  dari berbagai literatur yang ditulis para sarjana, juga dijumpai berbagai macam  definisi hukum perdata, terkadang satu sama lainnya berbeda-beda, namun tidak menunjukan perbedaan yang tidak terlalu  prinsipil. Kebanyakan para sarjana menganggap hukum  perdata sebagai hukum yang mengatur kepentingan perseorangan (pribadi) yang berbeda dengan "hukum publik" sebagai hukum yang mengatur kepentingan umum (masyarakat).
Dalam uraian berikut dikemukakan beberapa pandangan dari para ahli hukum berkaitan dengan pengertian hukum perdata dimaksud, antara lain; H.F.A. Vollmar memberikan suatu pengertian tentang hukum perdata sebagai berikut, hukum perdata adalah :
 “Aturan-aturan atau norma-norma yang memberikan pembatasan dan oleh karenanya memberikan perlindungan pada kepentingan-kepentingan perseorangan dalam perbandingan yang tepat  antara kepentingan yang satu dengan kepentingan yang lain dari orang-orang dalam suatu masyarakat tertentu terutama yang mengenai hubungan keluarga dan hubungan lalu lintas” (H.F.A. Vollmar, 1989: 2).

Selanjutnya Sudikno Mertokusumo juga memberikan pengertian dari hukum perdata, menurut beliau, hukum perdata adalah “hukum antar perseorangan yang mengatur hak dan kewajiban orang perseorangan yang satu terhadap yang lain di dalam hubungan kekeluargaan dan di dalam pergaulan masyarakat” (S. Mertokusumo, 1986: 108). Sementara itu menurut Sri Soedewi Masjhoen Sofwan," bahwa  hukum perdata adalah hukum yang mengatur kepentingan antara warga negara perseorangan yang satu dengan warga negara perseorangan yang lain (Sri Soedewi, 1975: 1). Demikian juga Van Dunne memberikan pengertian hukum perdata sebagai berikut :
“hukum perdata merupakan suatu aturan yang mengatur tentang hal-hal yang sangat esensial bagi kebebasan individu seperti orang dan keluarganya, hak milik dan perikatan. Sedangkan hukum publik memberikan jaminan yang menimal bagi kehidupan pribadi” (Van Dunne, 1987:1).

Dari beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli hukum di atas, maka secara umum dapat dikelompokkan kedalam dua konsep pemahaman, dikatakan demikian karena pengertian yang dikemukakan lebih memfokuskan kepada pengaturan ketentuannya seperti apa yang dikemukakan oleh Sri Soedewi dan Van Dunne. Sebaliknya pemahaman pengertian lainnya lebih menitik beratkan kepada aspek perlindungan hukum dan ruang lingkup pembahasannya. Dikatakan demikian, karena perlindungan hukum sebagaimana dimaksudkan sangat erat berkaitan dengan perlindungan perseorangan dalam melakukan hubungan hukum dengan perseorangan yang lainnya. Selanjutnya dalam hal ruang lingkup perhatiannya juga  menitik beratkan kepada  adanya hubungan kekeluargaan di dalam pergaulan masyarakat.
Beranjak dari pemahaman pengertian hukum perdata di atas, dapat dikatakan bahwa pada prinsipnya hukum perdata itu adalah;

“keseluruhan aturan baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur hubungan kepentingan orang (persoon) yang satu dengan kepentingan orang (persoon) lainnya yang terjadi karena hubungan kekeluargaan maupun akibat  pergaulan dalam masyarakat. Sementara itu, orang (persoon) sebagaimana dimaksudkan adalah dalam pengertian yuridis, artinya disamping manusia sebagai subjek hukum, termasuk  juga kedalam pengertian orang (persoon) tersebut adalah badan hukum walaupun hanya terbatas dalam lalu lintas hukum saja.

Hal di atas berarti, bahwa hukum perdata pada dasarnya mengatur kepentingan orang (persoon), namun tidak berarti semua hukum perdata secara murni mengatur kepentingan orang (persoon) tersebut, dikatakan demikian, karena dalam perkembangan kehidupan masyarakat banyak bidang-bidang hukum perdata yang telah diwarnai sedemikian rupa oleh hukum publik, misalnya bidang perkawinan dan perburuhan. Berkaitan dengan itu, sebenarnya hukum perdata tersebut dapat dilihat dari berbagai  sudut pandang, misalnya dari ruang lingkupnya dan dari sudut isinya. Di lihat dari ruang lingkupnya, maka hukum perdata ini terdiri atas :
1. Hukum perdata dalam arti luas;
    Hukum perdata dalam arti luas ini termasuk kedalamnya, disamping apa yang diatur dalam hukum perdata BW juga termasuk kedalamnya adalah hal-hal yang berkaitan dengan pengaturan yang terdapat dalam hukum dagang (WvK) itu sendiri. Dikatakan demikian, hal ini disebabkan  keadaan yang ditimbulkan dalam perdagangan yang diatur dalam hukum dagang (Wv) tidak bisa dilepaskan dari adanya perbuatan keperdataan itu sendiri, seperti; jual beli, asuransi, pengangkutan dan sebagainya. Sedangkan pemisahan pengaturan antara hukum perdata BW dengan hukum dagang (WvK) hanya soal latar belakang sejarah pembuatannya, karena antara hukum perdata BW dan hukum dagang (WvK) itu sendiri pada dasarnya adalah suatu hal yang tidak bisa dipisahkan.

2. Hukum perdata dalam arti sempit

     Membicarakan hukum perdata dalam arti sempit, dalam hal ini pembahasannya lebih terfokus dengan apa yang diatur dalam hukum perdata BW itu sendiri dan peraturan lainnya yang berkaitan dengan masalah keperdataan.


2. Pertemuan kedua (K.2)
Pada pertemuan kedua ini dibahas tentang :
a. sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
b. Kedudukan BW/KUHPerdata  sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia

Ad. 2. a. Sejarah terbentuknya Hukum Perdata BW;
Berkaitan dengan sejarah terbentuknya hukum perdataBW, dalam hal ini tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda. Sebaliknya sejarah terbentuknya  Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda juga tidak bisa dipisahkan dengan sejarah terbentuknya Code Civil Perancis" (R.Syahrani, 1992 : 12). Perjalanan sejarah dari terbentuknya BW ini, berawal dari 50 tahun sebelum Masehi, yakni saat Julius Caesar berkuasa di Eropa Barat, hukum Romawi telah berlaku di Perancis yang berdampingan dengan hukum Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania yang saling mempengaruhi.
Suatu ketika wilayah negeri Perancis terbelah menjadi dua daerah hukum yang berbeda.  Bagian Utara adalah daerah hukum yang tidak tertulis (pays de droit coutumier), sedangkan daerah selatan merupakan daerah hukum yang tertulis (pays de droit ecrit).  Di Utara berlaku hukum kebiasaan Perancis Kuno yang berasal dari hukum Germania sebelum resepsi hukum Romawi. sedangkan di Daerah Selatan berlaku hukum Romawi yang tertuang dalam Corpus Iuris Civilis pada pertengahan abad ke VI Masehi dari Justianus. Corpus Iuris Civilis pada zaman itu dianggap sebagai hukum yang paling sempurna, terdiri dari 4 bagian, yaitu (1) Codex Justiniani, (2) Pandecta, (Institutiones, dan (4) Novelles Codex Justianni berisi kumpulan undang-undang (leges lex) yang telah dibukukan oleh para ahli hukum atas perintah Kaisar Romawi yang dianggap sebagai himpunan segala macam undang-undang.  Pandecta memuat kumpulan pendapat para ahli hukum Romawi yang termashur misalnya Gaius, Papinianus, Palus, Ulpianus, Modestinus dan sebagainya.  Institutiones memuat tentang pengertian lembaga-lembaga hukum Romawi dan Novelles adalah kumpulan undang-undang yang dikeluarkan sesudah codex selesai. Hanya mengenai perkawinan di seluruh negeri Perancis berlaku Codex Iuris Canonici (hukum yang ditetapkan oleh Gereja Katolik Roma). Berabad-abad lamanya keadaan ini berlangsung terus dengan tidak ada kesatuan hukum. 
Pada bagian  kedua abad  XVII di negeri Perancis telah timbul aliran-aliran yang ingin menciptakan kodifikasi hukum yang akan berlaku di negeri itu agar diperoleh kesatuan hukum Perancis.  Pada akhir abad XVII, oleh Raja Perancis dibuat beberapa peraturan perundang-undangan (seperti ordonnance Sur les Donations yang mengatur mengenai soal-soal pemberian, ordonnance Sur les Tertament yang mengatur mengenai soal-soal testamen, ordonannce Sur les Substitutions fideicommissaires yang mengatur mengenai soal-soal substitusi. Kodifikasi hukum Perdata di Perancis baru berhasil diciptakan sesudah Revolusi Perancis (1789-1795), dimana pada tanggal 12 Agustus 1800 oleh Napoleon dibentuk suatu panitia yang diserahi tugas membuat kodifikasi, yang menjadi sumbernya adalah :
a.       Hukum Romawi yang digali dari hasil karya-karya para sarjana bangsa Perancis yang kenamaan (Dumolin, Domat dan Pothier);
b.      Hukum Kebiasaan Perancis, lebih-lebih hukum kebiasaan dari Paris;
c.       Ordonnance-Ordonnance;
d.      Hukum Intermediare yakni hukum yang ditetapkan di Perancis sejak permulaan Revolusi Perancis hingga Code Civil terbentuk.
Kodifikasi hukum perdata Perancis, sebagaimana dimaksudkan harus selesai dibentuk tahun 1804 dengan nama Code Civil des Francais. Code Civil Prancis ini mulai berlaku sejak tanggal 21 Maret 1804.  Setelah diadakan perubahan sedikit disana-sini, pada tahun 1807 diundangkan dengan nama Code Napolion, tapi kemudian disebut dengan Code Civil Perancis.  Sejak tahun 1811 sampai tahun 1838 Code Civil Perancis ini setelah disesuaikan dengan keadaan di negeri Belanda berlaku sebagai kitab undang-undang yang resmi di negeri Belanda, karena negeri Belanda berada di bawah jajahan Perancis.  Di negeri Belanda setelah berakhir pendudukan Perancis tahun 1813, maka berdasarkan Undang-Undang Dasar (Grond Wet) negeri Belanda tahun 1814 (pasal 100) dibentuk suatu panitia yang bertugas membuat rencana kodifikasi hukum perdata.   Panitia ini diketuai Mr. J.M. Kemper.
Tahun 1816 oleh Kemper disampaikan kepda Raja suatu rancangan kodifikasi hukum perdata tapi rancangan ini tidak diterima oleh para ahli hukum bangsa Belgia (pada waktu itu negeri Belanda dan negeri Belgia merupakan suatu negera) karena rencana tersebut disusn Kemper berdasarkan hukum Belanda kuno.  Sedangkan para ahli hukum bangsa Belgia menghendaki agar rancangan itu disusun menurut Code Civil Perancis.  Setelah mendapat sedikit perobahan, maka rancangan itu disampaikan kepada Perwakilan Rakyat Belanda (Tweede Kamer)  pada  tanggal  22 Nopember 1820.     Rencana   ini  terkenal   dengan   nama
"ontwerp Kemper" (Rencana Kemper).  Dalam perdebatan di Perwakilan Rakyat Belanda, rencana Kemper ini mendapat tantangan yang hebat dari anggota-anggota bangsa Belgia (wakil-wakil Nederland Selatan) yang dipimpin oleh Ketua Pengadilan Tinggi di Kota Luik (Belgia) yang bernama Nicolai.
Dalam tahun 1822 rencana Kemper itu ditolak oleh Perwakilan Rakyat Belanda. Setelah Kemper meninggal dunia tahun 1824, pembuatan kodifikasi dipimpin oleh Nicolai dengan suatu metode kerja yang baru yaitu dengan menyusun daftar pertanyaan tentang hukum yang berlaku yang akan dinilai parlemen.  Setelah diketahui kehendak mayoritas, panitia lalu menyusun rencana-rencana dan mengajukannya ke parlemen (Perwakilan Rakyat) untuk diputuskan. Demikianlah cara kerja yang dilakukaan semenjak tahun 1822 sampai 1826 bagian demi bagian Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Belanda diselesaikan dan setiap bagian dimuat tersendiri dalam Staatsblad, tetapi tanggal mulai berlakunya tentu saja ditangguhkan sampai seluruhnya selesai.  Dalam tahun 1829 pekerjaan itu selesai dan diakhiri dengan baik. Undang-undang yang tadinya terpisah dihimpun dalam satu kitab undang-undang dan diberi nomor urut lalu diterbutkan.  Berlakunya ditetapkan tanggal 1 Februari 1931.  Pada waktu yang sama dinyatakan pula berlaku Wetboek van Koophandel (WvK), Burgelijke Rechtsvordering ( BRv). Sedangkan Wetboek van Strafrecht (WvS) menyusul kemudian.
Berdasarkan azas konkordansi maka peraturan perundang-undangan yang berlaku di Negeri Belanda diberlakukan juga buat orang-orang golongan Eropah di Hindia Belanda. Untuk itu, dengan firman Raja Belanda tanggal 15 Agustus 1839 No. 102 dibentuk suatu komisi dengan tugas membuat rencana peraturan-peraturan untuk memberlakukan peraturan itu sekiranya dipandang perlu. Komisi itu terdiri dari Mr.C.J Scholten, Mr. I Scheiner dan Mr. I.F.H van Nos. Setelah 6 tahun bekerja komisi tersebut dibubarkan (dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 No. 68)  berhubung dengan permintaan berhentinya Mr. Scholten van Out Haaslem oleh karena selalu terganggu kesehatannya. Kemudian dengan Firman Raja tanggal 15 Desember 1845 timbangan Negara Jhr. Mr. H.I Wichers diutus ke Hindia Belanda untuk memangku jabatan Ketua Mahkamah Agung dan Mahkamah Agung Tentara sebelum berangkat dia diwajibkan bersama-sama Mr. Scholten van Out Haarlem untuk menyiapakan rencana peralatan hukum buat Hindia Belanda yang masih belum selesai dikerjakan. Rencana peraturan yang telah dihasilkan adalah :
1.      Algemene Bepalingen van Wetgeving voor Nederlandsch Indie (Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia);
2.      Burgelijk Wetboek (Kitab Undang-undang Hukum  Perdata);
3.      Wetboek van Koophandel ( K.U.H. Dagang ).
4.      Reglement op de Rechterlijke Organisatie en het Beleid der Justitie (RO = Peraturan susunan  pengadilan dan pengurusan justisi);
5.      Enige Bepalingen betreffende Misdrijven begaan tergelegenheid van Faillissement en bij Kennelijk Overmogen, mitsgader bij Surseance van Betaling (Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar)
Sebagai hasil kerja Mr. Wicher dan Mr. Scholten van Out Haarlem maka dikeluarkan Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 No.  1,  dan beberapa hari kemudian berangkatlah Mr. Wicher  ke Hindia Belanda membawa kitab-kitab hukum yang telah selesai   dikerjakannya   serta   telah   ditandatangani   oleh Raja untuk diberlakukan di Hindia Belanda. Firman Raja Belanda tanggal 16 Mei 1846 No. 1 itu semuanya terdiri dari 9 pasal dan isinya diumumkan seluruhnya di Hindia Belanda dengan Stb. 1847 no. 23. Dalam pasal 1 nya antara lain dinyatakan bahwa peraturan-peraturan hukum yang dibuat untuk Hindia Belanda adalah : (1) Ketentuan umum perundang-undangan di Indonesia, (2) Kitab undang-undang hukum perdata, (3) Kitab undang-undang hukum dagang. (4) Peraturan susunan pengadilan dan pengurusan justisi, dan (5) Beberapa ketentuan mengenai kejahatan yang dilakukan dalam keadaan pailit dan dalam keadaan nyata tidak mampu membayar.   Kemudian dalam pasal 2 Firman Raja itu ditentukan, bahwa Gubernur Jenderal Hindia Belanda akan mengatur tindakan-tindakan yang diperlukan untuk mengumumkan peraturan-peraturan tersebut di atas di dalam bentuk yang lazim digunakan di Hindia Belanda, sebelum atau pada tanggal 18 Mei 1847 serta untuk memberlakukannya sebelum atau pada tanggal 1 Januari 1848.
Dalam sejarah tercatat, perjalanan kapal yang membawa kitab-kitab hukum itu ternyata terlambat tiba di Indonesia, sehingga menimbulkan terhambatnya segala persiapan untuk memberlakukan perundang-undangan yang baru itu. Maka oleh karena itu dengan Firman Raja tanggal 10 Pebruari 1847 Nomor 60 diberikan kuasa kepada Gubernur Hindia Belanda untuk mengundurkan penetapan saat berlakunya peraturan-peraturan hukum tersebut. Persiapan memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut dikerjakan oleh Mr. Wichers yang di Hindia Belanda menjabat sebagai anggota Raad van State Belanda yang diperbantukan pada Gubernur Jenderal.  Tugas Gubernur Jenderal adalah memberlakukan peraturan-peraturan hukum tersebut (pasal 2 Firman Raja tanggal 16 Mei 1846 no. 1). Dalam hubungan ini Mr. Wichers telah membuat beberapa rancangan peraturan antara lain "Reglement op de Uitoefening van de Politie, de Burgerlijke Rechtspleging en de Strafvordering onder de Indonesiers (golongan hukum Indonesia asli) en de Vreemde Oosterlingen (golongan hukum Timur Asing) op Java en Madoera" (Stb. 1848 No. 16 jo 57) yang sekrang sebagai Reglemen Indonesia Baru (RIB).
Akhirnya dengan suatu peraturan penjalan (invoeringsverordening) yang bernama "Bepalingen omtrent de Invoering van en de Overgang tot de Niewe Wetgeving (Stb. 1848 No. 10) yang disingkat dengan "Overgangsbepalingen" (peraturan peralihan) yang juga disusun oleh Mr. Wichers, maka kodifikasi hukum perdata (Burgerlijk Wetboek) menjadi berlaku di Hindia Belanda tanggal 1 Mei Tahun 1848. Pasal 1 Overgangbapalingen itu menyatakan bahwa, "pada waktu kodifikasi hukum tersebut mulai berlaku, maka hukum Belanda Kuno, hukum Romawi dan semua statuta aturan yang baru itu". Dalam pada itu menurut pasal 2 nya, hal tersebut tidak mengenai hukum pidana.
Berdasarkan fakta-fakta sejarah tentang terbentuknya Code Civil Perancis, Kitab Undang-undang Hukum Perdata Belanda dan Burgelijk Wetboek yang diungkapkan di atas ini, maka jelaslah bahwa Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgelijk Wetboek) yang sekarang masih berlaku di Indonesia adalah Kitab Undang-undang Hukum Perdata yang telah menyerap atau mengambil alih secara tidak langsung asas-asas dan kaidah-kaidah hukum yang berasal dari hukum Romawi, hukum Perancis kuno, Belanda kuno dan sudah tentu pula hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat dimana dan dimasa kodifikasi tersebut diciptakan yakni pada waktu ratusan tahun yang silam.

Ad.2..b. Kedudukan  BW/KUHPerdata  sebagai undang-undang setelah Indonesia merdeka
Era globalisasi yang melanda dunia pada dekade terakhir, berpengaruh terhadap Indonesia yang tidak henti-hentinya dilanda berbagai krisis, baik ekonomi, politik, HAM, keamanan negara dan sebagainya, tanpa kompromi, Indonesia sebagai Negara besar harus tetap eksis memperhatikan perkembangan pergaulannya dengan bangsa lain dimuka bumi ini, karena Indonesia sendiri adalah salah satu komponen penghuninya yang harus tetap berhubungan dengan negara dan bangsa lain. Dalam pada itu, sebagai akibat adanya kemungkinan timbulnya pengaruh secara timbal balik arus era globalisasi dan informasi dimaksud, maka salah satunya adalah mempersiapkan keberadaan hukum Perdata Nasional yang mempunyai ciri khusus dan sesuai dengan nilai-nilai luhur bangsa Indonesia sendiri, namun mampu menjawab tantangan kedepan dalam menghadapi persaingan yang semakin kompetitif dengan bangsa-bangsa lainnya, khusus dengan masuknya unsur-unsur asing (foreign element) yang telah melintasi batas negara sendiri, sehingga mau tidak mau dan sangat mendesak  adalah keberadaan hukum perdata nasional dimaksud.
Berkaitan dengan itu, sebenarnya sejak  jauh hari salah seorang pakar hukum yang sangat disegani dan dihormati oleh kalangan ilmuan hukum, beliau adalah Prof. Dr. Mr. R. Soepomo, pernah mengemukakan dan mengingatkan dalam pidato Dies Natalis Universitas Gajah Mada Yogyakarta pada tanggal 17 Agustus 1947;
“bahwa hukum dalam masyarakat itu dipengaruhi oleh perkembangan masyarakat itu sendiri, maka Hukum Perdata Nasional nantinya harus pula dapat menyesuaikan dirinya dengan cita-cita Nasional menurut aspirasi Bangsa Indonesia”. Karena itu dalam menanggapi perkembangan hukum perdata dewasa ini perlu diarahkan kepada arus pembawaan jiwa dan kebudaayan Nasional menuju kepada penemuan Hukum Perdata Nasional yang dapat memenuhi kebutuhan-kebutuhan tindak-tindak perdata,  baik yang bersifat dan beraliran barat maupun yang bersendi kepada norma-norma kebuyaan timur” (A.Ichsan, 1969 : 5)

            Beranjak dari pendapat ahli hukum tersebut, hal ini dapat diartikan bahwa “adanya harapan agar para penerus bangsa ini untuk lebih memperhatikan kehidupan bangsanya disamping tetap memperhatikan pergaulan dengan bangsa lainnya. Dikatakan demikian, karena berbagai produk peraturan-peraturan peninggalan penjajahan Belanda, baik itu Burgerlijk WetBoek (BW) selanjutnya disebut KUHPerdata, WetBoek Van Koophandel (WvK)  selanjutnya  disebut  dengan  KUHDagang,  dapat  dikatakan   telah  tidak  sesuai  lagi
dengan perkembangan keadaan, walaupun sebenarnya telah ada berbagai produk peraturan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh negara, seperti Undang-undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, Undang-undang Pokok Perkawinan No. 1 Tahun 1974, Undang-undang Perseroan Terbatas No. 1 Tahun 1995, Undang-udang Hak Tanggungan Atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas Tanah No. 4 Tahun 1996, Undang-undang Jaminan Fiducia No. 42 Tahun 1999, Undang-undang Yayasan No. 16 Tahun 2001, Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 dan lain-lain.
Adanya ketentuan-ketentuan di atas dan peraturan lainnya sangat berpengaruh terhadap keutuhan ketentuan peninggalan penjajahan dan oleh karenanya keadaan itu janganlah membuat bangsa ini tertidur dan dinina bobokkan dengan adanya Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang dibuat tanpa batas yang jelas dan tegas tentang saat kapan berakhirnya. Mencerermati keadaan tersebut wajarlah bahwa Sahardjo, S.H., waktu menjadi Menteri Kehakiman RI pada Tahun 1962 memunculkan suatu gagasan yang diajukan dalam rapat Badan Perancang Hukum Nasional (BPHN)  menyarankan bahwa: “khusus KUHPerdata tidak lagi sebagai undang-undang, melainkan sebagai dokumen saja yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis” (Z.A. Ahmad, 1986 : 47). Selanjutnya gagasan Sahardjo, S.H. tersebut dikemukakan lagi dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI) di Yogyakarta Tahun 1962 melalui prasaran Mr. Wirjono Prodjodikoro dengan judul; “Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat”, di mana isi prasaran tersebut mengemukakan hal-hal sebagai berikuit :
  1. Peraturan dari zaman Belanda yang sekarang masih berlaku dan belum dicabut, sudah tidak sesuai lagi dengan kepentingan masyarakat Indonesia saat ini;
  2. Mempertanyakan; “apakah BW harus menunggu dicabut dulu, untuk memberhentikan berlakunya sebagai Undang-undang di Indonesia”;
  3. Gagasan Sahardjo, S.H., untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang tetapi hanya sebagai dokumen yang berisi hukum tidak tertulis saja, adalah sangat menarik. Artinya dengan menganggapnya sebagai dokumen, para hakim akan lebih leluasa untuk mengenyampingkan pasal-pasal BW yang tidak sesuai lagi dengan kepentingan Nasional;
  4. Karena BW hanya tinggal sebagai pedoman saja, maka demi kepentingan hukum dia perlu secara tegas dicabut. Pencabutannya tidak perlu dengan suatu Undang-undang, tetapi cukup dengan suatu pernyataan saja dari Pemerintah atau Mahkamah Agung (Z.A. Ahmad, 1986 : 47).

Kelanjutan gagasan Sahardjo, S.H., dibawa pada Kongres MIPI  mendapat tanggapan positif dari Mr. Wirjono Prodjodikoro yang waktu itu sebagai Ketua Mahkamah Agung RI yang mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 yang berisi gagasan; “untuk menganggap BW tidak lagi sebagai Undang-undang, konsekuensi gagasan   ini adalah dengan mencabut berlakunya sebanyak delapan pasal dari BW tersebut”.  Dasar pertimbangan keluarnya SEMA berawal dari prasaran dalam Kongres MIPI Tahun 1962, hadirin yang umumnya menyetujuinya dan demikian juga halnya yang tidak ikut kongres juga menerimanya. Tetapi kemudian dalam kenyataannya harus diakui banyak juga dari mereka yang tidak hadir yang menentang gagasan Sahardjo, S.H. dan keluarnya Surat Edaran Mahkamah Agung No. 3 Tahun 1963 tersebut, diantaranya adalah; Prof. Mr. Mahadi dan demikian juga Prof. Subekti, S.H.,  sebagai pengganti Prof. Mr. Wirjono Prodjodikoro sebagai ketua Mahkamah Agung pada waktu itu. Ketidak setujuan Prof. Subekti dikemukakannya di depan Seminar Hukum Nsional II di Semarang pada Tahun 1968 dan pada saat ceramah dihadapan dosen hukum dagang saat mengikuti “Post Graduate Course” di Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada Yogyakarta Tahun 1975. Menurut Subekti, bahwa :
“baik gagasan seorang Menteri Kehakiman maupun Surat Edaran mahkamah Agung, bukanlah merupakan sesuatu sumber hukum formal, paling-paling dia hanya dapat dianggap sebagai suatu anjuran pada para hakim untuk jangan takut-takut menyingkirkan pasal-pasal dari BW yang dirasakan sudah tidak sesuai lagi dan membikin yurisprudensi, sebab hanya yurisprudensilah yang dapat menyingkirkan pasal-pasal dari BW itu, seperti; Pasal 108 BW, Arrest 31 Januari 1919 yang memperluas pengertian Pasal 1365 BW, Arrest Bierbrouwerij Oktober 1925 yang menyingkirkan Pasal 1152 BW yang mengharuskan penyerahan barang yang digadaikan, tetap dalam kekuasaan orang yang menggadaikan”. (Z.A. Ahmad, 1986 : 51).

Melihat uraian di atas, dapat dikatakan bahwa keberadaan KUHPerdata sebagai ketentuan undang-undang hingga saat ini masih terus diperdebatkan, artinya usulan-usulan yang menganggap dia hanya sebagai dokumen hukum saja tetap menjadi perdebatan diantara kalangan ahli hukum, tetapi setidak-tidaknya ide itu perlu terus dipikirkan dan dipertimbangkan, terutama baik kalangan ahli hukum, peraktisi hukum dan para pihak yang mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan, untuk terus menggali dan mencermati berlakunya   ketentuan   peraturan perundang-undangan   yang  sesuai  dengan nilai-nilai luhur bangsa, dan tidak terpaku dengan Aturan Peralihan Pasal II UUD 1945 yang tidak membuat batasan yang jelas dan tegas tentang limit waktu berakhirnya ketentuan peninggalan penjajahan tersebut. Ditambah lagi ketentuan-ketentuan peninggalan penjajahan sudah berusia cukup lama, di mana di negeri Belanda sendiri sebenarnya sudah sejak lama tidak diberlakukan lagi. Maka sudah sewajarnyalah bangsa ini memikirkan tentang bagaimana ketentuan-ketentuan yang berkaitan peraturan-peraturan  peninggalan penjajahan tersebut diganti dan atau dinyatakan tidak berlaku lagi dengan jalan terus berupaya membuat dan memberlakukan ketentuan baru yang sesuai dengan keadaan bangsa dan kemajuan zaman, karena ketentuan-ketentuan yang bersifat keperdataan dalam perkembangannya dan penerapannya dapat saja dipengaruhi oleh berbagai aspek hukum lainnya, seperti; aspek hukum pidana, administrasi maupun ketentuan hukum Internasional sebagai akibat pengaruh global dan hubungan antar warga yang berlainan kewarganegaraannya.
Dalam pada itu, tentang bagaimana kedudukan Hukum Perdata BW khususnya KUHPerdata (Burgerlijk Wetboek) sebagaimana dimaksudkan di atas, Saleh Adiwinata, mengemukakan "Persoalan ini  pertama kali dilontarkan oleh Menteri Kehakiman RI tahun 1962 pada salah satu Rapat Kerja Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional bulan Mei tahun 1962" (S. Adiwinata, 1983; 26). Menurut Saleh, dalam hal mana; "Menteri Kehakiman, pada waktu itu Sahardjo, SH, melontarkan suatu problema hukum : "Apakah BW sebagai kodifikasi tidak telah habis masa berlakunya pada saat kita memproklamasikan kemerdekaan pada tanggal 17 Agustus 1945 ?".  Sahardjo berpendapat bahwa BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang melainkan sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum yang tidak tertulis.  Dengan kata lain  BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek yang hanya dipakai suatu pedoman" (S. Adiwinata, 1983; 26).
Menanggapi persoalan yang dikemukakan Menteri Kehakiman Sahardjo tersebut dalam pada itu Mahadi  berpendapat sebagai berikut:
1.      BW sebagai kodifikasi sudah tidak berlaku lagi.
2.      Yang masih berlaku ialah aturan-aturannya, yang tidak bertentangan dengan semangat serta suasana  kemerdekaan.
3.      Diserahkan kepada yurisprudensi dan doktrina untuk menetapkan aturan mana yang masih berlaku dan aturan mana yang tidak bisa dipakai lagi.
4.      Tidak setuju diambil suatu tindakan legislatif untuk menyatakan bahwa aturan-aturan BW dicabut sebagai aturan-aturan tertulis.  Tegasnya, tidak setuju, untuk menjadikan aturan-aturan BW yang masih bisa berlaku menjadi hukum kebiasaan (hukum adat), sebab :
  1. Kelompok-kelompok hukum, yang sekarang di atur dalam BW, akan menjelma nanti di dalam hukum nasional kita juga dalam bentuk tertulis. Setapak kearah itu telah kita lakukan yaitu sebahagian dari Buku II telah diatur secara lain di dalam Undang-undang Pokok Agraria.  Hukum Perjanjian (Buku III) sedang dalam perencanaan Hukum Acara Perdata, yang melingkupi sebahagian dari Buku IV sedang dirancangkan.  Dan  sebagainya. Jadi, tidak logis kalau yang tertulis sekarang itu dijadikan tidak tertulis, untuk kemudian dijadikan tertulis kembali (meskipun dengan perubahan-perubahan).
  2. Dengan berlakunya aturan-aturan BW sebagai hukum adat,  tidak hilang segi diskriminatifnya. Mungkin hilang segi intergentilnya, tapi masih tetap ada segi "interlokalnya". 
  3. Dengan memperlakukan BW sebagai hukum adat, tidak ada lagi alasan untuk mempertahankan peraturan-peraturan tentang Burgerlijke Stand sebagai         aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand sebagai aturan-aturan tertulis. Peraturan-peraturan tentang Burgerlike Stand nyata-nyata bersifat diskriminatif, sebab pada umumnya tidak ada Burgerlijke Stand untuk sebagain besar dari warga negara Indonesia.
  4. Kedudukan BW rasanya harus kita tilik bergandengan dengan kedudukan KUH Dagang.  Dapatkah kita membuat pernyataan bahwa aturan-aturannya berlaku sebagai hukum adat ?, Apakah tidak ada segi-segi internasionalnya,  bandingkan dengan wesel.
  5. Menjadikan aturan-aturan BW sebagai hukum adat mempunyai akibat psikologis terhadap alam pemikiran hakim madya, yaitu para hakim muda lepasan SMKA dan para hakim bekas-bekas pegawai administratif yang tidak sedikit jumlahnya itu.  Sekarang mereka mempunyai perpegangan, pernama norma hukum tertulis dan kedua yurisprudensi. Jika aturan-aturan BW dijadikan hukum adat,          maka hanya tinggal satu pegangan ini, kata Mahadi, tidak membawa akibat baik kepada mutu keputusan-keputusan hakim yang bersangkutan.(S. Adiwinata, 1983; 34-35).
Mahadi akhirnya mengusulkan agar persoalan ini diserahkan kepada Mahkamah Agung  melalui yurisprudensinya serta melalui jalan lain di dalam rangka peradilan terpimpin, dibantu oleh para pengarang di dalam majalah hukum, untuk menjelaskan aturan-aturan mana dari BW itu yang dapat dipandang sebagai tidak berlaku lagi. Kemudian gagasan Sahardjo yang menganggap BW bukan lagi sebagai Wetboek tetapi Rechtsboek ini dibawa ke dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia (MIPI-sekarang LIPI) II yang diadakan di Yogyakarta  pada bulan  Oktober 1962, yang dikemukakan  Wirjono Prodjodikoro, dalam prasarannya yang berjudul "Keadaan Transisi dari Hukum Perdata Barat", di mana dalam prasarannya itu dikemukakan pemikiran :
1.      Mengingat kenyataan bahwa BW oleh penjajah Belanda dengan sengaja disusun sebagai tiruan belaka dari BW di negeri Belanda dan untuk pertama-tama diperlakukan buat orang-orang Belanda di Indonesia, yang sudah merdeka lepas    dari belenggu penjajahan Belanda itu, masih pada tempatnyakah untuk memandang BW tersebut sejajar dengan suatu Undang-undang yang secara resmi berlaku di Indonesia ?. Dengan kata lain apakah BW yang bersifat kolonial masih pantas secara resmi dicabut dulu untuk menghentikan berlakunya di  Indonesia sebagai undang-undang?;
2.      Gagasan Menteri Kehakiman Sahardjo, dalam sidang Badan Perancang Lembaga Pembinaan Hukum Nasional pada bulan Mei 1962 yang menganggap BW tidak lagi sebagai suatu undang-undang, melainkan hanya sebagai suatu dokumen yang hanya menggambarkan suatu kelompok hukum tidak tertulis, sangat menarik hati, oleh karena dengan demikian para penguasa terutama para hakim lebih leluasa untuk mengesampingkan beberapa Pasal dari BW yang tidak sesuai dengan Indonesia;
3.      Namun oleh karena dalam gagasan tersebut, BW masih tetap sebagai pedoman yang harus diperhatikan seperlunya oleh para pengusa, maka untuk kepastian hukum masih sangat perlu diusahakan sekuat tenaga, agar dalam waktu yang tidak terlalu lama, BW sebagai pedomanpun harus dihilangkan sama sekali dari Bumi Indonesia secara tegas, yaitu dengan suatu pencabutan, tidak dengan undang-undang, melainkan dengan suatu pernyataan Pemerintah atau dari Mahkamah Agung.(Wirjono.P, 1979 : 7-11)
Gagasan tentang kedudukan hukum BW yang dikemukakan Wirjono dalam Kongres Majelis Ilmu Pengetahuan Indonesia tersebut, mendapatkan sambutan dan persetujuan, di mana  Mahkamah Agung menyetujuinya dan sebagai konsekuensinya, Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Surat Edaran No. 3 Tahun 1963 tanggal 5 September 1963 yang disebarluaskan kepada semua PN dan PT di seluruh Indonesia. Surat Edaran Mahkamah Agung No.3 Tahun 1963 tentang "gagasan menganggap Burgerlijk Wetboek tidak sebagai undang-undang". Sebagai konsekwensi dari gagasan tersebut, kemudian Mahkamah Agung menganggap tidak berlaku lagi antara lain pasal-pasal berikut dari Burgerlijk Wetboek :
Pasal-pasal 108 dan 110 BW tentang wewenang seorang istri untuk melakukan perbuatan hukum untuk menghadap di muka pengadilan tanpa izin dan bantuan suami.
1.      Pasal 284 ayat (3) BW mengenai pengakuan anak yang lahir di luar perkawinan oleh seorang perempuan Indonesia asli.  Dengan demikian, pengakuan anak itu tidak lagi berakibat terputusnya perhubungan hukum antara Ibu dan Anak, sehingga juga tentang hal ini tidak ada lagi perbedaan diantara semua warga negara Indonesia.
2.      Pasal 1682 BW yang mengharuskan dilakukannya suatu perhibahan dengan akta Notaris.
3.      Pasal 1579 BW yang menentukan bahwa dalam hal sewa  menyewa barang si pemilik barang tidak dapat menghentikan persewaan dengan mengatakan, bahwa ia akan memakai sendiri barangnya, kecuali apabila pada waktu membentuk persetujuan sewa menyewa ini  dijanjikan diperbolehkan.
4.      Pasal 1283 BW yang menyimpulkan bahwa pelaksanaan suatu perjanjian hanya dapat diminta di muka hakim, apabila gugatan ini didahului dengan penagihan tertulis. 
Mahkamah Agung sudah pernah memutuskan antara dua orang Tionghoa bahwa pengiriman turunan surat gugat kepada tergugat dapat dianggap sebagai           penagihan, oleh karena sitergugat masih dapat menghindarkan terkabulnya gugatan dengan membayar hutangnya sebelum hari sidang  pengadilan.
5.      Pasal 1460 BW tentang resiko seorang pembeli barang, pasal mana menentukan, bahwa suatu barang tertentu yang sudah dijanjikan dijual, sejak saat itu adalah tanggung jawab pembeli, meskipun penyerahan barang itu belum dilakukakan. Dengan tidak lagi berlakunya pasal ini, maka harus ditinjau dari tiap-tiap keadaan, apakah tidak sepantasnya pertanggungan jawab atau resiko atas musnahnya barang yang sudah dijanjikan dijual tetapi belum diserahkan harus dibagi antara kedua belah pihak, dan kalau ya, sampai   kapan saatnya.
6.      Pasal 1603 x ayat (1) dan ayat (2) BW yang mengadakan diskriminasi antara orang Eropah disatu pihak dan bukan orang Eropah di lain pihak mengenai perjanjian perburuhan.

Ad.2. c. Hukum Perdata dan Pemberlakuannya di Indonesia



            Hukum perdata di Indonesia sampai saat ini masih beraneka ragam (pluralistis), dimana masing-masing golongan penduduk mempunyai hukum perdata sendiri, kecuali bidang-bidang tertentu yang sudah ada unifikasi. Keanekaragaman hukum perdata di Indonesia ini sebenarnya sudah berlangsung lama, bahkan sejak kedatangan orang Belanda di Indonesia pada tahun 1596. Keaneka ragaman hukum ini berawal pada ketentuan dalam pasal 163 IS (Indische Staatsregeling) yang membagi penduduk Hindia Belanda berdasarkan atas tiga golongan yaitu :
1.      Golongan Eropah, ialah (a) semua orang Belanda, (b) semua orang Eropah lainnya,  (c) semua orang Jepang, (d) semua orang yang berasal dari tempat lain yang dinegaranya tunduk kepada hukum keluarga yang pada pokoknya berdasarkan atas yang sama seperti hukum Belanda, dan (e) anak sah atau diakui menurut undang-undang, dan anak yang dimaksud sub b dan c yang lahir di Hindia Belanda;
2.      Golongan Bumiputera, ialah semua orang yang termasuk rakyat Indonesia Asli, yang tidak beralih masuk golongan lain dan mereka yang semua termasuk golongan lain yang telah membaurkan dirinya dengan rakyat Indonesia;Golongan Timur Asing, ialah semua orang yang bukan golongan Eropah dan golongan Bumiputera
3.      Selanjutnya dalam pasal 131 IS dinyatakan bahwa "bagi golongan Eropah berlaku hukum di negeri Belanda (yaitu hukum Eropah atau hukum Barat) dan bagi golongan-golongan lainnya (Bumiputera dan Timur Asing) berlaku hukum adat masing-masing". Kemudian apabila kepentingan umum serta kepentingan sosial mereka menghendakinya, maka hukum untuk golongan Eropah dapat dinyatakan         berlaku bagi mereka, baik seutuhnya maupun dengan  perubahan-perubahan, dan juga diperbolehkan membuat suatu peraturan baru bersama.
Berdasar ketentuan Pasal 131 IS di atas, maka kodifikasi hukum perdata hanya berlaku bagi golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan.  Sementara itu bagi golongan Bumiputera dan timur asing berlaku hukum adat mereka masing-masing kecuali sejak tahun 1855 hukum perdata Eropah diperlakukan terhadap golongan timur asing selain hukum keluarga dan waris. Selanjutnya ada beberapa peraturan yang khusus dibuat untuk Bumiputera seperti ; ordonansi perkawinan bangsa Indonesia yang beragama Kristen (Stb. 1933 No. 74), ordonansi tentang maskapai Andil Indonesia, disingkat dengan IMA (Stb. 1939 No. 569 jo 717 dan ordonansi tentang perkumpulan bangsa Indonesia (Stb. 1939 No. 570 jo. No. 717).
Selanjutnya orang-orang bukan Eropah dapat dengan suka rela menunjukan diri kepada hukum perdata Eropah hal ini diatur dalam Stb. 1917 No. 17 yang diberi nama dengan "Regeling Nopens de Vrijwillige Onderwerping aan het Europeesch Privatrecht" (Peraturan mengenai penundukan diri dengan suka rela kepada hukum perdata Eropah. Peraturan ini mengenal empat macam penundukan diri yaitu: penundukan diri kepada seluruh hukum perdata Eropah (pasal 1 s/d 17), penundukan diri pada perbuatan hukum tertentu (pasal 29).  Mengenai pasal 29 tersebut menentukan jika seorang bangsa Indonesia Asli melakukan suatu perbuatan hukum yang tidak dikenal atau tidak diatur dalam hukumnya sendiri, maka ia dianggap secara diam-diam menundukan dirinya pada hukum perdata Eropah misalnya menandatangani aksep (surat kesanggupan untuk membayar sejumlah uang), menandatangani wesel, menandatangani perjanjian asuransi dan sebagainya.
Diadakannya lembaga penundukkan diri ini, sedikitnya banyaknya adalah untuk kepentingan orang-orang golongan Eropah sendiri. Dikatakan demikian sebab seperti dinyatakan oleh Mr. C.J Scholten ; "bahwa penundukkan sukarela akan memberi keamanan besar dan keuntungan kepada orang Eropah, sebab kalau mereka membuat perjanjian atau perikatan dengan orang-orang yang tidak tergolong ke dalam  orang Eropah, dengan memperlakukan hukum Eropah atas perjanjian yang dibuatnya itu.  Dengan demikian kepentingan orang Eropah dapat diamankan karena hukum Eropah merupakan hukum tertulis yang akan lebih banyak memberikan kepastian hukum dari pada hukum adat yang tidak tertulis. Lembaga penundukan diri secara sukarela tidak mungkin terjadi sebaliknya, artinya lembaga ini hanya mungkin dilakukan oleh orang Indonesia Asli dan Timur Asing terhadap hukum Perdata Eropah, dan tidak mungkin terjadi penundukan diri secara suka rela dari orang eropah atau timur asing terhadap hukum adat.


Sebagaimana telah dikemukakan di atas bahwa lembaga penundukan diri kepada hukum perdata Eropah bagi golongan Timur Asing sudah hampir tidak relevan lagi dengan adanya peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79.  Sebab dengan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 dan Wetbooek van Koophandel) dinyatakan berlaku terhadap orang golongan timur asing, kecuali hukum keluarga dan hukum waris. Pada Tahun 1917 mulai di adakan pembedaan antara golongan Timur Asing Tionghoa dan Timur Asing bukan Tionghoa, karena untuk golongan Timur Asing Tionghoa dianggap bahwa hukum Eropah yang sudah berlaku bagi mereka dapat diperluas lagi. Peraturan tersendiri mengenai hukum perdata ini bagi mereka, termuat dalam Stb. 1917 No. 129 (yang baru berlaku untuk seluruh Indonesia sejak tanggal 1 September 1925).  Menurut peraturan ini seluruh hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali pasal-pasal mengenai Burgerlijk Stand yang termuat dalam bagian 2 dan 3 titel 4 buku I BW, dimana bagi orang-orang Timur Asing Tionghoa diadakan Burgerlijk Stand tersendiri, serta peraturan tersendiri tentang pengangkatan anak (adopsi) pada bagian II dari Stb. 1917 No. 129 tersebut. 
Dalam pada itu, bagi orang-orang golongan Timur Asing bukan  Tionghoa (Arab, India, Pakistan dll), berdasarkan peraturan yang termuat dalam Stb. 1855 No. 79. Kemudian dirubah dan ditambah dengan Stb. 1924 No. 556 tanggal 9 Desember 1924 dan mulai berlaku tanggal 1 Maret 1925, hukum perdata Eropah berlaku bagi mereka, kecuali mengenai hukum keluarga dan hukum waris, dimana untuk kedua bidang hukum ini tetap berlaku hukum adat mereka sendiri. Tetapi mengenai pembuatan wasiat (testament) hukum perdata Eropah berlaku juga bagi mereka.   

3. Pertemuan Ketiga (K.3)

Pada pertemuan ketiga di bahas tentang :
a. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Eropah;
b. Bidang-bidang Hukum Perdata;
c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi;
d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa



Ad.3. a. Dasar Hukum Berlakunya Hukum Perdata Erofah
Apabila dilihat dalam Undang-Undang Dasar 1945, Konstitusi RIS dan Undang-undang Dasar sementara 1950 terdapatnya  aturan peralihan, di mana salah satu maksud diadakannya aturan peralihan tersebut adalah "untuk menjadi dasar berlakunya terus peraturan perundang-undangan yang ada pada saat  Undang-Undang Dasar tersebut diberlakukan". Dengan demikian kefakuman hukum yang dapat menimbulkan ketidakpastian dan kekacauan dalam masyarakat dalam dihindari. Aturan peralihan sebagaimana dimaksudkan di atas, dalam UUD 1945 Pasal II nya menentukan : "segala badan negara dan peraturan yang ada masih langsung berlaku, selama sebelum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar ini". Dalam pada itu Pasal IV Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 juga menetukan bahwa "sebelum Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Pertimbangan Agung dibentuk menurut Undang-Undang Dasar ini, segala kekuasaan dijalankan oleh Presiden  dengan bantuan sebuah Komite Nasional Pusat".
Berdasarkan Aturan Peralihan tersebut, kemudian pada tanggal 10 Oktober 1945 Presiden mengadakan dan mengumumkan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945, yang bunyinya sebagai berikut : "KAMI, PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA, untuk ketertiban masyarakat, bersandar pada Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia pasal II berhubung dengan pasal IV menetapkan peraturan sebagai berikut" :
Pasal 1
"Segala Badan-badan Negara dan Peraturan yang ada sampai berdirinya negara Republik Indonesia pada tanggal 17 Agustus 1945, selama belum diadakan yang baru menurut Undang-Undang Dasar masih berlaku asal saja tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar tersebut".

Pasal 2
"Peraturan ini mulai berlaku pada tanggal 17 Agustus 1945".  Dalam menjelaskan Peraturan Pemerintah No. 2 tahun 1945 ini disebutkan bahwa, diadakan Peraturan Pemerintah tersebut adalah untuk lebih menegaskan berlakunya pasal 2 Peraturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945.

Pada waktu Indonesia dijajah oleh Jepang, sampai sebelum tanggal 17 Agustus 1945, berlaku peraturan-peraturan Pemerintah Balatentara Jepang.  Dalam hal mana untuk daerah Jawa dan Madura, Pemerintah  Balatentara Jepang telah  mengeluarkan Undang-Undang No. 1 tahun 1942 tanggal 7 Maret 1942, dimana dalam pasal 3 dinyatakan : "Semua badan-badan Pemerintah dan kekuasaannya, hukum dan undang-undang dari Pemerintah yang dahulu, tetap diakui sah buat sementara waktu, asal saja tidak bertentangan dengan aturan Pemerintah Meliter". Sementara itu untuk daerah-daerah di luar Jawa dan Madura ada badan-badan dan keluasaan lain Balatentara Jepang yang tindakan-tindakan dalam hal ini boleh dikatakan sama. Oleh karena itu maka dapat dikatakan bahwa pada zaman Jepangpun tetap melanjutkan berlakunya peraturan perundang-undangan dari zaman Hindia Belanda, yang sebenarnya tidak hanya mengenai hukum perdata, akan tetapi juga hukum-hukum bidang yang lain, seperti hukum pidana, hukum acara pidana, hukum acara perdata, dan sebagainya.
Berkaitan dengan uraian di atas, dapat dikatakan, bahwa dengan adanya ketentuan peralihan UUD 1945 dan Peraturan Pemerintah No. 2 Tahun 1945 sebagaimana dikemukakan, maka segala peraturan hukum peninggalan Pemerintah Hindia Belanda dahulu (seperti IS, BW, WvK, dan sebagainya)  dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Ad.3.b. Bidang-bidang Hukum Perdata
Mengenai bidang-bidang hukum perdata sebagaimana dimaksudkan di atas, Riduan Syahrani mengemukakan, bahwa dalam ilmu pengetahuan, hukum perdata dibagi dalam 4 bagian yakni  :
1.      Hukum perseorangan/badan pribadi (personenrecht);
2.      Hukum Keluarga (familierecht);
3.      Hukum harta kekayaan (vermogenrecht);
4.      Hukum waris (erfrecht), (Wirjono.P, 1979 : 29).
Sementara itu bidang-bidang hukum perdata menurut undang-undang adalah sebagaimana termuat dalam BW yang terdiri dari 4 buku, antara lain:
Buku I             : Tentang orang (van personen);
Buku II           : Tentang benda (van zaken);
Buku III          : Tentang perikatan (van verbintenissen);
Buku IV          : Tentang pembuktian dan daluwarsa (van bewij en verjaring).
Hukum keluarga di dalam BW dimasukan pada buku I tentang orang. Hal ini disebabkan oleh karena hubungan-hubungan keluarga berpengaruh besar terhadap kecakapan seseorang untuk memiliki hak-hak serta kecakapannya untuk menggunakan hak-haknya itu.  Hukum waris dimasukan dalam Buku II tentang benda oleh karena perwarisan adalah merupakan salah satu cara untuk memperoleh hak milik (eigendom). Sedangkan hak milik (eigendom) diatur dalam Buku II.  Selain itu juga dikatan bahwa pembentuk undang-undang menganggap bahwa hak waris adalah merupakan hak kebendaan, yaitu hak kebendaan atas "boedel" dari orang yang meninggal dunia.  Sedangkan pembuktian dan daluwarsa sebenarnya termasuk hukum acara perdata sehingga kurang tepat dimasukan dalam BW yang pada asasnya mengatur hukum perdara materil. Tapi rupanya ada pendapat bahwa hukum acara perdata itu dapat dibagi dalam dua bagian yaitu bagian materil dan bagian formil.  Soal-soal pembuktian dan alat-alat bukti termasuk bagian materil sehingga dapat juga dimasukan dalam BW sebagai hukum acara perdata.
Ad.3.c. Bagian-Bagian BW yang Tidak Berlaku Lagi
Pada waktu sekarang BW bukan lagi sebagai Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berlaku secara  menyeluruh seperti mulai diberlakukan pada tanggal 1 Mei 1848, dikatakan demikian, karena sesuai dengan amanat yang terdapat dalam Aturan Peralihan dari UUD 1945, yakni sebelum terbentuknya peraturan-peraturan yang beru maka peraturan sebelum kemerdekaan masih dapat digunakan sebagai acuan. Akan tetapi setelah kemerdekaan,  Pemerintah kemudian membuat peraturan-peraturan yang sesuai dengan keadaan sekarang dan nilai-nilai luhur bangsa, sehingga berakibat peraturan peninggalan kolonial tersebut tidak berlaku lagi, demikian juga halnya dengan beberapa ketentuan dari BW tersebut.
Ketentuan-ketentuan sebagaimana dimaksudkan di atas, antara laian Undang-undang Nasional dilapangan perdata yang pertama sekali secara radikal menyatakan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah UUPA Nomor 5 tahun 1960, yang lahir tanggal 24 September 1960. Berlakunya UUPA ini, maka bagian Buku II BW  mengenai benda, sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya. Berlakunya UUPA itu maka berlakunya pasal-pasal BW Buku II sesuai dengan Surat Departemen Agraria tanggal 26 Pebruari 1964 nomor Unda 10/3/29 dapat diperinci atas 3 macam :
a.       Ada pasal-pasal yang masih berlaku penuh karena tidak mengani bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
b.      Ada pasal-pasal yang menjadi tak berlaku lagi, yaitu pasal-pasal yang melulu mengatur tentang bumi, air dan  kekayaan alam yang terkandung di dalamnya.
c.       Ada pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti bahwa ketentuan-ketentuannya tidak berlaku lagi sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam          yang terkandung di dalamnya dan masih tetap berlaku sepanjang benda-benda lainnya.   (Sri Soedewi, 1975 : 4).
Sementara itu Pasal-pasal mana dari Buku II BW yang masih berlaku penuh, pasal-pasal mana yang tidak berlaku dan pasal-pasal mana yang masih berlaku tetapi tidak penuh, Sri Soedewi Masjhoen Sofwan, dalam bukunya hukum benda memperinci secara garis besar sebagai berikut :
a.       Pasal-pasal yang masih berlaku penuh ialah :
  1. Pasal-pasal tentang benda bergerak yakni pasal 505, 509, 518 BW;
  2. Pasal-pasal tentang penyerahan benda bergerak pasal 612, 613 BW;
  3. Pasal-pasal tentang bewoning, ini hanya mengenai rumah pasal 826 - 827 BW;
  4. Pasal-pasal tentang hukum waris pasal 830 - 1130 BW. Walaupun ada beberapa pasal dalam Hukum Waris yang juga mengenai tanah, tanah diwarisi menurut hukum yang berlaku bagi si pewaris;
  5. Pasal-pasal tentang piutang yang diistimewakan (Previlegie) pasal 1130 - 1149 BW;
  6. Pasal-pasal tentang gadai karena gadai hanya melulu mengenai benda bergerak, pasal 1150 - pasal 1160 BW;
  7. Pasal-pasal tentang hipotik, karena hipotik meskipun mengenai tanah memang dikecualikan dari pencabutan oleh UUPA, dikurangi pasal-pasal yang tak pernah berlaku berdasarkan pasal 31 O.V (peraturan peralihan perundang-undangan) S. 1848 No.10 setelah berlakunya UUPA ketentuan-ketentuan mengenai segi formil/acara dari hipotik yaitu mengenai pembebanan / pemberian hipotik dan pendaftaran hipotik, mengenai hal tersebut harus tunduk pada ketentuan-ketentuan yang ada dalam UUPA, PP No. 10 tahun 1961, PMA 15 tahun 1961 beserta peraturan-peraturan pelaksana lainnya, namun  setelah keluarnya undang-undang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah dan Benda-benda yang ada di atas Tanah dan PP No 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, maka ketentuan Hipotik atas Tanah sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 57 UUPA No. 5 Tahun  1960, dinyatakan tidak berlaku lagi.
b.      Pasal-pasal yang tidak berlaku lagi ialah :
  1. Pasal-pasal tentang benda tak bergerak yang melulu berhubungan dengan hak-hak mengenai tanah;
  2. Pasal-pasal tentang cara memperoleh hak milik melulu mengenai tanah;
  3. Pasal-pasal mengenai penyerahan benda-benda tak beregerak, tidak pernah berlaku;
  4. Pasal-pasal tentang kerja Rodipasal 673 BW;
  5. Pasal tentang hak dan kewajiban pemilik pekarangan bertentangan  P 625 - 672 BW;
  6. Pasal-pasal tentang pengabdian pekarangan (erfpachtbaarheid) pasal 674 - 710 BW
  7. Pasal-pasal tentang Erfpacht pasal 711 - 719 BW;
  8. Pasal-pasal tentang hak Erfpacht 720 - 736 BW;
  9. Pasal-pasal tentang bunga tanah dan hasil  sepersepuluh pasal 737 - 755 BW.
  10. Pasal-pasal yang mengatur tentang Hipotik atas Tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah.
Pasal-pasal yang masih berlaku tetapi tidak penuh, dalam arti tidak berlaku sepanjang mengenai bumi, air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya, masih tetap berlaku sepanjang mengenai benda-benda lain, ialah :
  1. Pasal-pasal tentang benda pada umumnya;
  2. Pasal-pasal tentang cara membedakan benda pasal 503 - pasal 505 BW;
  3. Pasal tentang benda tidak mengenai tanah, terletak di antara pasal-pasal 529-568 BW;
  4. Pasal tentang hak milik sepanjang tidak mengenai tanah,  di antara pasal 570 BW;
  5. Pasal-pasal tentang hak memungut hasil (Vruchtgebruuk) sepanjang tidak mengenai tanah pasal 756 BW;
  6. Pasal tentang hak pakai  tidak mengenai tanah, pasal 818 BW. (Sri Soedewi,   1975 : 4).
Berkaitan dengan hal tersebut di atas, Boedi Harsono mengemukakan, "Kemudian semua pasal-pasal yang merupakan pelaksanaan atau berkaitan dengan pasal-pasal yang tidak berlaku lagi itu, meskipun tidak secara tegas dicabut dan letaknya diluar Buku II yaitu dalam Buku III dan Buku IV seperti pasal 1588 s/d 1600 tentang sewa menyewa tanah, dan pasal 195 dan 1963 tentang verjaring sebagai upaya untuk mndapatkan hak eigendom atas tanah tidak berlaku lagi. Demikian juga pasal 621,622 dan 623 BW yang mengatur tentang penegasan hak atas tanah yang menjadi wewenang Pengadilan Negeri, tidak berlaku lagi, karena tempatnya didalam Buku II, yakni pasal-pasal yang secara tegas dicabut oleh UUPA. Setelah berlakunya UUPA penegasan hak atas tanah harus menurut cara sebagaimana yang diatur  dalam Peraturan Pemerintah No.10 tahun 1961 tentang "Pendaftaran Tanah" yang telah dicabut dengan berlakunya PP No. 24 Tahun 1997 yang menentukan bahwa pemberian penegasan hak atas tanah itu dilakukan oleh Kepala Kantor Pendaftaran Tanah saat ini menjadi Badan Pertanahan Nasional” (B. Harsoeno, 1993 : 127 –131).
Undang-Undang Nasional di lapangan perdata yang juga cukup besar mengakibatkan tidak berlakunya lagi beberapa ketentuan dalam BW adalah Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan yang lahir pada tanggal 2 Januari 1974 ( LNRI 1974 No.1 ).Dengan adanya Undang-Undang No.1 Tahun 1974 ini, maka pasal-pasal yang mengatur tentang perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan dalam Buku I BW, sepanjang telah diatur dalam Undang-Undang  Pokok Perkawinan Nasional tersebut dinyatakan tidak berlaku lagi.
Dalam  Undang-Undang No.1 tahun 1974 tentang perkawinan ini telah diatur tentang dasar perkawinan, syarat-syarat perkawinan, pencegahan perkawinan,  batalnya perkawinan, perjanjian perkawinan, hak-hak dan kewajiban suami isteri, harta benda dalam perkawinan, putusnya perkawinan serta akibatnya, kedudukan anak, hak dan kewajiban antara orang tua dan anak, perwalian, pembuktian asal usul anak, perkawinan diluar Indonesia dan perkawinan campuran. Maka pasal-pasal Buku I BW yang mengatur mengenai hal-hal yang telah diatur dalam  Undang-undang No.1 tahun 1974 tersebut tidak berlaku lagi yaitu sekitar pasal-pasal 26 s/d 418a (titel IV s/d XV). Bahkan pasal-pasal 419 s/d 432 (titel XVI) yang mengatur lembaga pendewasaan (Handlichting) menjadi tidak berlaku lagi, karena menurut pasal 47 Undang-undang No.1 tahun 1974 seorang anak yang berumur 18 tahun sudah dianggap dewasa, sehingga terhadap dirinya tidak perlu lagi dilakukan pendewasaan..
Sementara itu dengan lahirnya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, yang disusul Instruksi Presidium Kabinet No. 31/U/IN/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 dan dilengkapi Keputusan Presedium Kabinet No. 127/UKep/12/1966 tanggal 27 Desember 1966 yang diatur lebih lanjut dalam Surat Mendagri No. Pol.32/12/21 tanggal 9 Juli 1969 kepada para Gubernur dan Bupati/Walikota seluruh Indonesia maka pasal-pasal Buku I BW sepanjang mengenai hal yang sama yang telah diatur dalam Undang-Undang tersebut tidak berlaku lagi.
Dalam pada itu bagian-bagian dan pasal-pasal BW yang tidak berlaku lagi karena dikesampingkan dan mati karena putussan-putusan hakim yang merupakan yurisprudensi-yurisprudensi, agaknya tidak mungkin disebutkan satu-persatu di sini. Akan tetapi untuk menyebutkan sebagai contoh pasal-pasal atau ketentuan-ketentuan BW yang tidak berlaku lagi karena mati oleh yurisprudensi adalah pasal-pasal yang disebut dalam Surat Edaran Mahkamah Agung N0. 3/1963 yaitu pasal-pasal 108, 110, 284 ayat (3), 1682, 1579, 1238, 1460 dan 1603 x ayat (1) dan (2). Dengan adanya Surat Edaran Mahkamah Agung No.3/1963 tersebut para hakim tidak merasa takut lagi untuk mengesampingkan pasal-pasal BW tersebut karena sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan dan kemajuan masyarakat sekarang.
Ad.3.d. Hukum Perdata Bersifat Pelengkap dan Memaksa
Menurut kekuatan berlakunya atau kekuatan mengikatnya, hukum perdata dapat dibedakan atas hukum yang bersifat pelengkap (aanvullend recht) dan hukum yang bersifat memaksa (dwingend recht). Hukum yang bersifat pelengkap adalah peraturan-peraturan hukum yang boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, peraturan-peraturan hukum mana hanyalah berlaku sepanjang orang-orang yang berkepentingan tidak mengatur sendiri kepentingannya. Misalnya dalam pasal 1477 BW ditentukan bahwa  penyerahan harus terjadi di tempat dimana barang yang dijual berada pada waktu penjualan, jika tentang itu tidak telah ditentukan lain. Peraturan hukum ini bersifat pelengkap, sehingga orang-orang yang mengadakan perjanjian jual beli sesuatu barang boleh menyimpanginya dengan mengadakan perjanjian yang menentukan sendiri tempat dan waktu penyerahan tersebut. Pasal 1477 BW barulah mengikat dan berlaku bagi mereka yang mengadakan perjanjian jual-beli sesuatu barang, kalau mereka tidak menentukan sendiri secara lain.
Hukum yang bersifat memaksa adalah peraturan- peraturan hukum yang tidak boleh dikesampingkan atau disimpangi oleh orang-orang yang berkepentingan, terhadap peraturan-peraturan hukum mana orang-orang yang bekepentingan harus tunduk dan mentaatinya. Dalam pasal 39 Undang-undang No.1 tahun 1974 ditentukan bahwa "perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan berdasarkan alasan yang sah yang telah ditentukan". Peraturan hukum ini bersifat memaksa, sehingga suami isteri tidak boleh mengadakan perceraian sendiri di luar sidang pengadilan tanpa alasan yang sah yang telah ditentukan. Dengan demikian hukum perdata tidak selalu berisi peraturan-peraturan hukum yang bersifat pelengkap, meskipun hukum perdata itu merupakan bagian dari pada hukum yang mengatur kepentingan-kepentingan perseorangan, dan pada galibnya dibidang ini berperan kehendak individu yang bersangkutan, melainkan ada peraturan-peraturan hukum yang bersifat memaksa, yang membatasi kehendak individu-individu tersebut. Hukum perdata yang bersifat memaksa merupakan hukum perdata yang mengandung ketentuan-ketentuan tentang ketertiban umum dan kesusilaan. Pada bidang-bidang yang menyangkut ketertiban umum dan kesusilaan inilah otonomi individu dibatasi.

BABI II

HUKUM ORANG

4. Pertemuan Keempat (K.4)
Manusia Sebagai Subjek Hukum
Pertemuan keempat, merupakan perkuliahan awal yang telah memasuki pembahasan bab 2 yang di bahas adalah hukum tentang orang, namun dalam pembahasannya dikaitkan juga dengan pembahasan hukum perkawinan, hal ini disebabkan bahwa masalah perkawinan dalam sistematika BW/KUHPerdata dimasukan kedalam pembahasan hukum orang, namun pada pertemuan keempat ini pembahasan lebih difokuskan  tentang manusia sebagai subjek hukum yang terdapat beberapa aspek yang perlu dibahas di dalamnya, antara alain :
a). Manusia
            Manusia adalah pengertian biologis ialah gejala dalam alam, gejala biologika yaitu makhluk hidup yang mempunyai pancaindra dan mempunyai budaya.  Sedangkan orang adalah pengertian juridis ialah gejala dalam hidup bermasyarakat.  Dalam hukum yang menjadi pusat perhatian adalah orang atau person.      Menurut hukum modern, seperti hukum yang berlaku sekarang di Indonesia, setiap manusia diakui sebagai manusia pribadi.  Artinya diakui sebagai orang atau person. Karena itu setiap manusia diakui sebagai subjek hukum (rechtspersoonlijkheid) yaitu pendukung hak dan kewajiban. Hak dan kewajiban perdata tidak tergantung kepada agama, golongan, kelamin, umur, warganegara ataupun orang asing.  Demikian pula hak dan kewajiban perdata tidak tergantung pula kepada kaya atau miskin, kedudukan tinggi atau rendah dalam masyarakat, penguasa (pejabat) ataupun rakyat biasa, semuanya sama.
            Manusia sebagai pendukung hak dan kewajiban sebagaimana dimaksudkan, dimulai sejak lahir dan baru berakhir apabila mati atau meninggal dunia.  Pengecualiannya sebagai mendukung hak dan kewajiban dalam KUHPerdata ditergaskan pada pasal 2 yang  menentukan sebagai berikut :
(1)    Anak yang ada dalam kandungan seorang perempuan, dianggap sebagai telah dilahirkan, bilamana juga kepentingan si anak menghendakinya;
(2)    Mati sewaktu dilahirkan, dianggaplah ia tak pernah telah ada".
            Ketentuan yang termuat dalam pasal 2 BW di atas ini sering disebut "rechtsfictie".  Ketentuan ini sangat penting dalam hal warisan misalnya. Demikian juga dalam pasal 236 KUHPerdata ditentukan; “bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia telah ada pada saat pewaris meninggal dunia”.  Hal ini berarti, bahwa seseorang hanya dapat menjadi ahli waris kalau ia hidup sebagai manusia biasa pada saat pewaris meninggal dunia.  Akan tetapi dengan adanya pasal 2 BW, seorang anak yang masih dalam kandungan ibunya sudah dianggap seolah-olah sudah dilahirkan, manakala anggapan ini menjadi keuntungan si anak. Tapi kalau anak dalam kandungan itu kemudian dilahirkan mati, maka ia dianggap sebagai tak pernah telah ada.  Artinya kalau anak (bayi) itu lahir hidup, meskipun hanya sedetik dan ini dapat ditentukan maka ia ketika dalam kandungan dianggap sudah hidup, sehingga dalam kandunganpun ia sudah merupakan orang yakni pendukung hak. Pentingnya pasal 2 BW terlihat pada contoh kasus sebagai berikut.  Seorang ayah pada tanggal 1 Agustus 1984 meninggal dunia. Pada saat meninggal dunia ini ia mempunyai dua orang anak, sedangkan istrinya dalam keadaan hamil (mengandung).
            Seandainya pasal 2 BW tidak ada, maka yang menjadi ahli waris kalau ayah yang meninggal dunia itu tidak meninggalkan wasiat hanyalah dua orang anaknya dan jandanya (istrinya). Pada tanggal 1 September 1984 dalam kandungan istri itu lahir hidup dan segar bugar. Kalu pasal 2 BW itu tidak ada, maka boedel warisan yang ditinggalkan ayahnya hanya dibagi antara saudara-saudaranya dan ibunya, yang masing-masing mendapat sepertiga, sedangka ia yang masih dalam kandungan ketika ayahnya meninggal dunia tidak mendapat apa-apa.  Keadaan ini dirasakan tidak adil,



namun keberadaan Pasal 2 BW tersebut dimaksudkan untuk meniadakan ketidakadilan itu, sehingga anak yang ada dalam kandunganpun merupakan ahli waris.  Karena itu bagian dari masing-masing ahli waris pada contoh kasus di atas ini adalah seperempat (tiga anak dan seorang istri/janda).  Pembagian ini juga berlaku seandainya anak itu hanya hidup sedetik.  Adapun bagiannya mendaji warisan.  Jadi anak yang hidup sedetik dan kemudian meninggal itu menjadi pewaris.  Sedang yang menjadi ahli warisnya adalah saudara-saudaranya dan ibunya.
            Sebagaimana telah dikatakan bahwa berakhirnya seseorang sebagai pendukung hak dan kewajiban dalam perdata adalah apabila ia meninggal dunia.  Artinya selama seseorang masih hidup selama itu pula ia mempunyai kewenangan berhak.  Pasal 3 BW menyatakan :"Tiada suatu hukumanpun mengakibatkan kematian perdata, atau kehilangan segala hak perdata". Tetapi ada beberapa faktor yang mempengaruhi kewenangan berhak seseorang yang sifatnya membatasi kewenangan berhak tersebut antara lain adalah :
1.      Kewarga-negaraan; misalnya dalam pasal 21 ayat (1) UUPA disebutkan bahwa hanya warganegara Indonesia yang dapat mempunyai hak milik;
2.      Tempat tinggal; misalnya dalam psal 3 Peraturan  Pemerintah  No. 24 tahun 1960 dan pasal I Peraturan Pemerintah No. 41 tahun 1964 (tambahan pasal 3a s/d 3e) jo. pasal 10 ayat (2) UUPA disebutkan larangan pemilikan tanah pertanian oleh orang yang bertempat tinggal di luar kecamatan tempat letak tanahnya;
3.      Kedudukan atau Jabatan; misalnya hakim dan pejabat hukum lainnya tidak boleh memperoleh barang-barang yang masih dalam perkara.
4.      Tingkah laku atau Perbuatan; misalnya dalam pasal 49 dan 53 Undang-undang No. 1 tahun 1974 disebutkan, bahwa kekuasaan orang tua dan wali dapat dicabut dengan keputusan pengadilan dalam hal ia sangat melalaikan kewajibannya sebagai orang tua /wali atau berkelakuan buruk sekali.
b). Ketidak Cakapan
            Selanjutnya meskipun setiap orang tiada terkecuali sebagai pendukung hak dan kewajiban atau subjek hukum (rechtspersoonlijkheid), namun tidak semuanya cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid).  Orang-orang yang menurut undang-udang dinyatakan tidak cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah :
1.      Orang yang belum dewasa, yaitu anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan (pasal 1330 BW jo pasal 47 UU no. 1 tahun 1974);
2.      Orang-orang yang ditaruh di bawah pengampuan, yaitu orang-orang dewasa tapi dalam keadaan dungu, gila, mata gelap, dan pemboros (pasal 1330 BW jo pasal 433 BW);
3.      Orang-orang yang dilarang undang-undang melakukan perbuatan-perbuatan  hukum  tertentu, misalnya orang dinyatakan pailit (pasal 1330 BW jo UU Kepailitan).
            Jadi orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum adalah orang yang dewasa  dan sehat akal fikirannya serta tidak dilarang oleh suatu undang-undang untuk melakukan perbuatan-perbuatan hukum tertentu. Orang-orang yang belum dewasa dan orang-orang ditaruh di bawah pengampuan (curatele) dalam melakukan perbuatan-perbuatan hukum diwakili oleh orang tuanya, walinya atau pengampunya (curator).  Sedangkan penyelesaian hutang-piutang orang-orang yang dinyatakan pailit dilakukan oleh Balai Harta Peninggalan           (weeskamer).
            Uraian di atas dapat dikatakan; bahwa setiap orang adalah subyek hukum (rechtspersoonlijkheid) yakni pendukung hak dan kewajiban, namun tidak semua orang cakap untuk melakukan perbuatan hukum.  Orang yang cakap untuk melakukan perbuatan hukum (rechtsbekwaamheid) tidak selalu berwenang untuk melakukan perbuatan   hukum (rechtsbevoegheid). Dengan demikian rechtbekwaamheid adalah syarat umum sedangkan rechtsbevoegheid adalah syarat khusus untuk  melakukan perbuatan hukum.
c). Pendewasaan
            Dalam sistim hukum perdata (BW), mereka yang belum dewasa tetapi harus melakukan perbuatan-perbuatan hukum seorang dewasa, terdapat lembaga hukum pendewasaan (handlichting), - yang diatur pada pasal-pasal 419 s/d 432.  Pendewasaan merupakan suatu cara untuk meniadakan keadaan belum dewasa terhadap orang-orang yang belum mencapai umur 21 tahun.  Jadi maksudnya adalah memberikan kedudukan hukum (penuh atau terbatas) sebagai orang dewasa kepada orang-orang yang belum dewasa.  Pendewasaan penuh hanya diberikan kepada orang-orang yang telah mencapi umur 18 tahun, yang diberikan dengan Keputusan Pengadilan Negeri. Akan tetapi lembaga pendewasaan (handlichting) ini sekarang sudah tidak relevan lagi dengan adanya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 (pasal 47 ayat (1) dan pasal 50 ayat (1) yang menentukan bahwa seseorang yang telah mencapai umur 18 tahun adalah dewasa.  Ketentuan Undang-Undang Perkawinan yang menetapkan umur seorang dewasa 18 tahun itu dikuatkan oleh Mahkamah Agung dalam Putusannya tanggal 2 Desember 1976 No. 477 K/Sip/76  dalam perkara perdata antara Masrul Susanto alias Tan Kim Tjiang vs Ny. Tjiang Kim Ho.
            Dalam pergaulan hidup di masyarakat yang terdiri dari orang-orang yang sedemikian banyaknya, maka sudah tentu diperlukan adanya tanda untuk membedakan orang yang satu dengan orang yang lain, selanjutnya untuk mengetahui apa yang merupakan hak-haknya dan apa pula yang merupakan kewajiban-kewajibannya tandan yang  diperlukan ialah nama.

d). Nama
            Bagi golongan eropah dan mereka yang dipersamakan, soal nama mereka ini diatur dalam Buku I titel II bagian kedua (pasal 5 a s/d 12) yang menentukan tentang nama-nama, perubahan nama-nama, dan perubahan nama-nama depan.  Akan tetapi dengan adanya Undang-Undang No. 4 tahun 1961 yang mengatur tentang penggantian nama, maka pasal-pasal BW  tentang nama yang telah diatur dalam undang-undang ini tidak berlaku lagi. Masalah nama bagi orang-orang golongan Eropah dan mereka yang dipersamakan, merupakan hal yang cukup penting, karena nama itu merupakan indentifikasi seseorang sebagai subjek hukum.  Bahwa dari nama itu sudah dapat diketahui keturunan siapa seorang yang bersangkutan.  Hal mana sangat penting dalam urusan pembagian warisan serta soal-soal lain yang berhubungan dengan kekeluargaan. Nama seorang golongan Eropah pada umumnya terdiri dari dua bagian yaitu "nama kecil" (misalnya Karel, Jan Rebert, dan sebagainya) yang biasa diberikan sendiri oleh orang tuannya dan "nama keluarga" seperti (Bakker, Koch, Tounssen dan sebagainya) yang dipakai oleh bapak dan ibunya.
e). Tempat Tinggal
            Selain dari pada nama, untuk lebih jelas lagi siapa yang mempunyai suatu hak/atau kewajiban serta dengan siap seorang mengadakan hubungan hukum, maka dalam hukum perdata ditentukan pula tentang tempat tinggal (domisili). Kepentingan adanya ketentuan tentang tempat tinggal (domisili) dimana ia berkediaman pokok.  Tetapi bagi orang yang tidak mempunyai tempat kediaman tertentu, maka tempat tinggal dianggap dimana ia sungguh-sungguh berada. Tempat tingggal dibedakan atas 2 macam :
1.      Tempat tinggal yang sesungguhnya. Di tempat tinggal sesungguhnya inilah biasanya seseorang melakukan hak-haknya dan memenuhi kewajiban-kewajiban perdata pada umumnya.  Tempat tinggal yang sesungghnya  dapat dibedakan pula atas 2 macam, yakni :
  1. Tempat tinggal yang bebas atau yang berdiri sendiri, tidak terikat/tergantung pada  hubungannya dengan pihak lain.
  2. Tempat tinggal yang tidak bebas, yakni tempat tinggal yang terikat / tergantung pada hubungannya dengan pihak lain.   Misalnya : tempat tinggal anak yang belum dewasa dirumah orang tuanya/walinya; tempat tinggal orang yang berada dibawah pengampuan dirumah pengampunya. Buruh mempunyai tempat tinggal dirumah majikannya jika mereka tinggal bersama majikannya.
2.      Tempat tinggal yang dipilih.  Dalam suatu sengketa dimuka pengadilan, kedua belah pihak yang berpekara atau salah satu dari mereka dapat memilih tempat tinggal lain dari pada tempat tinggal mereka yang sebenarnya.  Pemilihan tempat tinggal ini dilakukan dengan suatu akta. Diadakannya tempat tinggal yang dipilih itu dimaksudkan untuk memudahkan pihak lain maupun untuk kepentingan pihak yang memilih tempat tinggal tersebut.
Kemudian rumha kematian yang sering terpakai dalam Undang-Undang tidak lain seperti domisili pengahabisan dari orang yang meninggal pengertian ini adalah penting untuk menentukan beberapa hal seperti : pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tentang warisan yang dipersengketakan ; pengadilan mana yang berwenang untuk mengadili tuntutan siberpiutang dan sebagainya. Sedangkan bagi badan hukum biasanya tidak dikatakan dengan istilah "tempat tinggal / kematian" melainkan "tempat kedudukan".  Secara yuridis tempat kedudukan suatu badan hukum ialah tempat dimana pengurusnya menetap. Menurut beberapa arrest dari Hoog Raad.  Ketentuan-ketentuan mengenai tempat tinggal yang memuat dalam BW Buku I pasal 17 s/d 25, juga berlaku dalam memperlakukan Undang-Undang Tata Usaha maupun Undang-Undang lainnya, sepanjang undang-undang itu tidak menentukan lain.
f). Keadaan Tidak Hadir
            Bilamana seseorang untuk waktu yang pendek maupun waktu yang lama meninggalkan tempat tinggalnya, tetapi sebelum pergi ia memberikan kuasa kepada orang lain untuk mewakili dirinya dan mengurus harta kekayaannya, maka keadaan tidak ditempat orang itu tidak menimbulkan persoalan.  Akan tetapi bilamana orang yang pergi meninggalkan tempat tinggal tersebut sebelumnya tidak memeberikan kuasa apapun kepada orang lain untuk mewakili dirinya maupun untuk mengurus harta kekayaannya dan segala kepentingannya, maka keadaan tidak ditempatnya orang itu menimbulkan persoalan, siapa yang mewakili dirinya dan bagaimana mengurus harta kekayaannya. Meskipun orang yang meninggalkan tempat tinggal itu tidak kehilangan statusnya sebagai persoon atau sebagai subjek hukum, namun keadaan tidak ditempat (keadaan tidak hadir - afwezigheid) orang tersebut menimbulkan ketidakpastian hukum, sehingga oleh karena itu pembentuk undang-undang perlu mengaturnya.
            Ketentuan mengenai keadaan tidak di tempat atau keadaan tak hadir (afwezigheid) termuat dalam BW Buku I pasal 463 s/d 495 dan dalam Stb. 1946 No. 137 jo Bilblad V dan Stb. 1949 No. 451. Undang-Undang mengatur keadaan tidak ditempat atas tiga masa atau tingkatan, yaitu masa persiapan (pasal 463 s/d 466), masa yang berhubungan dengan penyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia (pasal 467 s/d 483) dan masa pewarisan secara difinitif (pasal 484).
Dalam masa persiapan (tindakan sementara) tidak perlu ada keraguan apakah orang yang meninggalkan tempat tingal itu masih hidup atau sudah meninggal dunia ; akan tetapi ada alasan yang mendesak guna mengurus seluruh atau sebagian harta kekayaannya atau guna mengadakan seorang wakil baginya.  Pada masa ini Pengadilan Negeri tempat tinggal orang yang keadaan tak hadir itu menunjuk Balai Harta Peninggalan (weeskamer) untuk menjadi pengurus harta kekayaan dan segal urusan orang tersebut.  Sekiranya harta kekayaan dan  kepentingan orang yang tidak ditempat tidak banyak, maka untuk mengurus harta kekayaan dan mewakili kepentingannya itu, Pengadilan Negeri dapat memerintahkan kepada seorang atau lebih dari keluarga sedarah atau semenda atau kepada istri atau suaminya.
            Masa yang berhubungan dengan kenyataan bahwa orang yang meninggalkan tempat itu mungkin meninggal dunia, yaitu setelah lewat 5 tahun sejak keberangkatannya dari tempat tinggalnya atau 5 tahun sejak diperolehnya kabar terakhir yang membuktikan bahwa pada waktu itu ia masih hidup, setelah diadakan pemanggilan secara umum dengan memuat di surat kabar sebanyak 3 kali.  Hak-hak dan kewajiban-kewajiban orang yang tidak ditempat beralih kepada ahli warisnya, tetapi ini hanya bersifat  sementara dan dengan pembatasan-pembatasan.
            Sedangkan masa pewarisan secara definitif adalah masa dimana persangkaan bahwa orang yang tidak ditempat itu telah meninggal dunia semakin kuat yaitu setelah lampau 30 tahun sejak hari pernyataan kemungkinan meninggal dunia atau setelah lampau 100 tahun terhitung sejak hari lahir orang yang tidak ditempat itu. Meskipun demikian dalam setiap masa itu orang yang tidak ditempat tersebut tetap mempunyai wewenang berhak dan wewenang bertindak atas harta kekayaan yang ditinggalkannya, dimana kalau ia muncul kembali maka hak-hak dan kewajiban-kewajibannya kembali kepadanya dengan pembatasan-pembatasan tertentu (pasal 486 dan pasal 487). Kemudian dalam pasal 489 s/d 492 diatur tentang akibat-akibat keadaan ditempat yang berhubungan dengan perkawinan. Tapi dengan berlakunya Undang-Undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan, pasal-pasal BW mengenai afwezigheid yang behubungan dengan perkawinan ini kiranya sudah tidak relevan lagi.
            Pentingnya pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat atau keadaan tak hadir terutama adalah pada masa dahulu dimana hubungan antar daerah masih sukar.  Berbeda dengan zaman modern sekarang dimana hubungan antar daerah atau antar negara sudah lancar. Untuk masa sekrang pengaturan mengenai keadaan tidak ditempat tetap ada gunanya, satu dan hal-hal bila terjadi perang atau terjadi kekacauan-kekacauan dimana orang banyak yang hilang dan perhubungan dengan beberapa daerah atau negara terputus.
5. Pertemuan Kelima (K.5)
Badan Hukum Sebagai Subjek Hukum
a. Pengertian Badan Hukum
            Dalam pergaulan hukum ditengah-tengah masyarakat, ternyata manusia bukan satu-satunya subjek hukum (pendukung hak dan kewajiban), tetapi masih ada subjek hukum lain yang sering disebut "badan hukum" (rechtspersoon).  Sebagai halnya subjek hukum manusia, badan hukum inipun dapat mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban, serta dapat pula mengadakan hubungan-hubungan hukum (rechtsbetrekking/ rechtsverhouding) baik antara badan hukum yang satu dengan badan hukum lain maupun antara badan hukum dengan orang manusia (natuurlijkpersoon).    Karena itu badan hukum dapat mengadakan perjanjian-perjanjian jual beli, tukar menukar, sewa menyewa dan segala macam perbuatan dilapangan harta kekayaan.
            Dengan demikian badan hukum ini adalah pendukung hak dan kewajiban yang tidak berjiwa sebagai lawan pendukung hak dan kewajiban yang berjiwa yakni manusia.  Dan sebagai subjek hukum yang tidak  berjiwa maka badan hukum tidak dapat dan tidak mungkin berkecimpung di lapangan keluarga seperti mengadakan perkawinan, melahirkan anak dan lain sebagainya. Adanya badan hukum (rechtspersoon) disamping manusia tunggal  (natuurlijkpersoon) adalah suatu realita yang timbul sebagai suatu kebutuhan hukum pergaulan ditengah-tengah masyarakat.  Sebab, manusia selain mempnuayi kepentingan perseorangan (individuil), juga mempunyai kepentingan bersama dan tujuan bersama yang harus diperjuangkan bersama pula. 
Karena itu mereka berkumpul mempersatukan diri dengan membentuk suatu organisasi dan memilih pengurusnya untuk mewakili mereka.  Mereka juga memasukan harta kekayaan masing-masing menjadi milik bersama, dan menetapkan peraturan-peraturan intern yang hanya berlaku dikalangan mereka anggota organisasi itu. Dalam pergaulan hukum, semua orang-orang yang mempunyai kepentingan bersama yang tergabung dalam kesatuan kerjasama tersebut dianggap perlu sebagai kesatuan yang baru, yang mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban anggota-anggotanya serta dapat bertindak hukum sendiri.
b. Teori-Teori Tentang Badan Hukum
            Untuk mengetahui hakikat daripada badan hukum, dalam ilmu pengetahuan hukum timbul bermacam-macam teori tentang badan hukum yang satu sama lain berbeda-beda. Ada beberapa teori mengenai badan hukum ini, antara lain:
a) Teori Fictie dari Von Savigny 
     Menurut teori ini badan hukum itu semata-mata buatan negara saja.  Badan hukum itu hanyalah fiksi, yankni sesuatu yang sesungguhnya tidak ada, tetapi orang menghidupkannya dalam bayangan sebagai subjek hukum yang dapat melakukan perbuatan hukum seperti manusia.  Teori ini diikuti juga oleh Houwing.
b) Teori Harta Kekayaan Bertujuan (Doel Vermogens  Theorie)
     Menurut teori ini hanya manusia saja yang dapat menjadi subjek hukum.  namun, kata teori ini ada kekayaan (Vermogen) yang bukan kekayaan seseorang, tetapi kekayaan itu terikat tujuan tertentu. Kekayaan yang tidak ada mempunyainya dan yang tidak terikat kepada tujuan tertentu inilah yang diberi nama badan hukum. Teori ini diajarkan oleh A. Brinz, dan diikuti oleh Van Der Heyden.

c) Teori Organ dari Otto Van Gierke
     Badan hukum menurut teori ini bukan abstrak (fiksi) dan bukan kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum adalah suatu organisme yang riel, yang menjelma sungguh-sungguh dalam  pergaulan hukum, yang dapat membentuk kemauan sendiri dengan perantaraan alat-alat yang ada padanya  (penguru, anggota-anggotanya) seperti manusia biasa, yang mempunyai panca indra dan sebagainya.  Pengikut teori organ ini antara lain Mr. L. Polano.
d) Teori Propriete Collective
     Teori ini diajarkan oleh Planiol dan Molengraaff. Menurut teori ini hak dan kewajiban badan hukum pada hakekatnya adalah hak dan kewajiban para anggota bersama-sama.  Kekayaan badan hukum adalah kepunyai bersama-sama anggotanya.  Orang yang berhimpun tersebut merupakan suatu kesatuan yang membentuk suatu pribadi yang dinamakan badan hukum.  Oleh karena itu  badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis saja.  Star Busmann dan Kranenburg adalah pengikut-pengikut ajaran ini.
e) Teori Kenyataan Yuridis (Juridische Realiteitsleer)
     Dikatakan bahwa badan hukum itu merupakan suatu realiteit, kongkrit, riil, walaupun tidak bisa diraba bukan hayal, tetapi kenyataan yuridis. Teori yang   dikemukakan oleh Mejers ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia terbatas sampai pada bidang hukum saja.         Meskipun teori-teori tentang badan hukum tersebut berbeda-beda dalam memahami hakikat badan hukum, namun teori-teori itu sependapat bahwa badan hukum dapat ikut berkecimpung dalam pergaulan hukum di masyarakat, artinya hanya dalam lalu lintas hukum saja.
c. Pembagian Badan-Badan Hukum
            Menurut pasal 1653 BW badan hukum di bagi atas 3 macam yaitu :
1.      Badan hukum yang diadakan oleh pemerintah/kekuasaan umum misalnya daerah tingkat I, daerah tingkat II/ Kotamadya, Bank-bank yang didirikan oleh negara dan sebagainya.
2.      Badan hukum yang dikaui oleh Pemerintah/kekuasaan umum, misalnya perkumpulan-perkumpulan, gereja dan organisasi-organisasi agama dan sebagainya.
3.      Badan hukum yang didirikan untuk suatu maksud tertentu yang tidak bertentangan dengan undang-undang dan kesusilaan, seperti PT, perkumpulan asuransi dan perkapalan.
            Badan hukum dapat dilihat dari segi wujudnya maka dapat dibedakan atas 2 macam :
1.      Koorperasi (coorporatie) adalah gabungan (kumpulan) orang-orang yang dalam pergaulan hukum bertindak bersama-sama sebagai suatu subjek hukum tersendiri. Karena itu korporasi ini merupakan badan hukum yang beranggota, akan tetapi mempunyai hak-hak dan kewajiban-kewajiban para anggotanya. Misalnya PT (NV), perkumpulan asuransi, perkapalan, koperasi, Indonesische Maatschappij op aandelen (IMA) dan sebagainya.
2.      Yayasan (stiching) adalah harta kekayaan yang ditersendirikan untuk tujusn tertentu. Jadi pada yayasan tidak ada anggota, yang ada hanyalah pengurusnya.
            Batas antara korporasi dan yayasan tidak tegas, karenanya timbul beberapa ajaran untuk membedakan korporasi itu dengan yayasan sebagai berikut :
a.       Pada korporasi para anggotanya bersama-sama mempunyai kekayaan dan bermacam-macam kepentingan yang berwujud dalam badan hukum itu; sedangkan pada yayasan kepentinan yayasan tidak terlekat pada anggotanya, karena yayasan tidak mempunyai anggota.
b.      Dalam korporasi para anggota bersama-sama merupakan organ yang memegang kekuasaan yang tertinggi; sedangkan dalam yayasan yang memegang kekuasaan tertinggi adalah pengurusnya.
c.       Dalam korporasi yang menentukan maksud dan tujuannya yang menentukan maksud dan tujuannya ditetapkan oleh orang-orang yang mendirikan yang selanjutnya berdiri di luar badan tersebut.
d.      Pada korporasi titik berat pada kekuasaannya dan kerjanya; sedangkan pada yayasan titik berat pada suatu kekayaan yang ditujukan untuk mencapai sesuatu maksud tertentu.
Badan hukum ini dapat pula dibedakan atas dua jenis :
1. Badan hukum Publik
2. Badan Hukum privat
Di Indonesia kriterium yang dipakai untuk  menentukan suatu badan hukum termasuk pada hukum publik atau termasuk badan hukum privat ada dua macam :
a.       Berdasarkan terjadinya, yakni "Badan Hukum Privat" didirikan oleh perseorangan, sedangkan "badan hukum publik" didirikan oleh pemerintah/negara.
b.      Berdasarkan lapangan kerjanya, yakni apakah lapangan kerja itu untuk kepentingan umum atau tidak. Kalau lapangan pekerjaannya utnuk kepentingan umum maka badan hukum tersebut merupakan badan hukum publik, jika lapangan pekerjaannya untuk kepentingan perseorangan maka badan hukum itu termasuk badan hukum privat.
Badan Hukum Publik misalnya :
- Negara RI
- Daerah Tingkat I
- Daerah Tingkat II/Kotamadya
- Bank-bank Negara (Seperti Bank Indonesia)
Badan Hukum Privat misalnya :
- Perseroan Terbatas
- Koperasi
- Perkapalan
- Yayasan
- Dan lain-lain
d. Peraturan Tentang Badan Hukum (Rechtspersoon)
            BW tidak mengatur secara lengkap dan sempurna tentang badan hukum.  Dalam BW ketentuan tentang badan hukum hanya termuat pada Buku III titel IX pasal 1653 s/d 1665 dengan istilah "van zedelijke lichamen" yang dipandang sebagai perjanjian, karena itu lalu diatur dalam buku II tentang Perikatan.  Hal ini memnimbulkan keberatan para ahli karena badan hukum adalah persoon, maka seharusnya dimasukkan dalam Buku I tentang orang. Peraturan-peraturan lain yang mengatur tentang badan hukum ini antara lain termuat dalam Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan  badan hukum ; Stb. 1870 No. 64 tentang pengakuan badan hukum ; Stb. 1927 No. 156  tentang gereja dan  organisasi-organisasi agama; Stb. 1939 No. 570 jo 717 tentang badan hukum Indonesia; Stb. 1939 No. 569 jo, 717 tentang Indonesische maatschappij op aandelen (IMA); Kitab Undang-Undang Hukum Dagang tentang PT yang telah dicabut dengan berlakunya Undang-undang No. 1 Tahun 1995 Tentang PT, Undang-undang Yayasan No. 31 Tahun 2000, Perseroan Perkapalan dan perkumpulan asuransi ; Undang-Undang pokok Perkoperasian yang mengatur tentang badan hukum koperasi; dan lain-lain.

Dalam pada itu, ada beberapa syarat yang harus dipenuhi oleh suatu badan/perkumpulan/ badan usaha agar dapat dikatakan sebagai badan hukum (rechtspersoon).  Menurut  doktrin syarat-syarat itu adalah sebagai berikut di bawah ini :
1) Adanya harta kekayaan yang terpisah. Harta kekayaan ini diperoleh dari para anggota maupun dari perbuatan pemisahan yang dilakukan seseorang/partikelir/pemerintah untuk suatu tujuan tertentu.  Adanya harta kekayaan ini dimaksudkan sebagai alat untuk mencapai tujuan tertentu dari pada badan hukum yang bersangkutan.  Harta kekayaan ini, meskipun berasal dari  pemasukan anggota-anggotanya, namun terpisah dengan harta kekayaan kepunyaan pribadi anggota-anggotanya itu. Perbuatan pribadi anggota-anggotanya tidak mengikat harta kekayaan tersebut, sebaliknya perbuatan badan hukum yang diwakili  pengurusnya tidak mengikat harta kekayaan anggota-anggotanya.
2) Mempunyai tujuan tertentu
     Tujuan tertentu ini dapat berupa tujuan yang idiil maupun tujuan komersiil yang merupakan tujuan tersendiri dari pada badan hukum.  Jadi bukan tujuan untuk kepentingan satu atau beberapa orang anggotanya. Usaha untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan sendiri oleh badan hukum dengan diwakili organnya. Tujuan yang hendak dicapai itu lazimnya dirumuskan dengan jelas dan tegas dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan.
3) Mempunyai kepentingan sendiri
     Dalam mencapai tujuannya, badan hukum mempunyai kepentingan sendiri yang dilindungi oleh hukum.  Kepentinga-kepentingan tersebut merupakan hak-hak subjektif sebagai akibat dari peristiwa-peristiwa hukum. Oleh karena itu badan hukum mempunyai kepentingan sendiri dan dapat menuntut serta mempertahankannya terhadap pihak ketiga dalam pergaulan hukumnya.   Kepentingan sendiri dari badan hukum ini harus stabil, artinya tidak terikat pada suatu-waktu yang pendek, tetapi untuk jangka waktu yang panjang.
4) Ada organisasi yang teratur
     Badan hukum adalah suatu konstruksi yuridis. Karena itu sebagai subjek hukum  disamping manusia badan hukum hanya dapat melakukan perbuatan hukum dengan perantaraan organnya.  Bagaimana tata cara organ badan hukum yang terdiri dari manusia itu bertindak mewakili badan hukum, bagaimana organ itu dipilih, diganti dan sebagainya diatur dalam anggaran dasar dan peraturan-peraturan lain atau keputusan rapat anggota yang tiada lain dari pada pembagian tugas.  Dengan demikian badan hukum mempunyai organisasi. Pada akhirnya yang menentukan suatu badan/perkumpulan  atau perhimpunan sebagai badan hukum atau tidak adalah hukum positif yakni hukum yang berlaku pada suatu daerah / negara tertentu, pada waktu tertentu dan pada masyarakat tertentu.  Misalnya di Perancis dan Belgia, hukum positifnya mengakui perseroan Firma  sebagai badan hukum.  Sedangkan di Indonesia hukum positifnya tidak mengakuinya sebagai badan hukum.
            Syarat mutlak untuk diakui sebagai badan hukum, himpunan/perkumpulan/badan hukum itu harus mendapat izin dari Pemerintah cq. Departemen Kehakiman (d/h Gubernur  Jenderal - pasal 1 Stb. 1870 No. 64).
e. Perbuatan Badan Hukum
            Sebagaimana dikatakan, bahwa badan hukum adalah subjek hukum yang berjiwa seperti manusia, karena itu badan hukum tidak dapat melakukan perbuatan-perbuatan hukum sendiri, melainkan harus diwakili oleh orang-orang manusia biasa.  Namun orang-orang ini bertindak bukan untuk dirinya sendir tetapi untuk dan atas nama badan hukum. Orang-orang yang bertindak untuk dan atas nama badan hukum ini disebut "organ" (alat perlengkapan seperti pengurus, direksi dan sebagainya) dari badan hukum yang merupakan unsur penting dari organisasi badan hukum itu.
            Bagaimana organ dari badan hukum itu berbuat dan apa saja yang harus diperbuatnya serta apa saja yang tidak boleh diperbuatnya, lazimnya semua ini ditentukan dalam anggaran dasar badan hukum yang bersangkutan maupun dalam peraturan-peraturan lainnya.   Dengan demikian organ badan hukum tersebut tidak dapat berbuat sewenang-wenang, tetapi dibatasi sedemikian rupa oleh ketentuan-ketentuan intern yang berlaku dalam  badan hukum itu, baik yang termuat dalam anggaran dasar maupun peraturan-peraturan lainnya. 
            Tindakkan organ badan hukum yang melampaui batas-batas yang telah ditentukan, tidak menjadi tanggung jawab badan hukum, tetapi menjadi tanggung jawab pribadi organ yang bertindak melampaui batas itu, terkecuali tindakan itu menguntungkan badan hukum, atau organ yang lebih tinggi kedudukannya kemudian menyetujui tindakan itu. Persetujuan organ yang kedudukannya lebih tinggi ini harus masih dalam batas-batas kompetensinya.  Hal ini sesuai dengan ketentuan yang termuat dalam pasal 1656 BW yang menyatakan : "Segala perbuatan, untuk mana para pengurusnya tidak berkuasa melakukannya, hanyalah mengikat perkumpulan sekedar perkumpulan itu sungguh-sungguh telah mendapat manfaat karenanya atau sekedar perbuatan-perbuatan itu terkemudian telah disetujui secara sah".
f. Prosedur Pembentukan Badan Hukum
            Pembentukan badan hukum dapat dilakukan, baik melalui peraturan perundang-undangan maupun dengan perjanjian. Badan hukum yang dibentuk melalui peraturan perundang-undangan, status badan hukum itu ditetapkan oleh undang-undang, misalnya pembentukan Perum, Persero, Perjan dan lain-lain. Sebaliknya badan hukum yang dibentuk melalui perjanjian, status badan hukum itu diakui oleh Pemerintah melalui pengesahan anggaran dasar yang termuat dalam akta pendirian. Anggaran dasar itu adalah kesepakatan yang dibuat para pendiri, misalnya dalam pendirian PT,  Koperasi dan lain-lain.


6. Kuliah Keenam (K.6)
HUKUM PERKAWINAN

A.    PENDAHULUAN
1.      Dasar Hukum Perkawinan di Indonesia
Dasar hukum perkawinan di Indonesia yang berlaku sekarang ini antara lain adalah:
a.       Buku I dari Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPdt), yaitu Bab IV sampai dengan Bab XI.
b.      Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
c.       Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
d.      Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1974 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
e.       Peraturan Pemerintah No. 45 Tahun 1990 tentang Perubahan dan Tambahan Peraturan Pemerintah No. 10 Tahun 1983 tentang Ijin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.
f.       Instruksi Presiden No. 1 tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam di Indonesia (Pasal 1 -170 KHI).
2.      Pengertian Perkawinan
Menurut Pasal 1 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang Per­kawinan, yang dimaksud dengan perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Sedangkan di dalam ketentuan pasal-pasal yang terdapat di dalam KUHPdt, tidak memberikan pengertian mengenai perkawinan. Menurut Kompilasi Hukum Islam Pasal 2 disebutkan, bahwa perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk mentaati perintah Allah dan melaksanakannya merupakan ibadah.
Disamping pengertian tersebut diatas, terdapat pula pengertian perkawinan menurut beberapa sarjana, yaitu:

a.       Menurut Prof. Subekti, S.H.: Perkawinan adalah pertalian yang sah antara seorang lelaki dan seorang perempuan untuk waktu yang lama.(Subekti,      1997; 23)
b.      Menurut Prof. Ali Afandi, S.H.: Perkawinan adalah suatu persetujuan kekeluargaan.(Ali Afandi, 1997; 94)
c.       Menurut Prof. Mr. PaulScholten: Perkawinan adalah hubung-an hukum antara seorang pria dengan seorang wanita untuk hidup bersama dengan kekal, yang diakui oleh negara.(R.Soetojo P, 1985; 31)
d.      Menurut Prof Dr. R. Wirjono Prodjodikoro, S.H.: Perkawin­an yaitu suatu hidup bersama dari seorang laki-laki dan seorang perempuan, yang memenuhi syarat-syarat yang termasuk dalam peraturan Hukum Perkawinan.(Wirjono P, 1990; 7)
e.       Menurut Prof. Soediman Kartohadiprodjo, S.H.: Perkawin­an adalah             suatu hubungan antara orang wanita dan pria yang bersifat abadi.(Soediman K, 1994; 36)
f.       Menurut K. Wantjik Saleh, S.H: Perkawinan adalah ikatan lahir-batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami-isteri. (K.Wantjik Saleh, 1996; 14)
Dari uraian definisi di atas, maka dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan perkawinan adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan seorang wanita untuk membentuk suatu keluarga dalam jangka waktu yang lama. Sedangkan yang dimaksudkan dengan Hukum Perkawinan adalah hukum yang mengatur mengenai syarat-syarat dan caranya melangsungkan perkawinan, beserta akibat-akibat hukum bagi pihak-pihak yang melangsungkan perkawinan tersebut.

3.      Bentuk-bentuk Perkawinan
Pada dasarnya, bentuk-bentuk perkawinan dapat dilihat dari dua segi, yaitu:
a.      Dilihat dari segi jumlah suami atau isteri
Ditinjau dari segi jumlah suami atau isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1)        Perkawinan Monogami ialah perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita. Bentuk perkawinan ini paling ideal dan sesuai dengan ajaran agama serta Undang-Undang Perkawinan.
2)        Perkawinan Poligami ialah perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita ataupun perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Dengan demikian, bentuk perkawinan ini dapat dibedakan lagi menjadi dua macam, yaitu:
a)     Poligini, yaitu perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita.
b)     Poliandri, yaitu perkawinan antara seorang wanita dengan lebih dari satu pria. Misalnya pada orang Eskimo, orang Markesas di Oceania, orang Philipina di Pulau Palawan dan sebagainya.
b.      Dilihat dari segi asal suami-isteri
Apabila ditinjau dari segi asal suami-isteri, maka bentuk perkawinan terdiri atas:
1)      Perkawinan Eksogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berlainan suku dan ras. Misalnya: masyarakat di Tapanuli, Minangkabau dan Sumatera Selatan.
2)      Perkawinan Endogami ialah perkawinan antara pria dan wanita yang berasal dari suku dan ras yang sama. Misalnya: masyarakat Toraja.
3)      Perkawinan Homogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang sama. Misalnya: orang kaya cenderung kawin dengan anak orang kaya pula, suku Batak cenderung kawin dengan anak dari keluarga Batak pula, dan sebagainya.
4)      Perkawinan Heterogami ialah perkawinan antara pria dan wanita dari lapisan sosial yang berlainan. Misalnya: orang keturunan bangsawan menikah dengan orang biasa, orang Batak menikah dengan orang Sunda.
Disamping bentuk-bentuk perkawinan di atas, terdapat pula bentuk-bentuk perkawinan lainnya, yaitu:
a.      Perkawinan Cross Cousin
Ialah perkawinan antara saudara sepupu, yakni anak saudara laki-laki ibu (anak paman) atau anak dari saudara perempuan ayah. Misalnya: di daerah Batak (pariban), dan sebagainya.
b.      Perkawinan Parallel Cousin
Ialah perkawinan antara anak-anak dari ayah mereka bersaudara atau ibu mereka bersaudara.
c.       Perkawinan Eleutherogami
Ialah seseorang bebas untuk memilih jodohnya dalam per­kawinan, baik itu dari klen sendiri maupun dari klen lainnya. Misalnya: pada masyarakat di Jawa, Sumatera Timur, Kali­mantan, Minahasa, Ternate, Bali dan sebagainya.
B.     PERKAWINAN MENURUT KUHPdt
1.      Asas Monogami dalam Perkawinan              .
Hukum Perkawinan yang diatur dalam KUHPdt berasaskan mo­nogami dan berlaku mutlak. Artinya, setiap suami hanya diperbolehkan mempunyai seorang isteri saja, begitu pula sebaliknya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 27 yang memandang perkawinan hanya dalam hubungan keperdataan (Pasal 26 KUHPdt). Hal ini berarti, bahwa perkawinan itu sah apabila telah dipenuhinya ketentuan hukum/syarat hukum. Sementara itu dalam KUHPdt tidak memandang faktor keagamaan sebagai syarat sahnya perkawinan. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 81 nya, di mana upacara keagamaan tidak boleh dilangsungkan sebelum perkawinan diadakan dihadapan Pegawai Catatan Sipil. Di dalam KUHPdt, perolehan keturunan bukan merupakan tujuan per­kawinan.
2.      Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Hukum Perdata Barat (KUHPdt), syarat sahnya per­kawinan (syarat materil) adalah:
a.       Berlaku asas monogami (Pasal 27);
b.      Harus ada kata sepakat dan kemauan bebas antara si pria dan wanita (Pasal 28 );
c.       Seorang pria sudah berumur 18 tahun dan wanita berumur 15 tahun (Pasal 29);
d.      Ada masa tunggu bagi seorang wanita yang bercerai, yaitu 300 hari sejak perkawinan terakhir bubar (Pasal 34);
e.       Anak-anak yang belum dewasa harus memperoleh izin kawin dari kedua orang tua mereka (Pasal 35). Sementara itu, mengenai izin kawin ini diatur dalam ketentuan-ketentuan berikut ini:
1)        Jika wali ini sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas (Pasal 36).
2)        Jika kedua orang tua telah meninggal dunia atau tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang memberikan izin ialah kakek-nenek, baik pihak ayah maupun pihak ibu, sedangkan izin wali masih pula tetap diperlukan (Pasal 37);
3)        Anak luar kawin yang belum dewasa untuk dapat kawin, harus mendapat izin dari bapak dan/atau ibu yang mengakuinya. Jika wali itu sendiri hendak kawin dengan anak yang di bawah pengawasannya, harus ada izin dari wali pengawas. Jika di antara orang-orang yang harus memberi izin itu terdapat perbedaan pendapat, maka Pengadilan atas permintaan si anak, berkuasa memberikan izin (Pasal 39);
4)        Anak luar kawin namun tidak diakui, selama belum dewasa, tidak diperbolehkan kawin tanpa izin dari wali atau wali pengawas mereka (Pasal 40);      
5)        Untuk anak yang sudah dewasa, tetapi belum berumur 30 tahun, masih juga diperlukan izin kawin dari orang tuanya. Tetapi apabila mereka tidak mau memberikan izin, maka anak dapat memintanya dengan perantaraan hakim    (Pasal 42).
f.       Tidak terkena larangan kawin (Pasal 30-33).
3.      Larangan Perkawinan
Mengenai larangan perkawinan, di dalam KUHPdt ditegaskan, bahwa perkawinan dilarang antara:
a.       Mereka yang bertaiian keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah atau dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara laki-laki dan saudara perempuan (Pasal 30);
b.      Ipar laki-laki dan ipar perempuan; paman atau paman orang tua dan anak perempuan saudara atau cucu perempuan saudara; atau antara bibi atau bibi orang tua dan anak laki saudara atau cucu laki saudara (Pasal 31);
c.       Kawan berzinahnya setelah dinyatakan salah karena berzinah, oleh putusan hakim (Pasal 32);
d.      Mereka yang memperbaharui perkawinan setelah pembubaran perkawinan terakhir jika belum lewat waktu 1 tahun (Pasal 33).

7. Kuliah Ketujuh (K.7)
4.      Perjanjian Perkawinan
Janji-janji kawin tidak menimbulkan hak untuk menuntut di mu-ka Hakim akan berlangsungnya perkawinan dan menuntut penggantian biaya, rugi dan bunga, akibat kecideraan yang di-lakukan terhadapnya; segala persetujuan untuk ganti-rugi dalam hal ini adalah batal (Pasal 58 ayat 1). Pada umumnya, seorang anak yang masih di bawah umur (belum mencapai umur 21 tahun), tidak diperbolehkan bertindak sendiri dan harus diwakili oleh orang tuanya atau walinya, oleh undang-undang diadakan pengecualiannya. Menurut Pasal 151 KUHPer, seorang anak yang belum dewasa yang memenuhi syarat untuk kawin, diperbolehkan bertindak sendiri dalam menyetujui perjanjian kawin, asalkan ia "dibantu" oleh orang tua atau orang-orang yang diharuskan memberi izin kepadanya untuk kawin.
Setiap perjanjian kawin harus dibuat dengan akte notaris sebelum perkawinan berlangsung, dan perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan (Pasal 147). Perjanjian kawin ini mulai berlaku bagi pihak ketiga sejak hari pendaftarannya di Kepaniteraan Pengadilan Negeri setempat, dimana pernikahan itu telah dilangsungkan (Pasal 152). Setelah perkawinan berlangsung, perjanjian kawin dengan cara bagaimanapun tidak boleh diubah (Pasal 149).
Di dalam ketentuan Pasal 13 9-143 KUHPdt juga diatur mengenai hal-hal yang tidak dapat dimuat dalam perjanjian kawin, yaitu:
a.       Tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum dan kesusilaan.
b.      Tidak boleh melanggar kekuasaan suami sebagai kepala di dalam perkawinan.
c.       Tidak boleh melanggar hak kekuasaan orang tua.
d.      Tidak boleh melanggar hak yang diberikan Undang-Undang kepada suami atau isteri yang hidup terlama.
e.       Tidak boleh melanggar hak suami di dalam statusnya sebagai kepala persatuan suami-isteri.
f.       Tidak boleh melepaskan haknya atas legitieme portie (hak mutlak) atas warisan dari keturunannya dan mengatur pembagian warisan dari keturunannya.
g.      Jidak boleh diperjanjikan bahwa sesuatu pihak harus membayar sebagian utang yang lebih besar daripada bagian keuntungannya
h.       Tidak boleh diperjanjikan dengan kata-kata umum, bahwa ikatan perkawinan mereka akan diatur oleh undang-undang luar negeri, adat kebiasaan, atau peraturan daerah.
5.      Pemberitahuan, Pencatatan dan Pengumuman Perka­winan
Semua orang yang hendak kawin, harus memberitahukan kehendak itu kepada Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua pihak (Pasal 50). Pemberitahuan ini harus dilakukan, baik sendiri maupun dengan surat-surat yang dengan cukup kepastian memperlihatkan kehendak kedua calon suami-isteri, dan tentang pemberitahuan itu oleh Pegawai Catatan Sipil harus dibuat sebuah akta (Pasal 51). Menurut Pasal 52 KUHPdt, sebelum perkawinan dilangsungkan, Pegawai Catatan Sipil harus menyelenggarakan pengumumannya dengan jalan menempelkan sepucuk surat pengumuman pada pintu utama daripada gedung dalam mana register-register catatan sipil diselenggarakannya. Surat itu harus tetap tertempel selama 10 hari. Pengumuman tak boleh dilangsungkan pada hari Minggu atau hari Tahun Baru, hari Paskah, hari Natal, dan hari Mikraj Nabi. Surat itu berisi:
a.       Nama, umur, pekerjaan dan tempat tinggal calon suami-isteri dan jika salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu.
b.      Hari, tempat dan jam pengumuman berlangsung.
   Kemudian, surat itu ditandatangani oleh Pegawai Catatan Sipil. Jika kedua calon suami-isteri tak mempunyai tempat tinggal  dalam daerah Pegawai Catatan Sipil yang sama, maka peng­umuman harus dilakukan oleh Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal masing-masing pihak (Pasal 53 KUHPdt). Pengumuman hanya berlaku selama 1 bulan; apabila dalam waktu itu tidak dilangsungkan perkawinan, maka perkawinan tidak boleh dilangsungkan lagi, untuk itu pengumuman harus diulang sekali lagi (Pasal 57). Pada asasnya, suatu perkawinan dapat dibuktikan dengan adanya akta perkawinan (Pasal 100).
6.      Pelaksanaan Perkawinan
Menurut Pasal 71 KUHPdt, sebelum melangsungkan perkawin­an, Pegawai Catatan Sipil harus meminta supaya diperlihatkan kepadanya:
a.       Akta kelahiran calon suami-isteri masing-masing.
b.      Akta yang dibuat oleh pegawai catatan sipil tentang adanya izin kawin dari mereka yang harus memberi izin, izin mana juga dapat diberikan dalam surat perkawinan sendiri.
c.       Akta yang memperlihatkan adanya perantaraan Pengadilan Negeri.
d.      Jika perkawinan itu untuk kedua kalinya, harus diperlihatkan akta perceraian, akta kematian suami atau di dalam hal ke-tidakhadiran suami atau isteri yang dahulu, turunan izin Hakim untuk kawin.
e.       Akta kematian segala mereka yang sedianya harus memberikan izin kawin.
f.       Bukti, bahwa pengumuman kawin tanpa pencegahan telah berlangsung di tempat, di mana pengumuman itu diperlukan, ataupun bukti bahwa pencegahan yang dilakukan telah digugurkan.
g.      Dispensasi kawin yang telah diberikan.
h.       Izin bagi para perwira dan militer rendahan yang diperlukan untuk kawin.
Pegawai Catatan Sipil berhak menolak untuk melangsungkan perkawinan berdasar atas kurang lengkapnya surat-surat yang diperlukan. Dalam hal demikian, pihak-pihak yang berkepentingan dapat memajukan permohonan kepada hakim untuk menyatakan bahwa surat-surat itu sudah mencukupi (Pasal 74). Perkawinan tak boleh dilangsungkan sebelum hari kesepuluh setelah hari pengumumannya (Pasal 75).
Perkawinan harus dilangsungkan dimuka umum, dihadapan Pegawai Catatan Sipil tempat tinggal salah satu dari kedua belah pihak, dan dengan dihadiri oleh dua orang saksi, baik keluarga maupun bukan keluarga, yang telah mencapai umur 21 tahun dan berdiam di Indonesia (Pasal 76). Untuk melangsungkan perkawinan, kedua calon suami-isteri harus menghadap sendiri di muka Pegawai Catatan Sipil (Pasal 78).
7.      Pencegahan Perkawinan
Menurut ketentuan Pasal 61-65 KUHPdt, para pihak yang ber-hak mencegah berlangsungnya suatu perkawinan adalah:
a.       Bapak atau ibu mereka.
b.      Kakek atau nenek.                                                        
c.       Paman dan bibi mereka.
d.      Wali atau wali pengawas.
e.       Pengampu atau Pengampu Pengawas.
f.       Saudara lak-laki atau saudara perempuan.
g.      Suami yang sudah cerai mencegah perkawinan bekas isterinya sebelum 300 hari lewat, setelah pembubaran perkawinan.
h.      Jawatan Kejaksaan.
Sebaliknya adanya alasan pencegahan perkawinan, menurut Pasal 61 KUHPdt, disebabkan beberapa hal:
a.       Tidak mengindahkan izin kawin dari orang tuanya.
b.      Belum mencapai usia 30 tahun.
c.       Salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena ketidaksempurnaan akal budinya.
d.      Salah satu pihak tidak memenuhi syarat-syarat untuk kawin
e.       Jika pengumuman kawin tidak telah berlangsung.
f.       Jika salah satu pihak ditaruh di bawah pengampuan, karena tabiatnya yang boros dan perkawinan mereka nampaknya akan membawa ketidakbahagiaan.
Pencegahan perkawinan diadili oleh Pengadilan Negeri, yang mana dalam daerah hukumnya Pegawai Catatan Sipil yang harus melangsungkan perkawinan itu mempunyai tempat kedudukannya (Pasal 66 KUHPdt).
8.      Pembatalan Perkawinan
Menurut Pasal 85 KUHPdt, kebatalan suatu perkawinan hanya dapat dinyatakan oleh hakim, selanjutnya menurut Pasal 86, keba­talan suatu perkawinan dapat dituntut oleh:
a.       Orang yang karena perkawinan lebih dahulu telah terikat dengan salah satu dari suami-isteri.
b.      Suami atau isteri itu sendiri.
c.       Para keluarga dalam garis lurus ke atas.
d.      Jawatan Kejaksaan.
e.       Setiap orang yang berkepentingan atas kebatalan perkawinan itu.
Dalam pada itu, menurut Pasal 92 KUHPdt, pembatalan suatu perkawinan yang dilangsungkan tidak di depan Pegawai Catatan Sipil yang ber-wenang, atau dilangsungkan tanpa dihadiri oleh sejumlah saksi sebagaimana mestinya, maka boleh dimintakan pembatalannya oleh:
a.       Suami-isteri itu sendiri.
b.      Para keluarga sedarah lainnya dalam garis ke atas.
c.       Wali atau wali pengawas.
d.      Setiap orang yang berkepentingan.
e.       Jawatan Kejaksaan.
Pasal 93 KUHPdt mengatur mengenai larangan terhadap pihak-pihak tertentu untuk melakukan pembatalan perkawinan, yaitu:
a.       Anggota keluarga sedarah dalam garis ke samping.
b.      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan lain.
c.       Orang lain yang bukan keluarga selama suami-isteri masih hidup.
    Selanjutnya, setelah suatu perkawinan dibubarkan, Jawatan Kejaksaan tidak diperbolehkan menuntut pembatalan perkawinan (Pasal 94). Suatu perkawinan walaupun telah dibatalkan, tetapi mempunyai segala akibat perdata, baik terhadap suami-isteri mau-pun terhadap anak-anak mereka, asal saja perkawinan itu oleh suami-isteri kedua-duanya telah dilakukan dengan itikad baik (Pasal 95 KUHPer).
9.      Hak dan Kewajiban Suami-isteri
Menurut KUHPdt, hak dan kewajiban tersebut antara lain :
a.       Suami dan isteri harus setia dan tolong-menolong (Pasal 103);
b.      Suami-isteri wajib memeliharadan mendidikanaknya (Pasal 104);
c.       Setiap suami adalah kepala dalam persatuan suami-isteri (Pasal 105 ayat 1);
d.      Suami wajib memberi bantuan kepada isterinya (Pasal 105 ayat 2);
e.       Setiap suami harus mengurus harta kekayaan milik pribadi isterinya (Pasal 105 ayat 3);
f.       Setiap suami berhak mengurus harta kekayaan bersama (Pasal 105 ayat 4);
g.      Suami tidak diperbolehkan memindah-tangankan atau membebani harta kekayaan tak bergerak milik isterinya, tanpa persetujuan si isteri (Pasal 105 ayat 5);
h.      Setiap isteri harus tunduk dan patuh kepada suaminya (Pasal 106 ayat 1);
i.        Setiap isteri wajib tinggal bersama suaminya (Pasal 106 ayat 2);
j.        Setiap suami wajib membantu isterinya di muka hakim (Pasal 110);
k.      Setiap isteri berhak membuat surat wasiat tanpa izin suami­nya (Pasal 118).
Menurut ketentuan Pasal 111 KUHPdt menegaskan, bantuan suami kepada isteri­nya tidak diperlukan apabila:
a.       Si isteri dituntut di muka Hakim karena sesuatu perkara pida-na.
b.      Si isteri mengajukan tuntutan terhadap suaminya untuk men-dapatkan perceraian, pemisahan meja dan tempat tidur, atau pemisahan harta kekayaan.
8. Kuliah Kedelapan (K.8)
10.  Harta Benda dalam Perkawinan
a.      Persatuan Harta Kekayaan
1)        Pengurusan harta kekayaan persatuan
Percampuran kekayaan adalah mengenai seluruh aktiva dan pasiva, baik yang dibawa oleh masing-masing pihak ke dalam perkawinan maupun yang akan diperoleh di kemudian hari selama perkawinan. Menurut Pasal 119, prinsip harta benda perkawinan adalah harta persatuan bulat antara suami dan isteri. Sedangkan yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan adalah suami, baik untuk harta pribadi isteri (Pasal 105 yaitu suami sebagai kepala perkawinan) atau harta persatuan (Pasal 124 ayat 1 yaitu suami sebagai kepala harta persatuan).
Selanjutnya menurut Pasal 124 ayat (2) KUHPdt, suami diperbolehkan menjual, memindahtangankan dan membebani harta kekayaan persatuan, tanpa campur tangan si isteri, kecuali dalam hal-hal berikut ini:
a)      Tidak diperbolehkan menghibahkan barang-barang tak bergerak dan semua barang bergerak dari persatuan, kecuali  memberi kepada anak (Pasal 124 ayat 3);
b)      Tidak diperbolehkan menghibahkan suatu barang bergerak tertentu, meskipun diperjanjikan, ia tetap menikmati pakai hasil atas barang itu (Pasal 124 ayat 4);
c)      Meskipun ada persatuan, di dalam suatu perjanjian ka-win dapat ditentukan,  bahwa barang tak bergerak dan piutang atas nama isteri yang jatuh dalam persatuan tanpa persetujuan si isteri, tidak dapat dipindah atau dibebani (Pasal 140 ayat 3).
Jika si suami tidak hadir atau tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, dan tindakan dengan segera sangat dibutuhkannya, maka si isteri dapat meminta izin Pengadilan memindahtangan­kan atau membebani harta persatuan itu (Pasal 125).
2)        Bubarnya harta persatuan
  Menurut Pasal 126 KUHPdt, harta kekayaan persatuan menjadi bubar karena:
a)      Kematian salah satu pihak.
b)      Berlangsungnya perkawinan baru si isteri atas izin hakim, setelah adanya keadaan tak hadir si suami.
c)      Perceraian,
d)     Perpisahan meja dan tempat tidur.
e)      Perpisahan harta kekayaan.
Setelah bubarnya harta persatuan, maka harta persatu-an dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka masing-masing, tanpa mempersoalkan dari pihak mana barang itu diperolehnya (Pasal 128 ayat l).
b.      Pemisahan harta kekayaan
1)        Alasan-alasan pemisahan harta kekayaan
    Menurut Pasal 186 ayat (1), sepanjang per­kawinan, setiap isteri berhak memajukan tuntutan kepada Hakim akan pemisahan harta kekayaan, yaitu hanya dalam hal-hal sebagai berikut:
a)      Jika si suami karena kelakuannya yang nyata-nyata tak baik, telah memboroskan harta kekayaan persatuan, dan membahayakan keselamatan keluarga.
b)      Jika si suami karena tak adanya ketertiban dan cara yang baik dalam mengurus harta kekayaannya sendiri, sehingga jaminan akan terpeliharanya harta si isteri menjadi kurang.
c)      Jika si suami tidak baik caranya dalam mengurus harta kekayaan si isteri, sehingga kekayaan ini terancam bahaya.
Selanjutnya menurut Pasal 186 ayat (2), pe­misahan harta kekayaan atas permufakatan sendiri adalah terlarang. Menurut Pasal 187, tuntutan akan pe­misahan harta kekayaan hams diumumkan dengan terang-terangan.
2)        Akibat-akibat pemisahan harta kekayaan
Menurut Pasal 189 KUHPdt, kekuatan putusan Pengadilan perihal pemisahan harta kekayaan berlaku surut sampai hari tuntutan diajukan. Sebagai akibat dari pemisahan harta kekayaan itu, timbul hal-hal sebagai berikut:
a)      Isteri wajib memberikan sumbangan guna membiayai rum ah tangga dan pendidikan anak-anaknya (Pasal 193);
b)      Isteri memperoleh kebebasan untuk mengurusi sendiri harta kekayaannya dan bolehlah ia mempergunakan barang bergeraknya sesukanya atas izin umum dari Pengadilan Negeri (Pasal 194).
3)        Penyatuan kembali harta kekayaan yang sudah dipisah
Persatuan setelah dibubarkan karena pemisahan harta kekayaan boleh dipulihkan kembali dengan persetujuan suami-isteri. Persetujuan yang demikian itu diadakan dengan cara memuatkannya dalam sebuah akta otentik (Pasal 196). Suami-isteri wajib mengumumkan pemulihan kembali akan persatuan harta kekayaan dengan terang-terangan (Pasal 198).
11.  Putusnya Perkawinan
a.      Alasan-alasan putusnya perkawinan
Menurut Pasal 199 KUHPdt, perkawinan putus (perkawinan bubar) karena:
1)      Kematian.
2)      Kepergian suami atau isteri selama 10 tahun dan diikuti dengan perkawinan baru dengan orang lain.
3)      Putusan hakim setelah adanya perpisahan mejamakan dan tempat tidur selama 5 tahun.
4)      Perceraian.
b.      Perpisahan meja dan tempat tidur
1)        Pengertian perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur adalah perpisahan antara suami dan isteri yang tidak mengakhiri pernikahan. Akibat yang terpenting adalah meniadakan kewajiban bagi suami-isteri untuk tinggal bersama, walaupun akibatnya di bidang hukum harta benda adalah sama dengan perceraian. Dengan demikian, perkawinan belum menjadi bubar dengan adanya perpisahan meja dan tempat tidur.
2)        Cara-cara pengajuan perpisahan meja dan tempat tidur Alasan-alasan suami-isteri mengajukan permohonan per­pisahan meja dan tempat tidur adalah:
a)      Semua alasan untuk perceraian, seperti: zinah, ditinggalkan dengan sengaja, penghukuman, penganiayaan berat, cacad badan/penyakit pada salah satu pihak, suami-isteri terus-menerus terjadi perselisihan (Pasal -233 ayat 1);
b)      Berdasarkan perbuatan-perbuatan yang melampaui batas, penganiayaan dan penghinaan kasar, yang dilakukan oleh pihak yang satu terhadap pihak yang lain (Pasal 233 ayat 2).
Cara pengajuan permohonan, pemeriksaan dan pemutusan hakim terhadap perpisahan meja dan tempat tidur adalah dengan cara yang sama dengan seperti dalam hal perceraian (Pasal 234). Di samping itu, perpisahan meja dan tempat tidur ini dapat diajukan tanpa alasan, dengan syarat:
a)      Perkawinan harus telah berjalan 2 tahun atau lebih (Pasal 236 ayat 2);
b)      Suami dan isteri harus membuat perjanjian dengan akta otentik mengenai perpisahan diri mereka, mengenai penunaian kekuasaan orang tua, dan mengenai usaha pemeliharaan serta pendidikan anak-anak mereka (Pa­sal 237 ayat 1).
3)        Pengumuman keputusan perpisahan meja dan tempat tidur                                               
Keputusan mengenai perpisahan meja dan tempat tidur harus diumumkan dalam Berita Negara. Selama pengumuman itu belum berlangsung, keputusan tidak berlaku bagi pihak ketiga (Pasal 245). Setelah men-dengar dari keluarga suami-isteri dan keputusan perpisahan meja dan tempat tidur diucapkan oleh Hakim, maka ditetapkanlah siapa dari kedua orang tua itu yang akan menjalankan kekuasaan orang tua. Penetapan ini berlaku setelah keputusan perpisahan meja dan tempat tidur mempunyai kekuatan hukum (Pasal 246).
4)        Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur
Akibat dari perpisahan meja dan tempat tidur ini adalah:
a)      Suami-isteri dapat meminta pengakhiran pernikahan di muka pengadilan, apabila perpisahan meja dan tempat tidur di antara mereka telah berjalan 5 tahun dengan tanpa adanya perdamaian (Pasal 200);
b)      Pembebasan dari kewajiban bertempat-tinggal bersama (Pasal 242);
c)      Berakhirnya persatuan harta kekayaan (Pasal 243);
d)     Berakhirnya kewenangan suami untuk mengurus harta kekayaan isteri (Pasal 244).
5)        Batalnya perpisahan meja dan tempat tidur
Perpisahan meja dan tempat tidur demi hukum menjadi batal apabila suami-isteri rujuk kembali dan semua akibat dari perkawinan antara suami-isteri hidup kembali, namun semua perbuatan perdata dengan pihak ketiga selama perpisahan tetap berlaku (Pasal 248 KUHPdt).
c.       Perceraian
1)        Pengertian perceraian
Perceraian adalah pengakhiran suatu perkawinan karena sesuatu sebab dengan keputusan hakim atas tuntutan dari salah satu pihak atau kedua belah pihak dalam perkawinan. Menurut Pasal 208 KUHPdt, perceraian atas persetujuan suami-isteri tidak diperkenankan.
2)        Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 209 KUHPdt, alasan yang dapat mengakibatkan perceraian adalah:
a)      Zinah.
b)      Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan itikad jahat selama 5 tahun.
c)      Mendapat hukuman penjara 5 tahun atau lebih karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d)     Penganiayaan berat, yang dilakukan suami terhadap isteri atau sebaliknya, sehingga membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya.
3)        Tata cara perceraian
a)      Gugatan perceraian: Tuntutan untuk perceraian per­kawinan harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat tinggal suami sebenarnya. Apabila si suami tidak mempunyai tempat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indonesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri sebenar­nya. Jika suami pada saat tersebut tidak mempunyai tem­pat tinggal atau tempat kediaman sebenarnya di Indo­nesia, maka tuntutan itu harus diajukan ke Pengadilan Negeri tempat kediaman isteri sebenarnya (Pasal 207);
b)      Gugatan perceraian gugur demikian juga hak untuk menuntut gugur : apabila:
1.      Antara suami dan isteri telah terjadi suatu perdamaian (Pasal 216);
2.      Suami atau isteri meninggal dunia sebelum ada ke-putusan (Pasal 220);
c)      Pemeriksaan di pengadilan: Si isteri, baik dalam perkara perceraian ia menjadi penggugat maupun menjadi tergugat, selama perkara berjalan, boleh meninggalkan rumah si suami dengan izin hakim (Pasal 212 ayat 1). Selama perkara berjalan, hak-hak si suami mengenai pengurusan harta kekayaan isterinya tidak terhenti, hal mana tak mengurangi keleluasaan si isteri untuk mengamankan haknya (Pasal 215 ayat 1). Selama perkara berjalan, Pengadilan Negeri adalah leluasa menghentikan pemangkuan kekuasaan orang tua seluruhnya atau sebagian, dan memberikan kepada orang tua yang lain, atau kepada seorang ketiga yang ditunjuk oleh Pengadilan, atau pun kepada Dewan Perwalian. Terhadap tindakan-tindakan tersebut tak boleh dimohonkan banding (Pasal 214);
d)     Putusan Pengadilan: Perkawinan bubar karena kepu-tusan perceraian dan pembukuan perceraian itu dalam register Pegawai Catatan Sipil (Pasal 221 ayat 1)
4)        Akibat perceraian
Akibat putusnya perkawinan karena perceraian menurut KUHPdt adalah:
a)      Kewajiban suami atau isteri memberikan tunjangan nafkah kepada suami atau isteri yang menang dalam tuntut­an perceraian (Pasal 222). Kewajiban mem­berikan tunjangan nafkah berakhir dengan meninggalnya si suami atau si isteri (Pasal 227).
b)      Pengadilan menetapkan siapa dari kedua orang tua itu yang akan melakukan perwalian terhadap anak-anak mereka (Pasal 229).
c)       Apabila suami dan isteri yang telah bercerai hendak melakukan kawin ulang, maka demi hukum segala akibat perkawinan pertama hidup kembali, seolah-olah tak pernah ada perceraian (Pasal 232 KUHPer).
12.  Perkawinan di Luar Indonesia
Menurut Pasal 83 KUHPdt, perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia, baik antara warganegara Indonesia satu sama lain, maupun antara mereka dan warganegara lain adalah sah, jika perkawinan itu dilangsungkan menurut cara yang lazim dalam negeri, di mana perkawinan itu dilangsungkan, dan suami-isteri warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan dalam KUHPdt. Selanjutnya menurut Pasal 84, dalam waktu 1 tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, maka perkawinan tadi harus dibukukan dalam daftar pencatatan perkawinan di tempat tinggal mereka.

9. Kuliah Kesembilan  (K.9)
C.    PERKAWINAN MENURUT UU NO. 1 TAHUN 1974
1.      Asas Monogami dan Izin Berpotigami dalam Perkawinan
a.      Asas monogami dalam perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, berlaku pula asas monogami dalam perkawinan. Menurut Pasal 3 ayat (1) UUP, pada asasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang isteri dan seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami (asas monogami). Dalam Undang-Undang Perkawinan ini, perolehan keturunan merupakan tujuan perkawinan.


b.      Izin berpoligami dalam perkawinan
Di samping asas monogami tersebut, dalam Pasal 3 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa Pengadilan dapat memberi izin ke-pada seorang suami untuk beristeri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Menurut Pasal 63 UUP, pengadilan yang dimaksudkan di sini adalah:
1)      Pengadilan Agama bagi mereka yang beragama Islam.
2)      Pengadilan Umum bagi lainnya.
Setiap keputusan Pengadilan Agama dikukuhkan oleh Pengadilan Umum. Menurut Pasal 4 UUP, dalam hal seorang suami akan beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada Pengadilan di daerah tempat tinggalnya. Pengadilan hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang apabila:
1)  Isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
2)  Isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
3)  Isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan menurut Pasal 5 ayat (1) UUP, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1)      Adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri.
2)      Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka.
3)      Adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Selanjutnya dalam Pasal 5 ayat (2) UUP disebutkan, bahwa persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila isteri/isteri-isterinya tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian, atau apabila tidak ada kabar dari isterinya selama sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun, atau karena sebab-sebab lainnya yang perlu mendapat penilaian dari hakim pengadilan. Dalam Pasal 65 UUP ditegaskan pula, bahwa dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang, maka berlaku lah ketentuan-ketentuan berikut:
1)      Suami wajib memberi jaminan hidup yang sama kepada semua isteri dan anaknya.
2)      Isteri yang kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta bersama yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri  kedua atau berikutnya itu terjadi.
3)      Semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing.
Dengan demikian menurut Undang-Undang Perkawinan, seorang suami boleh mempunyai isteri lebih dari seorang asalkan sesuai dengan ketentuan yang berlaku, yaitu Pasal 3 ayat (2), Pasal 4, Pasal 5, dan Pasal 65 UUP. Sedangkan menurut Pasal 40 »No. 9 Tahun 1975, apabila seorang suami bermaksud untuk beristeri lebih dari seorang, maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada Pengadilan. Kemudian menurut Pasal 41 PP No.9 Tahun 1975, Pengadilan memeriksa mengenai:
1)      Sah atau tidaknya alasan yang memungkinkan seorang suami kawin lagi, yaitu:
a)      Bahwa isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri.
b)      Bahwa isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan.
c)      Bahwa isteri tidak dapat melahirkan keturunan.
2)      Ada atau tidaknya persetujuan dari isteri, baik persetujuan lisan maupun tertulis. Apabila persetujuan itu merupakan persetujuan lisan, persetujuan itu harus diucapkan di depan sidang pengadilan.
3)      Ada atau tidak adanya kemampuan suami untuk menjamin keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak dengan memperlihatkan:
a)      Surat keterangan mengenai penghasilan suami yang ditandatangani oleh bendahara tempat bekerja; atau
b)      Surat keterangan pajak penghasilan; atau
c)       Surat keterangan lain yang dapat diterima oleh Pengadilan.
4)      Ada atau tidak adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka dengan pernyataan atau janji dari suami yang dibuat dalam bentuk yang ditetapkan untuk itu.
Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal tersebut di atas, Pengadilan harus memanggil dan mendengar isteri yang bersangkutan. Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiran-lampirannya (Pasal 42 PP 9/1975). Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pe-mohon untuk beristeri lebih dari seorang, maka Pengadilan memberikan putusannya yang berupa izin untuk beristeri lebih dari seorang (Pasal 43 PP 9/1975). Pegawai Pencatat dilarang untuk melakukan pencatatan perkawinan seorang suami yang akan beristeri lebih dari seorang sebelum adanya izin Pengadilan (Pasal 44 PP 9/1975).
2.      Syarat-syarat Sahnya Perkawinan
Menurut Pasal 2 UUP, perkawinan sah apabila dilakukan menu-rut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Selanjutnya menurut Pasal 6 UUP, syarat-syarat perkawinan adalah:
a.       Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai
b.      Untuk melangsungkan perkawinan, seorang yang belum men-capai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.
c.       Dalam hal salah seorang dari kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu menyatakan ke­hendaknya, maka izin cukup diperoleh dari orang tua yang masih hidup atau dari orang tua yang mampu menyatakan ke-hendaknya.
d.      Dalam hal kedua orang tua telah meninggal dunia atau dalam keadaan tidak mampu untuk menyatakan kehendaknya, maka izin diperoleh dari wali, orang yang memelihara atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya.
e.       Dalam hal ada perbedaan pendapat antara orang tua, wali, atau keluarga dalam garis lurus ke atas, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak menyatakan pendapatnya, maka Pengadilan dalam daerah hukum tern pat tinggal orang yang akan melangsungkan perkawinan atas permintaan orang ter­sebut dapat memberikan izin setelah lebih dahulu mendengar orang-orang tersebut.
f.       Ketentuan pasal ini berlaku sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan ti­dak menentukan lain.
g.      Selanjutnya, menurut ketentuan di dalam Pasal 7 UUP di-sebutkan, bahwa perkawinan hanya diizinkan jika pihak pria sudah mencapai umur 19 (sembilan belas) tahun dan pihak wanita sudah mencapai umur 16 (enam belas) tahun. Dalam hal adanya penyimpangan, dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan atau pejabat lain yang ditunjuk oleh kedua orang tua pihak pria maupun pihak wanita.
3.      Larangan Perkawinan
Menurut Pasal 8 UUP, perkawinan dilarang antara dua orang yang:
a.       Berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun keatas.
b.      Berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping, yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.                        
c.       Berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapaktiri.
d.      Berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan, dan bibi/paman susuan.
e.       Berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang.
f.       Mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
Sedangkan menurut Pasal 9 UUP, seorang yang masih terikat tali perkawinan dengan orang lain tidak dapat kawin lagi, kecuali dalam hal:
a.       Mendapat izin dari Pengadilan (Pasal 3 ayat 2 UUP).
b.      Si isteri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai isteri, isteri mendapat cacad badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau isteri tidak dapat melahirkan keturunan (Pasal 4 ayat 2 UUP).
   Apabila suami dan isteri yang telah cerai kawin lagi satu dengan yang lain dan bercerai lagi untuk kedua kalinya, maka di antara mereka tidak boleh dilangsungkan perkawinan lagi, sepanjang hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu dari yang bersangkutan tidak menentukan lain (Pasal 10 UUP).

10. Kuliah Kesepuluh  (K. 10)
4.      Perjanjian Perkawinan
Mengenai perjanjian perkawinan ini menurut Pasal 29 UUP adalah sebagai berikut:
a.       Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepan­jang pihak ketiga tersangkut.
b.      Perjanjian tersebut tidak dapat disahkan bilamana melanggar batas-batas hukum, agama dan kesusilaan.
c.       Perjanjian tersebut berlaku sejak perkawinan dilangsungkan.
d.      Selama perkawinan berlangsung, perjanjian tersebut tidak da­pat dirubah, kecuali bila dari kedua belah pihak ada persetujuan untuk merubah dan perubahan tidak merugikan pihak ketiga. Dengan demikian, perjanjian perkawinan ini bisa dibuat dengan akta otentik dan bisa juga dibuat dengan akta di bawah tangan.
5.      Pencatatan dan Pengumuman Perkawinan
Menurut PP No. 9 Tahun 1975, tahap-tahap pencatatan per­kawinan itu adalah sebagai berikut:
a.      Pegawai pencatat perkawinan
Pencatatan perkawinan dari mereka yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaannya itu selain agama Islam, dilakukan oleh Pegawai Pencatat  Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil (Pasal 2).
b.      Pemberitahuan perkawinan
Setiap orang yang akan melangsungkan perkawinan memberitahukan kehendaknya itu kepada Pegawai Pencatat di tempat perkawinan akan dilangsungkan. Pemberitahuan tersebut dilakukan sekurang-kurangnya 10 hari kerja sebelum perkawinan dilangsungkan. Pengecualian terhadap jangka waktu tersebut yang disebabkan oleh sesuatu alasan yang penting, diberikan oleh Camat atas nama Bupati Kepala Daerah (Pasal 3). Pemberitahuan dilakukan secara lisan atau ter­tulis oleh calon mempelai atau oleh orang tua atau wakilnya (Pasal 4). Pemberitahuan memuat: nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman calon mempelai dan apa­bila salah seorang atau keduanya pernah kawin, disebutkan juga nama isteri atau suami terdahulu (Pasal 5).
c.       Penelitian oleh pegawai pencatat
Menurut Pasal 6, pegawai pencatat yang menerima pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan, meneliti hal-hal sebagai berikut:
1)      Apakah syarat-syarat perkawinan telah dipenuhi.
2)      Apakah tidak terdapat halangan perkawinan menurut undang-undang.
3)      Kutipan akta kelahiran atau surat kenal lahir calon mempelai. Dalam hal tidak ada akta kelahiran atau surat kenal lahir, dapat dipergunakan surat keterangan yang menyatakan umur dan asal-usul calon mempelai yang diberikan oleh Kepala Desa atau yang setingkat dengan itu.
4)      Keterangan mengenai nama, agama/kepercayaan, pekerjaan dan tempat tinggal orang tua calon mempelai.
5)      Izin tertulis/izin Pengadilan, apabila salah seorang calon mempelai atau keduanya belum mencapai umur 21 tahun.
6)      Izin Pengadilan dalam hal calon mempelai adalah seorang suami yang masih mempunyai isteri.
7)      Dispensasi Pengadilan/Pejabat.
8)      Surat kematian isteri atau suami yang terdahulu atau dalam hal perceraian surat keterangan perceraian, bagi per­kawinan untuk kedua kalinya atau lebih.
9)      Izin tertulis dari Pejabat yang ditunjuk oleh Menteri HANKAM/PANGAB, apabila salah seorang calon mem­pelai atau keduanya anggota Angkatan Bersenjata.
10)  Surat kuasa otentik atau di bawah tangan yang disahkan oleh pegawai pencatat, apabila salah seorang calon mem­pelai atau keduanya tidak dapat hadir sendiri karena se-suatu alasan yang penting, sehingga mewakilkan kepada orang lain.
Hasil penelitian tersebut oleh pegawai pencatat ditulis da­lam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila ternyata dari hasil penelitian terdapat halangan perkawinan sebagai dimaksud undang-undang dan atau belum dipenuhinya pernyataan tersebut di atas (3-10), keadaan itu segera diberitahukan kepada calon mempelai atau kepada orang tua atau kepada wakilnya (Pasal 7).
d.      Pengumuman perkawinan
Setelah dipenuhinya tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai penca­tat menyelenggarakan pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formulir yang ditetapkan pada Kantor Pencatatan Perkawinan pada suatu tempat yang sudah ditentukan dan mudah dibaca oleh umum (Pasal 8). Me­nurut Pasal 9, pengumuman ditandatangani oleh Pegawai Pencatat dan memuat:
1)        Nama, umur, agama/kepercayaan, pekerjaan, tempat kediaman dari calon mempelai dan dari orang tua calon mempelai, apabila salah seorang atau keduanya pernah kawin disebutkan nama isteri dan atau suami mereka terdahulu.
2)        Hari, tanggal, jam dan tempat perkawinan akan dilangsungkan.
e.       Tata cara perkawinan
Perkawinan dilangsungkan setelah hari kesepuluh sejak peng­umuman kehendak perkawinan oleh pegawai pencatat. Tata - cara perkawinan dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya. Dengan mengindahkan tata cara perkawinan menurut masing-masing hukum agamanya dan kepercayaannya itu, perkawinan dilaksanakan dihadapan is pegawai pencatat dan dihadiri oleh dua orang saksi (Pasal 10). Sesaat sesudah dilangsungkannya perkawinan, kedua mempelai menandatangani akta perkawinan yang telah disiapkan oleh pegawai pencatat berdasarkan ketentuan yang berlaku. Akta perkawinan yang telah ditandatangani oleh mempelai itu, selanjutnya ditandatangani pula oleh kedua saksi dan pegawai pencatat yang menghadiri perkawinan, dan bagi yang melangsungkan perkawinan menurut agama Islam, ditandatangani pula oleh wali nikah atau yang mewakilinya. Dengan penanda-tanganan akta perkawinan, maka perkawinan telah tercatat secara resmi (Pasal 11).
Akta perkawinan dibuat dalam rangkap 2 (dua) helai pertama disimpan oleh pegawai pencatat, helai kedua disimpan pada Panitera Pengadilan dalam wilayah Kantor Pencatatan Perkawinan itu berada. Kepada suami dan isteri masing-masing diberikan kutipan akta perkawinan (Pasal 13).       
6.      Pencegahan Perkawinan
a.      Syarat dan para pihak yang berhak mencegah perkawinan
Perkawinan dapat dicegah apabila ada pihak yang tidak memenuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pa­sal 13 UUP). Adapun para pihak yang dapat mencegah per­kawinan menurut Pasal 14 ayat (1) UUP adalah sebagai berikut:
1)      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dan ke bawah;
2)      Saudara dari salah seorang calon mempelai;
3)      Wali nikah dari salah seorang calon mempelai;
4)      Wali dari salah seorang calon mempelai;
5)      Pengampu dari salah seorang calon mempelai;
6)      Pihak-pihak yang berkepentingan.
Mereka yang tersebut di atas tersebut, dapat juga mence­gah berlangsungnya perkawinan apabila salah seorang dari calon mempelai berada di bawah pengampuan, sehingga dengan perkawinan tersebut nyata-nyata mengakibatkan kesengsaraan bagi calon mempelai yang lainnya, yang mempunyai hubungan dengan orang-orang seperti tersebut di atas (Pasal 14 ayat 2 UUP). Selanjutnya menurut Pasal 15 UUP, barang-siapa karena perkawinan dirinya masih terikat dengan salah satu dari kedua be I ah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan, dapat mencegah perkawinan yang baru, dengan tidak mengurangi ketentuan Pasal 3 ayat (2) dan Pasal 4 Undang-Undang ini. Hal ini berarti, bahwa yang bersangkutan tidak dapat mencegah apabila perkawinan tersebut mendapat izin dari Pengadilan.
Selanjutnya menurut Pasal 16 ayat (1) UUP, seorang pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan apabila:
1)      Usia pria dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)      Terkena larangan perkawinan (Pasal 8 UUP).
3)      Seseorang masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)      Suami dan isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)      Tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP).
b.      Pengajuan dan pencabutan pencegahan perkawinan
Pencegahan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum dimana perkawinan akan dilangsungkan dengan memberitahukan juga kepada pegawai pencatat perkawinan. Kepada calon-calon mempelai diberitahukan mengenai permohonan pencegahan perkawinan dimaksud oleh pegawai pencatat perkawinan (Pasal 17 UUP).
Pencegahan perkawinan dapat dicabut dengan putusan Pengadilan atau dengan menarik kembali permohonan pencegahan pada Pengadilan oleh yang mencegah (Pasal 18 UUP). Perkawinan tidak dapat dilangsungkan apabila pencegahan belum dicabut (Pasal 19 UUP).
c.       Penolakan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawin­an
Menurut Pasal 20 UUP, pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsung­kan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran mengenai:
1)      Usia pria dan wanita dalam perkawinan belum terpenuhi (Pasal 7 ayat 1 UUP).
2)      Terkena larangan kawin (Pasal 8 UUP).
3)      Seseorang masih terikat perkawinan dengan orang lain (Pasal 9 UUP).
4)      Suami dan isteri bercerai untuk kedua kalinya (Pasal 10 UUP).
5)      Tidak memenuhi tata cara pelaksanaan perkawinan (Pasal 12 UUP). meskipun tidak ada pencegahan perkawinan.
Selanjutnya di dalam Pasal 21 UUP ditegaskan, bahwa jika pegawai pencatat perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan menurut Undang-Undang ini, maka ia akan menolak melangsungkan perkawinan. Di dalam hal penolakan, maka permintaan salah satu pihak yang ingin melangsungkan perkawinan oleh pegawai pencatat perkawinan akan diberikan suatu keterangan tertulis dari penolakan tersebut disertai dengan alasan-alasan penolakannya. Para pihak yang perkawinannya ditolak, berhak mengajukan permohonan kepada Pengadilan di dalam wilayah mana pegawai pencatat perkawinan yang mengadakan penolakan berkedudukan untuk memberikan keputusan, dengan menyerahkan surat keterangan penolakan tersebut di atas. Pengadilan akan memeriksa perkaranya dengan acara singkat dan akan memberikan ketetapan, apakah ia akan menguatkan penolakan tersebut ataukah memerintahkan agar supaya perkawinan dilangsungkan. Ketetapan ini hilang kekuatannya jika rintangan-rintangan yang mengakibatkan penolakan tersebut hilang dan para pihak yang ingin kawin dapat mengulangi pemberitahuan tentang maksud mereka.
7.      Pembatalan Perkawinan
a.      Syarat-syarat dan pihak-pihak yang berhak mengajukan pembatalan perkawinan
Perkawinan dapat dibatalkan apabila para pihak tidak meme­nuhi syarat-syarat untuk melangsungkan perkawinan (Pasal 22 UUP). Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan me­nurut Pasal 23 UUP adalah:
1)      Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri.
2)      Suami atau isteri.
3)      Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan.
4)      Pejabat yang ditunjuk dalam Pasal 16 Undang-Undang ini dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
Kemudian ditegaskan pula dalam Pasal 24 UUP, bahwa barang siapa karena perkawinan masih terikat dirinya dengan salah satu dari kedua belah pihak dan atas dasar masih adanya perkawinan dapat mengajukan pembatalan perkawinan yang baru.
b.      Pengajuan permohonan pembatalan perkawinan
Permohonan pembatalan perkawinan diajukan kepada Pengadilan dalam daerah hukum di mana perkawinan dilang­sungkan atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri (Pasal 25 UUP). Perkawinan yang dilangsungkan di muka pegawai penca­tat perkawinan yang tidak berwenang, wali nikah yang tidak sah atau yang dilangsungkan tan pa dihadiri oleh 2 (dua) orang saksi dapat dimintakan pembatalannya oleh para keluarga da­lam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau isteri, jaksa dan suami atau isteri. Hak untuk membatalkan oleh suami atau isteri berdasarkan alasan tersebut gugur apabila mereka telah hidup bersama sebagai suami-isteri dan dapat memperlihatkan akte perkawinan yang dibuat pegawai pencatat perkawinan yang tidak berwenang dan perkawinan harus diperbaharui supaya sah (Pasal 26 UUP). Di dalam Pasal 27 UUP ditegaskan, bahwa seorang suami atau isteri dapat mengajukan permohonan pembatalan per­kawinan apabila:
1)      Perkawinan dilangsungkan di bawah ancaman yang melanggar hukum;
2)      Pada waktu berlangsungnya perkawinan terjadi salah sangka atas diri suami atau isteri.
Apabila ancaman telah berhenti atau yang bersalah sangka itu menyadari keadaannya, dan dalam jangka waktu 6 (enam) bulan setelah itu masih tetap hidup sebagai suami isteri dan tidak mempergunakan haknya untuk mengajukan permohonan pembatalan, maka haknya gugur. Permohonan pembatalan suatu perkawinan diajukan oleh pihak-pihak yang berhak mengajukannya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan, atau di tempat tinggal kedua suami-isteri, suami atau isteri. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan, dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan gugatan perceraian (Pasal 38 PP 9/1975).
c.       Saat batalnya perkawinan
Menurut Pasal 28 UUP, batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan Pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan. Keputusan tidak berlaku surut terhadap:
1)      Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut.
2)      Suami atau isteri bertindak dengan itikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu.
3)      Orang ketiga lainnya, sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan itikad baik sebelum keputusan tentang pem­batalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
Dengan demikian, batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh Pengadilan (Pasal 37 PP 9/1975).
8.      Hak dan Kewajiban Suami-isteri
Hak dan kewajiban dari suami-isteri dalam Undang-Undang Perkawinan diatur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34, yaitu:
a.       Suami-isteri memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi sendi dasar dari susunan masyarakat.
b.      Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat.
c.       Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum.
d.      Suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga.
e.       Suami-isteri harus mempunyai tempat kediaman yang tetap dan rumah tempat kediaman ini ditentukan secara bersama-sama.
f.       Suami-isteri wajib saling cinta-mencintai. hormat- menghormati, setia dan memberi bantuan lahir batin yang satu kepada yang lain.
g.      Suami wajib melindungi isterinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah-tangga sesuai dengan kemampuannya.
h.      Isteri wajib mengatur urusan rumah tangga sebaik-baiknya.
i.        Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan.
9.      Harta Benda dalam Perkawinan
Harta benda yang diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama. Harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta benda yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, adalah di bawah penguasaan masing-masing sepanjang para pihak tidak menentukan lain (Pasal 35 UUP).
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa harta benda perkawinan dalam Undang-Undang Perkawinan adalah harta ferpisah. Aftinya, segala harta yang dibawa ke dalam perkawinan (yang disebut dengan harta bawaan), tetap dikuasai dan dimiliki oleh pihak yang membawa. Harta yang diperoleh selama perkawinan, menjadi harta bersama, kecuali diperoleh karena warisan dan hibah. Apabila mau menyimpang dari prinsip harta benda perkawinan ini, maka dibuat perjanjian kawin sebelum perkawinan (lihat Pasal 29).
Sementara itu, yang berwenang bertindak atas harta benda perkawinan  menurut Pasal 36 UUP adalah :
a)      Mengenai harta bersama, suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak.
b)      Mengenai harta bawaan masing-masing. suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Selain itu disebutkan dalam Pasal 37 UUP. bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing.

11. Kuliah Kesebelas (K.11)
10.  Putusnya Perkawinan
a.      Sebab-sebab Putusnya Perkawinan
Dalam Undang-Undang Perkawinan, putusnya perkawinan diatur dalam Pasal 38 sampai dengan Pasal 41. Menurut Pasal 38 UUP, perkawinan dapat putus karena:
1)  Kematian.
2)  Perceraian.
3)  Atas keputusan Pengadilan,
b.      Masa tunggu bagi wanita yang putus perkawinannya
Menurut Pasal 11 ayat (1) UUP, bagi seorang wanita yang putus perkawinannya berlaku jangka waktu tunggu. Pasal 39 PP No. 9 tahun 1975 menyebutkan, bahwa masa tunggu bagi seorang janda adalah:
1)      Apabila perkawinan putus karena kematian, waktu tunggu ditetapkan 130 hari.
2)      Apabila perkawinan putus karena perceraian, waktu tunggu bagi yang masih datang bulan ditetapkan 3 kali suci dengan sekurang-kurangnya 90 hari dan bagi yang tidak datang bulan ditetapkan 90 hari.                                                           
3)      Apabila perkawinan putus, sedang janda tersebut dalam keadaan hamil, waktu tunggu ditetapkan sampai melahirkan.
     Selanjutnya menurut Pasal 39 PP No. 9/1975 ini, tidak ada waktu tunggu bagi janda yang putus perkawinan karena per­ceraian, sedang antara janda tersebut dengan bekas suaminya belum pernah terjadi hubungan kelamin. Bagi perkawinan yang putus karena perceraian, tenggang waktu tunggu dihitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum yang tetap; sedangkan bagi perkawinan yang putus karena kematian, tenggang waktu tunggu sejak kematian suami.
11.  Perceraian Perkawinan
a.      Alasan-alasan perceraian
Menurut Pasal 19 PP No. 9/1975 disebutkan, bahwa perceraian dapat terjadi karena atasan:
1)      Salah satu pihak berbuat zinah atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
2)      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tan pa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya.
3)      Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun Jtjf atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
4)      :4) Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
5)      Salah satu pihak mendapat cacad badan atau penyakit dengan akibat tidak tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/isteri.
6)      Antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
b.      Tata Cara Perceraian
1)      Gugatan perceraian: Menurut Pasal 39 UUP, perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang Pengadilan setelah Pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami- isteri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami-isteri.
Gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan (Pasal 40 UUP). Dalam Pasal 20 PP 9/1975, disebutkan, bahwa:
a)      Gugatan perceraian diajukan oleh suami atau isteri atau kuasanya kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman tergugat.
b)      Dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap, gugatan perceraian diajukan kepada Penga­dilan di tempat kediaman penggugat.
c)      Dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Ketua Pengadilan menyampaikan permohonan tersebut kepada tergugat melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat.
Dalam hal karena alasan salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya, maka gugatan perceraian diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman penggugat. Gugatan dapat diterima apabila tergugat menyatakan atau menunjukkan sikap tidak mau lagi kembali ke rumah kediaman bersama (Pasal 21 PP 9/1975). Sedangkan gugatan perceraian karena alasan antara suami dan isteri terus-menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga, maka diajukan ke Pengadilan di tempat kediaman tergugat. Gugatan ini dapat diterima apabila telah cukup jelas bagi Pengadilan mengenai sebab-sebab perselisihan dan pertengkaran itu dan setelah mendengar pihak keluarga, serta orang-orang yang dekat dengan suami-isteri itu (Pasal 22 PP 9/1975). Menurut Pasal 23 PP 9/1975, gugatan perceraian karena alasan salah seorang dari suami-isteri mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung, maka untuk mendapatkan putusan perceraian sebagai bukti penggugat cukup menyampaikan salinan putusan Pengadilan yang memutuskan perkara di serta i keterangan yang menyatakan bahwa putusan itu telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Menurut Pasal 24 PP 9/1975, selama berlangsungnya gugatan perceraian atas permohonan penggugat atau ter­gugat atau berdasarkan pertimbangan bahaya yang mung-kin ditimbulkan, Pengadilan dapat mengizinkan suami-isteri tersebut untuk tidak tinggal dalam satu rumah. Selama berlangsungnya gugatan perceraian, atas permohonan penggugat atau tergugat, Pengadilan dapat:
a)      Menentukan nafkah yang harus ditanggung oleh suami.
b)      Menentukan hal yang perlu untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
c)      Menentukan hal-hal yang perlu untuk menjamin terpeliharanya barang-barang yang menjadi hak suami atau barang-barang yang menjadi hak isteri.
2)      Gugatan perceraian gugur: Gugatan perceraian gugur apabila suami atau isteri meninggal sebelum adanya putusan Pengadilan mengenai gugatan perceraian itu (Pasal 25 PP 9/1975).
3)      Panggilan sidang; Setiap kali diadakan sidang Pengadilan yang memeriksa gugatan perceraian, baik penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka akan dipanggil untuk menghadiri sidang tersebut. Bagi Pengadilan Negeri, panggilan dilakukan oleh juru si la, dan bagi Pengadilan Agama, panggilan dilakukan oleh Petugas yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Agama. Panggilan disampaikan kepada pribadi yang bersangkutan. Apabila yang bersangkutan tidak dapat dijumpainya, panggilan disampaikan melalui Lurah atau yang dipersamakan dengan itu, Panggilan tersebut dilakukan dan disampaikan secara patut dan sudah diterima oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka selambat-lambatnya 3 hari sebelum sidang dibuka. Panggilan kepada tergugat dilampiri dengan salinan surat gugatan (Pasal 26 PP 9/1975).
Apabila dalam hal tempat kediaman tergugat tidak jelas atau tidak diketahui atau tidak mempunyai tempat kediaman yang tetap. panggilan dilakukan dengan cara menempelkan gugatan pada papan pengumuman di Pengadilan dan mengumumkannya melalui satu atau beberapa surat kabar atau mass media lain yang ditetapkan oleh Pengadilan. Pengumuman melalui surat kabar atau surat-surat kabar atau mass media, dilakukan sebanyak 2 (dua) kali dengan tenggang waktu satu bulan antara pengumuman pertama dan kedua. Tenggang waktu antara panggilan terakhir dengan persidangan ditetapkan sekurang-kurangnya 3 bulan. Dalam hal sudah dilakukan panggilan dan tergugat atau kuasanya tetap tidak hadir, gugatan diterima tanpa hadirnya tergugat (Pasal 27 PP 9/1975). Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, panggilan disampaikan melalui Perwakilan Republik Indonesia setempat (Pasal 28 PP 9/1975).


4)      Pemeriksaan di pengadilan: Pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan oleh hakim selambat-lambatnya 30 hari setelah diterimanya berkas/surat gugatan perceraian. Dalam menetapkan waktu mengadakan sidang pemeriksaan gu­gatan perceraian, perlu diperhatikan tenggang waktu pemanggilan dan diterimanya panggilan tersebut oleh penggugat maupun tergugat atau kuasa mereka. Apabila dalam hal tergugat bertempat kediaman di luar negeri, sidang pemeriksaan gugatan perceraian ditetapkan sekurang-kurangnya 6 bulan terhitung sejak dimasukkannya gugatan perceraian pada Kepaniteraan Pengadilan (Pasal 29 PP 9/ 1975). Pada sidang pemeriksaan gugatan perceraian, suami dan isteri datang sendiri atau mewakilkan kepada kuasanya (Pasal 30 PP 9/1975).
Hakim yang memeriksa gugatan perceraian berusaha mendamaikan kedua pihak. Selama perkara belum diputuskan, usaha mendamaikan dapat dilakukan pada setiap sidang pemeriksaan (Pasal 31 PP 9/1975). Apabila tercapai perdamaian, maka tidak dapat diajukan gugatan perceraian baru berdasarkan alasan atau alasan-alasan yang. Ada sebelum perdamaian dan telah diketahui oleh penggugat pada waktu dicapainya perdamaian (Pasal 32 PP 9/1975). Apabila tidak dapat dicapai perdamaian, pemeriksaan gugatan perceraian dilakukan dalam sidang tertutup (Pasal 33 PP 9/1975).
5)      Putusan pengadilan: Perceraian itu terjadi terhitung pada saat. Perceraian itu dinyatakan di depan sidang Pengadilan (Pasal 18 PP 9/1975). Putusan mengenai gugatan perceraian diucapkan dalam sidang terbuka. Suatu perceraian dianggap terjadi beserta segala akibat-akibatnya terhitung sejak saat pendaftarannya pada daftar pencatatan kantor pencatatan oleh pegawai pencatat, kecuali bagi mereka yang beragama Islam terhitung sejak jatuhnya putusan Pengadilan Agama yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap (Pasal 34 PP 9/1975).
6)      Pegawai pencatat perceraian: Panitera Pengadilan atau pejabat Pengadilan yang ditunjuk berkewajiban mengirimkan satu helai salinan putusan Pengadilan yang telah mem­punyai kekuatan hukum yang tetap/yang telah dikukuhkan tanpa bermaterai kepada Pegawai Pencatat di tempat perceraian itu terjadi, dan Pegawai Pencatat mendaftar putusan perceraian dalam sebuah daftar yang diperuntukkan untuk itu. Apabila perceraian dilakukan pada daerah hukum yang berbeda dengan daerah hukum Pegawai Pencatat di mana perkawinan dilangsungkan, maka satu helai salinan putusan mengenai gugatan perceraian yang telah mem­punyai kekuatan hukum yang tetap/telah dikukuhkan tanpa bermaterai dikirimkan pula kepada Pegawai Pencatat tempat perkawinan dilangsungkan dan oleh Pegawai Pencatat tersebut dicatat pada bagian pinggir dari daftar catatan perkawinan; dan bagi perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, salinan itu disampaikan kepada Pegawai Pencatat di Jakarta. Kelalaian mengirimkan salinan putusan tersebut menjadi tanggung jawab Panitera yang bersangkutan apabila yang demikian itu mengakibatkan kerugian bagi bekas suami atau isteri atau keduanya (Pasal 35 PP 9/ 1975).
c.        Akibat perceraian
Menurut Pasal 41 UUP, akibat putusnya perkawinan karena perceraian adalah:
1)      Baik ibu atau bapak tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya, semata-mata berdasarkan kepentingan anak; bilamana ada perselisihan mengenai penguasaaan anak-anak, Pengadilan memberi keputusannya.
2)      Bapak yang bertanggung jawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu; bilamana bapak dalam kenyataan tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul biaya tersebut.
3)      Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas isteri.
12.  Perkawinan di Luar Indonesia
Hal yang sama juga disebutkan dalam Pasal 56 ayat (1) UUP, di mana perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia antara dua orang warganegara Indonesia atau seorang warganegara Indonesia dengan warganegara asing adalah sah bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara di mana perkawinan itu dilangsung­kan dan bagi warganegara Indonesia tidak melanggar ketentuan-ketentuan Undang-Undang ini. Selanjutnya menurut Pasal 56 ayat (2) UUP, dalam waktu 1 (satu) tahun setelah suami-isteri itu kembali di wilayah Indonesia, surat buku perkawinan mereka harus didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka.


13.  Perkawinan Campuran
a.      Pengertian perkawinan campuran
Dalam Pasal 57 ditegaskan; “perkawinan campuran adalah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”.
b.      Memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan
Selanjutnya ditegaskan, bahwa bagi orang-orang yang berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran, dapat memperoleh kewarganegaraan dari suami/isterinya dan dapat pula kehilangan kewarganegaraan-nya, menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam Undang-Undang Kewarganegaraan Republik Indonesia yang berlaku (Pasal 58 UUP). Kewarganegaraan yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata. Per­kawinan yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut Undang-Undang Perkawinan ini (Pasal 59 UUP).
c.       Syarat-syarat melangsungkan perkawinan campuran
Perkawinan campuran tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi. Untuk membuktikan bahwa syarat-syarat tersebut telah dipe­nuhi dan karena itu tidak ada rintangan untuk melangsungkan - perkawinan campuran, maka oleh mereka yang menurut hu­kum yang berlaku bagi pihak masing-masing berwenang mencatat perkawinan, diberikan surat keterangan bahwa syarat- syarat telah dipenuhi. Jika pejabat yang bersangkutan menolak untuk memberikan surat keterangan itu, maka atas permintaan yang berkepentingan, Pengadilan memberikan keputusan dengan tidak beracara, serta tidak boleh dimintakan banding  lagi tentang soal apakah penolakan pemberian surat keterang­an itu beralasan atau tidak. Jika pengadilan memutuskan bahwa penolakan tidak beralasan, keputusan itu menjadi pengganti keterangan. Surat keterangan atau keputusan pengganti ke­terangan tidak mempunyai kekuatan lagi jika perkawinan itu •    tidak dilangsungkan dalam masa 6 (enam) bulan sesudah ke­terangan itu diberikan (Pasal 60 UUP).
d.      Pencatatan perkawinan campuran
Perkawinan campuran dicatat oleh pegawai pencatat yang berwenang. Barangsiapa melangsungkan perkawinan cam­puran tanpa memperlihatkan lebih dahulu kepada pegawai pencatat yang berwenang surat keterangan atau keputusan pengganti keterangan ini, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 1 (satu) bulan. Apabila pegawai pencatat perkawinan yang mencatat perkawinan mengetahui bahwa keterangan atau keputusan pengganti keterangan tidak ada, dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya 3 (tiga) bulan dan dihukum jabatan (Pasal 61 UUP).
e.       Kedudukan anak dalam perkawinan campuran
Dalam perkawinan campuran, kedudukan anak diatur sesuai dengan Pasal 59 ayat ( 1) UUP, yaitu kewarganegaraan si anak yang diperoleh sebagai akibat perkawinan atau putusnya perkawinan orang tuanya menentukan hukum yang berlaku, baik mengenai hukum publik maupun hukum perdata (Pasal 62 UUP).
            Keluarga adalah kesatuan masyarakat terkecil yang terdiri dari suami, istri dan anak yang berdiam dalam satu tempat tinggal. Hal ini dapat dikatakan sebagai pengertian keluarga dalam arti sempit, namun apabila dalam suatu keluarga itu berdiam pula pihak lain sebagai akibat adanya perkawinan, maka terjadilah kelompok anggota keluarga yang terdiri dari orang-orang yang mempunyai hubungan karena perkawinan dan pertalian darah. Hal ini merupakan pengertian keluarga dalam arti luas. Dari uraian tersebut, dalam usaha membahas lebih lanjut hukum keluarga ini, ada beberapa hal yang perlu mendapat perhatian, terutama masalah perkawinan.



 BAB III

HUKUM BENDA

12. Kuliah Kedua Belas (K.12)

HAK KEBENDAAN
1.      Pengertian Hak Kebendaan
Hak kebendaan {zakelijk recht) adalah suatu hak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan terhadap tiap orang. Menurut Prof. L.J. van Apeldoorn, hak-hak kebendaan adalah hak-hak harta benda yang memberikan kekuasaan langsung atas sesuatu benda. Kekuasaan langsung berarti bahwa ada terdapat sesuatu hubungan yang langsung antara orang-orang yang berhak dan benda tersebut. Demikian juga menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, hak kebendaan (zakelijkrecht) ialah hak mutlak atas suatu ben­da di mana hak itu memberikan kekuasaan langsung atas sesua­tu benda dan dapat dipertahankan terhadap siapapun juga.
Dari rumusan tersebut, maka dapat dikatakan bahwa, hak kebendaan merupakan suatu hak mutlak yang memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda yang dapat dipertahankan setiap orang dan mempunyai sifat melekat.
2.      Ciri-ciri Hak Kebendaan
Pada dasarnya, ciri-ciri dari suatu hak kebendaan itu adalah sebagai berikut:
a.       Merupakan hak mutlak Hak kebendaan merupakan hak yang mutlak, yaitu dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga.
b.      Mempunyai zaaks gevolg atau droit de suite.   
Hak kebendaan mempunyai zaaks gevolg (hak yang mengikuti), artinya hak itu terus mengikuti bendanya di mana pun juga (dalam tangan siapa pun juga) barang itu berada. Hak itu terus saja mengikuti orang yang mempunyainya.
c.       Mempunyai sistem
Sistem yang terdapat pada hak kebendaan ialah mana yang lebih dulu terjadinya, tingkatnya adalah lebih tinggi daripada yang terjadi kemudian. Misalnya: seorang pemilik tanah menghipotikkan tanahnya, kemudian tanah tersebut diberikan kepada orang lain dengan hak memungut hasil, maka dalam hal ini, hak hipotik mempunyai tingkat yang lebih tinggi daripada hak memungut hasil yang baru terjadi kemudian

d.      Mempunyai droit de preference
Hak kebendaan mempunyai droit de preference, yaitu hak yang lebih didahulukan daripada hak lainnya.
e.       Mempunyai macam-macam actie
Pada hak kebendaan ini, orang mempunyai macam-macam actie jika terdapat gangguan atas haknya, yaitu berupa penuntutan kembali, gugatan untuk menghilangkan gangguan-gangguan atas haknya, gugatan untuk pemulihan dalam keadaan semula, gugatan untuk penggantian kerugian dan sebagainya. Pada hak kebendaan, gugatnya itu disebut dengan gugat kebendaan. Gugatan-gugatan ini dapat dilaksanakan terhadap siapapun yang menganggu haknya. Mempunyai cara pemindahan yang berlainan Kemungkinan untuk memindahkan hak kebendaan itu dapat secara sepenuhnya dilakukan.
Sedangkan menurut Prof. Subekti, hak-hak kebendaan mempunyai sifat-sifat sebagai berikut :
a.       Memberikan kekuasaan langsung atas suatu benda.
b.      Dapat dipertahankan terhadap setiap orang.
c.       Mempunyai sifat "melekat", yaitu mengikuti benda bila ini dipindahtangankan {"droit de suite").
d.      Hak yang lebih tua selalu dimenangkan terhadap yang lebih muda.
3.      Pembedaan Hak-hak Kebendaan
Di dalam Buku II KUHPer diatur macam-macam hak keben­daan, akan tetapi dalam membicarakan macam-macam hak kebendaan dalam Buku II KUHPdt harus diingat berlakunya Undang-Undang No. 5 Tahun 1960 tentang Undang-Undang Pokok Agraria. Dengan demikian, hak-hak kebendaan yang diatur dalam Buku II KUHPdt (yang sudah disesuaikan dengan berlakunya UUPA No. 5/1960) dapat dibedakan atas dua macam, yaitu2:
a.       Hak-hak kebendaan yang bersifat memberi kenikmatan meliputi :
1)      Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas bendanya sendiri, misalnya: hak eigendom, hak bezit.
2)      Hak kebendaan yang memberikan kenikmatan atas benda orang lain, misalnya: hak opstal, hak erfpacht, hak memungut hasil, hak pakai, hak mendiami.
b.      Hak kebendaan yang bersifat memberi jaminan (zakelijk zakerheidsrechf). Misalnya: hak gadai (pand), hipotik. Di samping itu, ada pula hak-hak yang diatur dalam Buku II KUHPdt, tetapi bukan merupakan hak kebendaan, yaitu privilege dan hak retentie. Namun, hak-hak ini dapat pula digolongkan dalam hak kebendaan.

13. Kuliah Ketiga Belas (K.13)
C.    MACAM-MACAM HAK KEBENDAAN
1.      Hak Bezit
a.       Pengertian Bezit
1)      Menurut KUHPdt
Bezit diterjemahkan dengan kedudukan  berkuasa, yaitu kedudukan seseorang yang menguasai suatu kebendaan baik dengan diri sendiri maupun dengan perantaraan orang lain dan yang mempertahankan atau menikmatinya selaku orang yang memiliki kebendaan itu (pasal 529 KUHPdt)
2)      Menurut Prof Subekti, SH
Bezit adalah suatu keadaan lahir, dimana seorang menguasai suatu benda seorang – olah kepunyaannya sendiri yang oleh hukum diperlindungi, dengan tidak mempersoalkan hak milik atas benda itu sebenarnya ada pada siap
3)      Menurut Prof Dr. Sri Soedewi Macjchoen Sofwan, SH
Dengan mengacu pada Pasal 529 KUHPdt, maka  bezit ialah keadaan memegang atau menikmati sesuatu benda di mana seseorang menguasainya, baik secara sendiri ataupun perantaraan  orang lain, seolah – olah  itu adalah kepunyaan sendiri.
Dari defenisi ditas dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan bezit adalah hak  seseorang yang menguasai  suatu benda, baik langsung maupun dengan perantaraan orang lain untuk bertindak seolah – olah benda itu kepunyaan sendiri.
b.      Bezit jujur dan  bezit tidak jujur
Pada dasarnya, suatu bezit itu dapat berada di tangan pemilik benda itu atau dapat pula berada ditangan orang lain. Jika orang itu mengira bahwa benda yang dikuasainya adalah miliknya sendiri (misalnya ia memperoleh karena ia membeli  secara sah, karena pewarisan dan sebagainya), maka bezitter yang demikian itu disebut dengan "bezit te goeder trouw" atau bezit yang jujur (Pasal 531 KUHPdt). Sebaliknya, apabila ia mengetahui bahwa benda yang ada padanya itu bukan miliknya  (misalnya ia mengetahui bahwa benda itu berasal dari pencurian) maka bezitter yang demikian disebut dengan -bezit Trader trouv" atau bezit yang tidak jujur (Pasal 532 KUHPdt).
Baik bezitter yang jujur maupun  bezitter yang tidak jujur kedua-duanya mendapat perlindungan hukum. Dalam hukum berlaku satu asas, bahwa “kejujuran” itu dianggap selalu ada pada setiap orang, sedangkan “ ketidakjujuran“ itu  harus dibuktikan. Dengan demikian, menurut ketentuan Pasal 533 mengemukakan bahwa sesuatu bezit itu adalah tidak jujur, maka iawajib membuktikannya.
c.       Syarat – syarat adanya bezit
Untuk adanya suatu bezit, haruslah dipenuhi syarat – syarat , yaitu :
1)      Adanya Corpus, yaitu harus ada hubungan antara orang yang bersangkutan dengan bendanya
2)      Adanya Animus, yaitu hubungan antara orang dengan benda itu harus dikehendaki  oleh orang tersebut.
Dengan demikian, untuk adanya bezit harus ada dua unsur yaitu kekuasaan atas suatu benda dan kemauan untuk memilikinya benda tersebut. Dalam hal ini, bezit harus dibedakan dengan “detentie”, dimana seseorang menguasai suatu benda berdasarkan hubungan hukum tertentu dengan orang lain (pemilik dari benda itu). Jadi. Seorang detentor tidak mempunyai kemauan untuk memiliki benda itu bagi dirinya sendiri.
d.      Fungsi bezit
Pada dasarnya, bezit mempunyai dua fungsi, yaitu :
1)        Fungsi polisionil
Bezit itu mendapat perlindungan hukum tanpa mempersoalkan hak milik atas benda tersebut sebenarnya ada pada siapa. Jadi siapa yang membezit sesuatu benda, maka ia mendapat perlindungan dari hukum sampai terbukti bahwa ia sebenarnya tidak berhak. Dengan demikian , bagi yang merasa haknya dilanggar, maka ia harus meminta penyelesaiannya melalui polisi atau pengadilan. Inilah yang dimaksud dengan fungi polisionil yang ada pada setiap bezit.
2)        Fungsi zakkenrectelijk
Bezitter yang telah membezit suatu benda dan telah berjalan untuk beberapa waktu tertentu tanpa adanya proses dari pemilik sebelumnya, maka  bezit itu berubah menjadi hak milik melalui lembaga  verjaring (lewat waktu / daluwarsa). Inilah yang dimaksud dengan fungsi zakenrectelijk dan fungsi  ini tidak ada pada setiap bezit
e.       Cara memperoleh bezit
Menurut ketentuan Pasal 538 KUHPdt, bezit (kedudukan berkuasa) atas sesuatu kebendaan diperoleh dengan cara melakukan perbuatan menarik kebendaan itu dalam kekuasaannya, dengan maksud mempertahankannya untuk diri sendiri. Menurut ketentuan Pasal 540 KUHPdt, cara-cara memperoleh bezit dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu :
1)      dengan  jalan occupation
Memperoleh bezit jalan dengan occupatio ( pengambilan  benda ) artinya ia memperoleh bezit tanpa bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. Jadi bezit diperoleh karena perbuatannya sendiri yang mengambil barang secara langsung.
2)      dengan jalan tradition
Memperoleh bezit dengan jalan tradition (pengoperan) artinya ialah memperoleh bezit dengan bantuan dari orang yang membezit lebih dahulu. Jadi bezit diperoleh karena penyerahan dari orang lain yang sudah menguasainya terlebih dahulu.
Di samping dua cara di atas, bezit juga dapat diperoleh karena adanya warisan. Menurut Pasal 541 KUHPdt, bahwa segala sesuatu bezit yang merupakan bezit dari seorang yang telah  meninggal dunia beralih kepada ahli warisnya dengan segala sifat dan cacad-cacadnya. Menurut Pasal 593 KUHPdt, orang yang sakit ingatan tidak dapat memperoleh bezit, tetapi anak yang belum dewasa dan perempuan yang telah menikah dapat memperoleh bezit.
f.       Hapusnya Bezit
Pada dasarnya, orang bisa kehilangan bezit apabila
1)      kekuasaan atas benda  itu berpindah pada orang lain, baik secara diserahkan maupun  karena diambil oleh orang lain
2)      Benda yang dikuasainya nyata telah ditinggalkan.
2.      Hak Eigendom/Hak Milik
a.      Pengertian Eigendom
1)      Menurut KUHPdt
Hak milik adalah hak untuk menikmati kegunaan sesuatu kebendaan dengan leluasa, dan untuk berbuat bebas terha­dap kebendaan itu dengan kedaulatan sepenuhnya, asal tidak bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang ditetapkan oleh suatu kekuasaan yang berhak menetapkannya, dan tidak mengganggu hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan akan pencabutan hak itu demi kepentingan umum berdasar atas ketentuan undang-undang dan dengan pembayaran ganti-rugi (Pasal 570 KUHPdt).
2)      Menurut Prof. Subekti, SH
Eigendom adalah hak yang paling sempurna atas suatu benda. Seseorang yang mempunyai hak  eigendom (milik) atas suatu benda dapat berbuat apa saja dengan benda itu (menjual, menggadaikan, memberikan, bahkan merusak), asal saja ia tidak melanggar undang-undang atau hak orang lain.
3)      Menurut Prof. Dr. ­Sri Soedewi Masjchoen So/wan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 570 KUHPdt, hak milik ada­lah hak untuk menikmati suatu benda dengan sepenuhnya dan untuk menguasai benda itu dengan sebebas-bebasnya, asal tak dipergunakan bertentangan dengan undang-undang atau peraturan umum yang diadakan oleh kekuasaan yang mempunyai wewenang untuk itu dan asal tidak menimbulkan gangguan terhadap hak-hak orang lain; kesemuanya itu dengan tak mengurangi kemungkinan adanya pencabut­an hak itu untuk kepentingan umum, dengan pembayaran pengganti kerugian yang layak dan menurut ketentuan undang-undang.
Melihat perumusan di atas dapat disimpulkan, bahwa hak milik adalah hak milik adalah hal yang paling utama jika dibandingkan dengan hak – hak kebendaan yang lain. Karena yang berhak itu dapat menikmatinya dengan sepenuhnya dan menguasainya dengan sebebas-bebasnya. Hak milik ini tidak dapat diganggu gugat.
b.      Ciri-ciri hak milik
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang merupakan ciri-ciri dari hak milik itu ialah:
1)      Hak milik itu selalu merupakan hak induk terhadap hak-hak kebendaan yang lain. Sedangkan hak-hak kebendaan yang lainnya yang bersifat terbatas itu berkedudukan sebagai hak anak terhadap hak milik.
2)      Hak milik itu ditinjau dari kuantitetnya merupakan hak yang selengkap-lengkapnya.
3)      Hak milik itu tetap sifatnya. Artinya, tidak akan lenyap terhadap hak kebendaan yang lain. Sedang hak kebendaan yang lain dapat lenyap jika menghadapi hak milik.
4)      Hak milik itu mengandung inti (benih) dari semua hak kebendaan yang lain. Sedang hak kebendaan yang lain itu hanya merupakan onderdeel (bagian) saja dari hak milik. Menurut ketentuan Pasal 574 KUHPdt, tiap pemilik sesua­tu benda, berhak menuntut kembali bendanya dari siapa saja yang menguasainya berdasarkan hak miliknya itu.
c.       Cara memperoleh hak milik
Menurut Pasal 584 KUHPdt, hak eigendom dapat diperoleh dengan jalan:
1)      Pendahuluan ( toeeigening)
2)      Ikutan
3)      Lewat waktu
4)      Pewarisan ( erfopvolging), baik menurut undang – undang maupun menurut surat wasiat

5)      Penyerahan (levering) berdasarkan suatu peristiwa perdata untuk memindahkan  hak milik, dilakukan oleh seseorang yang berhak berbuat bebas terhadap benda itu.
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, cara memperoleh hak milik di luar Pasal 584 KUHPdt yang diatur oleh Undang-Undang adalah:
1)      Penjadian benda (zaaksvorming);
2)      Penarikan buahnya (vruchttrekking);
3)      Persatuan benda (vereniging);
4)      Pencabutan hak (onteigening);
5)      Perampasan (verbeurdverklaring);
6)      Pencampuran harta {boedelmenging);
7)      Pembubaran dari sebuah badan hukum;
8)      Abandonnement (dijumpai dalam Hukum Perdata Laut - Pasal 663 KUHD)
d.      Memperoleh hak milik dengan lewat waktu (Verjaring)
Lewat waktu adalah salah satu cara untuk memperoleh hak milik atas suatu benda. Lewat waktu (verjaring) ini ada dua macam, yaitu:
1.      Acquisitieve verjaring, yaitu lewat waktu sebagai alat untuk memperoleh hak-hak kebendaan (di antaranya hak milik).
2.      Extinctieve verjaring, yaitu lewat waktu sebagai alat untuk dibebaskan dari suatu perutangan.
Untuk memperoleh hak milik dengan lewat waktu (acquisitieve verjaring) adalah:           
1)      Harus ada bezit sebagai pemilik;
2)      Bezitnya itu harus te goeder trouw;
3)      Membezitnya itu harus terus-menerus dan tak terputus;
4)      Membezitnya harus tidak terganggu;
5)      Membezitnya harus diketahui oleh umum;
6)      Membezitnya harus selama waktu 20 tahun atau 30 tahun;
7)      20 tahun dalam hal ada alas hak yang sah, 30 tahun dalam al tidak ada alas hak.
e.       Memperoleh hak milik dengan penyerahan (Levering)
Menurut Hukum Perdata, yang dimaksud dengan penyerahan ialah penyerahan suatu benda oleh pemilik atau atas namanya - kepada orang lain, sehingga orang lain ini memperoleh hak milik atas benda itu. Sedangkan menurut Prof. Subekti, per kataan penyerahan mempunyai dua arti, yaitu:
1)      Perbuatan yang berupa penyerahan kekuasaan belaka (feitelijke levering).
2)      Perbuatan hukum yang bertujuan memindahkan hak milik kepada orang lain (juridische levering).
Jadi dapat disimpulkan, bahwa hak milik atas suatu benda baru beralih kepada orang lain, apabila telah terjadi penyerah­an bendanya. Tetapi, cara untuk melakukan penyerahan atas benda itu dapat dibedakan sesuai dengan sifat benda yang akan diserahkan. Menurut Pasal 612 KUHPdt, untuk benda bergerak yang berwujud, penyerahan dapat dilakukan dengan cara:
1)      Penyerahan nyata (feitelijke levering).
2)      Penyerahan kunci dari tempat di mana benda itu berada.
Di samping itu, ada dua bentuk penyerahan lainnya, yaitu:
1)      Traditio brevi manu (penyerahan dengan tangan pendek).
2)      Constitutumpessessorium (penyerahan dengan melanjutkan penguasaan atas bendanya).
Sebaliknya penyerahan atas benda bergerak yang tak berwujud dapat di lakukan dengan cara:
1)      Penyerahan dari piutang atas nama, yang dilakukan dengan cessie, yaitu dengan cara membuat akta otentik atau akta di bawah tangan (Pasal 613 ayat 1 KUHPdt).
2)      Penyerahan dari surat piutang atas bawa, yang dilakukan dengan penyerahan nyata (Pasal 613 ayat 3 KUHPdt).
3)      Penyerahan dari piutang atas pengganti, yang dilakukan dengan penyerahan surat disertai dengan endosemen (Pa­sal 613 ayat 3 KUHPdt).
Penyerahan terhadap benda tidak bergerak dilakukan dengan cara balik nama. Menurut Prof. Subekti, pemindahan hak milik atas benda yang tak bergerak ini tidak cukup dilaksanakan dengan pengoperan kekuasaan belaka, melainkan harus pula dibuat suatu surat penyerahan ("akte van transport") yang harus dikutip dalam daftar eigendom. Sebaliknya, terhadap benda yang bergerak, levering lazimnya berupa penyerahan dari tangan ke tangan.
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, untuk sah-nya penyerahan itu harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
a.      Harus ada perjanjian yang zakelijk.
b.      Harus ada titel (alas hak).
c.       Harus dilakukan oleh orang yang berwenang menguasai benda-benda tadi (orang yang beschikkingsbevoegd).
d.      Harus ada penyerahan nyata.
Menurut sistem KUHPer, suatu pemindahan hak terdiri atas dua macam, yaitu:
1)      Perjanjian obligatoir ialah perjanjian yang bertujuan memindahkan hak, misalnya: perjanjian jual-beli, dan sebagainya.
2)      Perjanjian zakelijk ialah perjanjian yang menyebabkan pindahnya hak-hak kebendaan, misalnya: hak milik, bezit, dan sebagainya.
Selanjutnya mengenai sah atau tidaknya suatu penyerahan itu dapat dilihat dari dua pendapat di bawah ini:
1)      Menurut Causaal Stelsel,
Sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obligatoir, mi­salnya: perjanjian jual-beli atau perjanjian schenking, dan sebagainya. Jadi dengan kata lain, untuk sahnya penyerah­an itu, diperlukan titel yang nyata.
2)      Menurut Abstract Stelsel
Untuk sah atau tidaknya suatu pemindahan hak milik itu tidak digantungkan pada sah atau tidaknya perjanjian obli­gatoir. Jadi dengan kata lain, untuk sahnya penyerahan itu, tidak perlu adanya titel yang nyata dan cukup asal ada titel anggapan saja.


f.        Hak milik bersama (Medeeigendom)
Biasanya, sebuah benda hanya dimiliki oleh seorang pemilik. Tetapi ada kemungkinan lain, bahwa benda itu dapat dimiliki oleh dua orang atau lebih. Kalau benda itu dimiliki oleh lebih dari seorang, maka hak ini disebut dengan hak milik bersama atas sesuatu benda. Mengenai hak milik bersama ini menurut KUHPdt dapat dibagi menjadi dua macam , yaitu :
1)      Hak milik bersama yang bebas
2)      Hak milik bersama yang terikat
g.      Hapusnya hak milik
Pada dasarnya seseorang yang dapat kehilangan hal miliknya apabila :
1)      seseorang memperoleh hak milik itu melalui salah satu cara untuk memperoleh hak milik
2)      Binasanya benda itu
3)      Pemilik hak milik (eigenaar) melepaskan benda itu

14. Kuliah Keempat Belas (K.14)
3.      Hak Servituut
a.      Pengertian hak servituut
1)      Menurut KUHPdt,
Hak servituut disebut juga dengan pengabdian pekarangan, yaitu suatu beban yang diberikan kepada pekarangan milik orang yang satu, untuk digunakan bagi dan demi kemanfaatan pekarangan milik orang yang lain (Pasal 674 ayat 1 KUHPdt).
2)      Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Yang dimaksud dengan "erfdienstbaarheitf atau "ser-vituut" ialah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pe­karangan untuk keperluan suatu pekarangan lain yang berbatasan. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa hak servituut atau hak pekarangan adalah suatu beban yang diletakkan di atas suatu pekarangan untuk keperluan suatu pekarangan lain.
b.      Macam-macam hak pekarangan
Menurut Pasal 677-678 KUHPer, hak pekarangan (servituut)  ini dapat dibedakan :
1)      Hak pekarangan abadi, yaitu hak tersebut dapat dilangsung-kan secara terus-menerus, tanpa bantuan orang lain atau manusia, misalnya: hak mengalirkan air, hak atas peman-dangan ke luar, dan sebagainya.
2)      Hak pekarangan tak abadi, yaitu hak tersebut dalam peng-gunaannya memerlukan sesuatu perbuatan manusia, mi­salnya: hak melintas pekarangan, hak mengambil air, dan sebagainya.
3)      Hak pekarangan yang nampak, yaitu hak terhadap suatu benda yang nampak, misalnya: pintu, jendela, pipa air, dan sebagainya.
4)      Hak pekarangan yang tak nampak, yaitu hak terhadap tanda-tanda yang tak nampak, misalnya: larangan untuk mendirikan bangunan di sebuah pekarangan.
c.    Syarat-syarat hak pekarangan                        
Hak pekarangan (servituut) baru dianggap sah, apabila telah memenuhi syarat-syarat sebagai berikut :
1)      Harus ada dua halaman, yang letaknya saling berdekatan, dibangun atau tidak dibangun dan yang dimiliki oleh berbagai pihak.
2)      Kemanfaatan dari hak pekarangan itu harus dapat dinikmati atau dapat berguna bagi berbagai pihak yang memiliki halaman tadi.
3)      Hak pekarangan harus bertujuan untuk meninggalkan ke­manfaatan dari halaman penguasa.
4)      Beban yang diberatkan itu harus senantiasa bersifat menanggung sesuatu.
5)      Kewajiban-kewajiban yang timbul dalam hak pekarangan itu hanya dapat ada dalam hal membolehkan sesuatu, atau tidak membolehkan sesuatu.
d.      Timbulnya hak pekarangan
Menurut Pasal 695 KUHPdt, hak pekarangan timbul karena:
1)  Suatu perbuatan perdata.
2)  Lewatwaktu.
e.       Hapusnya hak pekarangan
Hak pekarangan hapus karena:
1)  Kedua pekarangan itu jatuh ke tangan satu orang (Pasal 706 KUHPdt).
2)  Selama 30 tahun berturut-turut tidak dipergunakan (Pa­sal 707 KUHPdt).
4.      Hak Opstal
a.      Pengertian hak opstal
Prof. Subekti mengutarakan pendapatnya tentang pengertian hak opstal dengan mengacu pada Pasal 711 KUHPdt, yaitu adalah suatu hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman-tanaman di atas tanahnya orang lain. Sebaliknya menurut Pasal 711 KUHPdt, hak opstal disebut juga dengan hak numpang-karang, yaitu adalah suatu hak kebendaan untuk mempunyai gedung-gedung, bangunan-bangunan dan penanaman di atas pekarangan orang lain. Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimaksud dengan hak opstal adalah hak untuk memiliki bangunan-bangunan atau tanaman di atas tanah orang lain.
Hak opstal ini dapat dipindahkan pada orang lain atau da­pat dipakai sebagai hipotik dan atau hak tanggungan, di mana hak ini  diperoleh karena perbuatan perdata (Pasal 713 KUHPdt).
b.      Hapusnya hak opstal
Menurut Pasal 718-719 KUHPdt, hak opstal dapat hapus karena:
1)      Hak opstal jatuh ke dalam satu tangan.
2)      Musnahnya pekarangan.
3)      Selama 30 tahun tidak dipergunakan.
4)      Waktu yang diperjanjikan telah lampau.
5)      Diakhiri oleh pemilik tanah. Pengakhiran ini hanya dapat dilakukan setelah hak tersebut paling sedikit sudah diper­gunakan selama 30 tahun, dan harus didahului dengan suatu pemberitahuan paling sedikit 1 tahun sebelumnya.
5.      Hak Erfpacht
a.      Pengertian hak erfpacht
Menurut Pasal 720 ayat (1) KUHPdt itu sendiri adalah suatu hak kebendaan untuk menikmati sepenuhnya akan kegunaan suatu barang tak bergerak milik orang lain, dengan kewajiban akan membayar upeti tahunan kepada si pemilik sebagai pengakuan akan kepemilikannya, baik berupa uang, baik berupa hasil atau pendapatan. Prof. Subekti mengutarakan pendapat-nya tentang pengertian hak erfpacht dengan mengacu pada Pasal 720 KUHPer, yaitu suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan seluas-luasnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun, yang dinamakan "pachf atau "canon".
Dengan demikian dapat disimpulkan, bahwa yang dimak­sud dengan hak erfpacht (hak guna usaha) adalah hak ke­bendaan untuk menikmati sepenuhnya untuk waktu yang lama dari sebidang tanah milik orang lain, dengan kewajiban membayar sejumlah uang atau penghasilan tiap-tiap tahun. Hak erfpacht ini dapat juga dijual atau dipakai sebagai jaminan hutang (hipotik).
b.      Berakhirnya hak erfpacht
Hak erfpacht ini berpindah pada para ahli warisnya apabila orang yang mempunyai hak meninggal. Sama seperti berakhir­nya hak opstal, maka menurut Pasal 736 KUHPdt, hak erfpacht ini dapat hapus karena :
1)  Hak opstal jatuh ke dalam satu tangan.
2)  Musnahnya pekarangan.
3)  Selama 30 tahun tidak dipergunakan.
4)  Waktu yang diperjanjikan telah lampau.
5)  Diakhiri oleh pemilik tanah.
6.      Hak Pakai Hasil
a.      Pengertian hak pakai hasil
1)      Menurut KUHPdt,
Hak pakai hasil adalah suatu hak kebendaan, dengan mana seorang diperbolehkan menarik segala hasil dari sesuatu kebendaan milik orang lain, seolah-olah dia sendiri pemilik kebendaan itu, dengan kewajiban memeliharanya sebaik-baiknya (Pasal 756 KUHPdt).
2)      Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 756 KUHPdt, vruchtgebruik adalah suatu hak kebendaan untuk menarik penghasilan dari suatu benda orang lain, seolah-olah benda itu kepunyaannya sendiri, dengan kewajiban menjaga supaya benda tersebut tetap dalam keadaannya semula.
3)      Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 756 KUHPdt, hak memungut hasil ialah suatu hak untuk memungut hasil dari barang orang lain seolah-olah seperti eigenaar dengan kewajiban untuk memelihara barang itu supaya tetap adanya.
Dari uraian isi pasal 756 KUHPdt ini tampaklah, bahwa hak memungut hasil (yruchtgebruik) tidak hanya memberikan hak untuk menarik penghasilan saja, melainkan juga hak untuk memakai benda itu.
b.      Cara memperoleh hak pakai hasil
Menurut Pasal 759 KUHPdt, hak pakai hasil ini diperoleh karena:
1)  Undang-undang.
2)  Kehendak si pemilik.
c.       Kewajiban si pemakai hasil
Menurut ketentuan Pasal 783-784 KUHPdt, kewajiban-kewajiban daripada orang yang mempunyai hak pakai hasil (vruchtgebruiker) adalah sebagai berikut:
1)      Membuat catatan/daftar pada waktu ia menerima haknya.
2)      Menanggung segala biaya pemeliharaan dan perbaikan yang biasa.
3)      Memelihara benda itu sebaik-baiknya dan menyerahkannya dalam keadaan yang baik apabila hak itu berakhir. Apabila ia melalaikan kewajibannya tersebut, maka ia dapat dituntut untuk mengganti kerugian.
d.      Hapusnya hak pakai hasil
Menurut Pasal 807 KUHPdt, hak pakai hasil (hak memungut hasil) hapus karena:
1)      Meninggalnya si pemakai.
2)      Tenggang waktu yang diberikan telah lewat waktu atau telah terpenuhkan.
3)      Percampuran, yaitu apabila hak milik dan hak pakai hasil berada di tangan satu orang.
4)      Pelepasan hak oleh si pemakai kepada pemilik.
5)      Kadaluwarsa, yaitu apabila si pemakai selama 30 tahun tak mempergunakan haknya.
6)      Musnahnya benda itu seluruhnya.

7.      Hak Gadai
a.      Pengertian hak gadai
1)      Menurut KUHPdt
Gadai adalah suatu hak kebendaan yang diperoleh seorang berpiutang atas suatu barang bergerak, yang diserahkan kepadanya oleh seorang berutang atau oleh seorang lain atas namanya, dan yang memberikan kekuasaan kepada si berpiutang itu untuk mengambil pelunasan dari barang tersebut secara didahulukan daripada orang-orang berpiutang lainnya; dengan kekecualian biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk menyelamatkannya setelah barang itu digadaikan, biaya-biaya mana harus didahulukan (Pasal 1150 KUHPdt).
2)      Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1150 KUHPdt, pandrecht adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda yang bergerak kepunyaan orang lain, yang semata-mata diperjanjikan dengan menyerahkan bezit atas benda tersebut, dengan tujuan untuk mengambil pelunasan suatu hutang dari pendapatan penjualan benda itu, lebih dahulu dari penagih-penagih lainnya.
3)      Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Gadai ialah suatu hak yang diperoleh kreditur atas suatu barang bergerak, yang diberikan kepadanya oleh debitur atau orang lain atas namanya untuk menjamin suatu utang, dan yang memberikan kewenangan kepada kreditur untuk mendapat pelunasan dari barang tersebut lebih dahulu dari kreditur-kreditur lainnya, terkecuali biaya-biaya untuk melelang barang tersebut dan biaya yang telah dikeluarkan untuk memelihara benda itu, biaya-biaya mana harus didahulukan.
b.      Sifat-sifat hak gadai
Hak gadai ini bersifat accessoir, yaitu merupakan tambahan saja dari perjanjian pokok yang berupa perjanjian pinjaman uang. Ini dimaksudkan untuk menjaga jangan sampai si ber-utang itu lalai membayar kembali utangnya. Menurut Pasal 1160 KUHPdt, hak gadai ini tidak dapat dibagi-bagi. Artinya, se-bagian hak gadai itu tidak menjadi hapus dengan dibayarnya sebagian dari utang. Gadai tetap meletak atas seluruh benda-nya.
c.       Syarat-syarat timbulnya hak gadai
Hak gadai lahir dengan penyerahan kekuasaan atas barang yang dijadikan tanggungan pada pemegang gadai. Hak atas barang gadai ini dapat pula ditaruh di bawah kekuasaan seorang pihak ketiga atas persetujuan kedua belah pihak yang berkepentingan (Pasal 1152 ayat 1 KUHPdt). Selanjutnya menurut Pasal 1152 ayat (2) KUHPdt, gadai tidak sah jika bendanya dibiarkan tetap berada dalam kekuasaan si pemberi gadai (si berutang).
d.      Obyek hak gadai
Yang dapat dijadikan obyek dari hak gadai ialah semua benda yang bergerak, yaitu:
1)      Benda bergerak yang berwujud.
2)      Benda bergerak yang tak berwujud, yaitu berupa pelbagai hak untuk mendapatkan pembayaran utang, yaitu yang berwujud:
a)  Surat-surat piutang atas pembawa.
b)  Surat-surat piutang atas tunjuk.
c)  Surat-surat piutang atas nama.
e.       Hak si pemegang hak gadai
Hak-hak dari si pemegang hak gadai adalah sebagai berikut:
1)      Si pemegang gadai berhak untuk menggadaikan lagi barang gadai itu, apabila hak itu sudah menjadi kebiasaan, seperti halnya dengan penggadaian surat-surat sero atau obligasi (Pasal 1155 KUHPdt).
2)      Apabila si pemberi gadai (si berutang) melakukan wanprestasi, maka si pemegang gadai (si berpiutang) berhak untuk menjual barang yang digadaikan itu; dan kemudian mengambil pelunasan utang dari hasil penjualan barang itu. Penjualan barang itu dapat dilakukan sendiri atau dapat juga meminta perantaraan hakim (Pasal 1156 ayat 1 KUHPdt).
3)      Si pemegang gadai berhak untuk mendapatkan ganti biaya-biaya yang telah ia keluarkan untuk menyelamatkan barang yang digadaikan itu (Pasal 1157 ayat 2).
4)      Si pemegang gadai berhak untuk menahan barang yang digadaikan sampai pada waktu utang dilunasi, baik yang mengenai jumlah pokok maupun bunga (Pasal 1159 ayat 1 KUHPer).
f.       Kewajiban si pemegang gadai
Seorang pemegang gadai mempunyai kewajiban-kewajiban sebagai berikut:
1)      Si pemegang gadai wajib memberitahukan pada orang yang berutang apabila ia hendak menjual barang gadainya (Pasal 1156 ayat 2 KUHPdt).
2)      Si pemegang gadai bertanggung jawab atas hilangnya atau merosotnya harga barang yang digadaikan, jika itu semua terjadi karena kelalaiannya (Pasal 1157 ayat 1 KUHPdt).
3)      Si pemegang gadai harus memberikan perhitungan ten-tang pendapatan penjualan itu dan setelah ia mengambil pelunasan utangnya, maka ia harus menyerahkan kelebihannya pada si berutang (Pasal 1158 KUHPdt).
4)      Si pemegang gadai harus mengembalikan barang gadai, apabila utang pokok, bunga dan biaya untuk menyelamat­kan barang gadai telah dibayar lunas (Pasal 1159 KUHPdt). Apabila si pemberi gadai (si beutang) tidak memenuhi kewajiban-kewajibannya, maka tak diperkenankanlah si berpiutang memiliki barang yang digadaikan. Segala janji yang bertentangan dengan ini adalah batal (Pasal 1154 ).
g.      Hapusnya hak gadai
Pada dasarnya, hak gadai dapat hapus karena:
1)  Seluruh utangnya sudah dibayar lunas.
2)  Barang gadai hilang/musnah.
3)  Barang gadai ke luar dari kekuasaan si penerima gadai.
4)  Barang gadai dilepaskan secara sukarela.
15. Kuliah Kelima Belas (K.15)
8.      Hak Hipotik
a.      Pengertian hipotik
1)      Menurut KUHPdt,
Hipotik adalah suatu hak kebendaan atas benda-benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perikatan (Pasal 1162).
2)      Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu dari Pasal 1162 KUHPdt, hipotik  adalah suatu hak kebendaan atas suatu benda tak berge­rak, bertujuan untuk mengambil pelunasan suatu utang dari (pendapatan penjualan) benda itu.
3)      Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1162 KUHPdt, hipotik ada­lah suatu hak kebendaan atas benda tak bergerak, untuk mengambil penggantian daripadanya bagi pelunasan suatu perutangan {verbintenis).
b.      Sifat dari hipotik
Sama seperti halnya dengan hak gadai, hipotik sifatnya adalah accessoir, yaitu adanya tergantung pada perjanjian pokok. Pada dasarnya, hipotik mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1)      Hipotik lebih didahulukan pemenuhannya dari piutang yang lain atau droit depreference (Pasal 1133 KUHPdt).
2)      Hipotik itu tak dapat dibagi-bagi dan meletak di atas selu­ruh benda yang menjadi obyeknya (Pasal 1163 ayat 1 KUHPdt).
3)      Hak hipotik itu senantiasa mengikuti bendanya dalam tang-an siapa benda itu berada atau droit de suite (Pasal 1163 ayat 2 KUHPdt).
4)      Obyek hipotik adalah benda-benda tetap, yaitu yang dapat dipakai sebagai jaminan adalah benda-benda tetap, baik yang berwujud maupun yang berupa hak-hak atas tanah (Pasal 1164 KUHPdt).
5)      Hak hipotik hanya berisi hak untuk pelunasan utang saja dan tidak mengandung hak untuk menguasai/memiliki bendanya.
c.       Subyek dan obyek hipotik
Suatu hipotik hanya dapat diberikan oleh pemilik benda itu (Pasal 1168 KUHPdt). Sedangkan yang dapat dijadikan obyek hipotik adalah benda yang tak bergerak. Menurut Pasal 1164 KUHPdt, yang dapat dibebani dengan hipotik adalah:
1)      Benda-benda tak bergerak.
2)      Hak pakai hasil atas benda tersebut.
3)      Hak opstal dan hak erfpacht.
4)      Bunga tanah.
5)      Bunga sepersepuluh.
6)      Pasar-pasar yang diakui oleh Pemerintah beserta hak istimewa yang melekat padanya.
Di luar Pasal 1164 KUHPer yang dapat dibebani hipotik ialah
1)      Bagian yang tak dapat dibagi-bagi dalam benda tak berge­rak yang merupakan hak milik bersama (hak milik bersama yang bebas). f 2) Kapal (diatur dalam KUHD). Selanjutnya menurut Pasal 1167 KUHPdt, benda bergerak tidak dapat dibebani dengan hipotik.
d.      Syarat-syarat hipotik
Cara untuk mengadakan hipotik harus memenuhi syarat-syarat tertentu, yaitu:
1)      Harus dengan akta notaris, kecuali dalam hal-hal yang dengan tegas ditunjuk undang-undang (Pasal 1171 KUHPdt).
2)      Harus didaftarkan ke Kantor Balik Nama (Pasal 1179 KUHPdt).
e.       Asas-asas hipotik
Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, ada dua asas dalam hipotik, yaitu:
1)      Asas publiciteit
Yaitu asas yang mengharuskan bahwa hipotik itu harus didaftarkan pada pegawai pembalikan nama, yaitu pada kantor kadaster. Yang didaftarkan ialah akte dari hipotik itu.
2)      Asas specialiteit
Yaitu asas yang menghendaki, bahwa hipotik hanya dapat diadakan atas benda-benda yang ditunjukkan secara khusus untuk dipakai sebagai tanggungan.
f.       Hapusnya hipotik
Menurut Pasal 1209 KUHPdt, hak hipotik dapat hapus karena:
1)  Hapusnya perikatan pokoknya.
2)  Si berpiutang melepaskan hipotiknya.
3)  Penetapan tingkat oleh hakim.
g.      Perbedaan antara gadai dan hipotik
Pada dasarnya, antara gadai dengan hipotik terdapat perbedaan, yaitu antara lain:
1)      Pada gadai, benda jaminannya adalah benda bergerak, sedangkan pada hipotik adalah benda tak bergerak.
2)      Gadai harus disertai dengan penyerahan kekuasaan atas benda yang dijadikan gadai, sedangkan pada hipotik syarat yang demikian tidak ada.
3)      Perjanjian gadai dapat dibuat secara bebas dan tidak terikat pada bentuk tertentu, sedangkan pada perjanjian hipotik harus dibuat dengan akte otentik.
4)      Pada gadai, lazimnya benda jaminan hanya digadaikan satu kali, sedangkan pada hipotik, benda yang dipakai sebagai jaminan dapat dihipotikkan lebih dari satu kali.
Dari penguraian tentang hipotik ini, jika dikaitkan dengan pembebanannya atas tanah dan benda-benda yang ada di atas tanah, sejak berlakunya Undang-undang Hak Tanggungan No. 4 Tahun 1996, dinyatakan tidak berlaku lagi ketentuan yang mengatur tentang hipotik tersebut yang terdapat dalam KUHPdt, kecuali seperti pesawat terbang dan kapal laut, dapat dipedomani ketentuan KUHPdt tersebut.
9.      Hak Istimewa (Privilege)
a.      Pengaturan privilege
Pada dasarnya banyak yang tidak setuju apabWa privilege di-atur dalam Buku II KUHPdt. Menurut mereka, privilege bu-kan merupakan hak kebendaan dan hanya merupakan hak untuk lebih mendahulukan dalam pelunasan/pembayaran piutangnya. Lebih lanjut menurut mereka, privilege sebaiknya bisa diatur di luar KUHPer atau diatur dalam hukum acara perdata (dalam hal pelelangan dan kepailitan).
Menurut Prof. Subekti, meskipun privilege mempunyai sifat-sifat yang menyerupai pand dan hypotheek, tetapi kita belum dapat menamakannya suatu hak kebendaan, karena privilege itu barulah timbul apabila suatu kekayaan yang telah disita ternyata tidak cukup untuk melunasi semua utang dan karena privilege itu tidak memberikan sesuatu kekuasaan terhadap suatu benda.
Sedangkan menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, karena privilege ini sekalipun bukan merupakan hak kebendaan dalam satu dua hal mempunyai sifat kebendaan juga, dalam satu dua hal menunjukkan sifat droit de suite. Privilege ini sedikit banyak memberikan jaminan juga, oleh karena itu, maka menurut sistem hukum KUHPdt, privilege ini diatur bersama dengan pengaturan pand dan hipotik. Lebih lanjut menurut beliau, privilege bukan jaminan yang bersifat kebendaan dan bukan jaminan yang bersifat perorangan, tetapi memberi ja­minan juga. Privilege adalah hak terhadap benda, yaitu terhadap benda debitur. Jika perlu benda itu dapat dilelang untuk melunasi piutangnya. Sedangkan hak kebendaan itu adalah hak atas sesuatu benda. Jadi, adanya privilege itu diberikan oleh undang-undang, bukan diperjanjikan seperti gadai dan hipotik. Sedangkan menurut Pasal 1134 ayat (2) KUHPdt, gadai dan hipotik mempunyai kedudukan yang lebih tinggi darfpada hak istimewa, kecuali dalam hal-hal di mana oleh undang-undang ditentukan sebaliknya.
b.      Pengertian hak istimewa
1)      Menurut KUHPer,
Hak istimewa ialah suatu hak yang oleh undang-undang diberikan kepada seorang berpiutang sehingga tingkatnya lebih tinggi daripada orang berpiutang lainnya, semata-mata berdasarkan sifatnya piutang (Pasal 1134 ayat 1 KUHPdt).
2)      Menurut Prof. Subekti, S.H.,
Dengan mengacu pada Pasal 1134 ayat (1) KUHPdt, yang dimaksudkan dengan privilege ialah suatu keduduk­an istimewa dari seorang penagih yang diberikan oleh undang-undang melulu berdasarkan sifat piutang.
3)      Menurut Prof. Dr. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, S.H., Dengan mengacu pada Pasal 1134 ayat (1) KUHPdt, privilege adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada kreditur yang satu di atas kreditur lainnya semata-mata berdasarkan sifat dari piutangnya.
c.       Macam-macam privilege
Menurut undang-undang, privilege ini ada 2 (dua) macam, yaitu:
1)      Privilege khusus
Adalah piutang-piutang yang diistimewakan terhadap benda-benda tertentu (Pasal 1139 KUHPdt).
2)      Privilege umum
Adalah piutang-piutang yang diistimewakan terhadap semua harta benda (Pasal 1149 KUHPdt).
Menurut ketentuan Pasal 1138 KUHPdt, privilege yang khusus ini didahulukan dariipada privilege yang umum.
10.  Hak Reklame
Hak reklame ini diatur dalam Pasal 1145-1146a KUHPdt dan . dalam KUHD (Pasal 230 dan seterusnya). Yang dimaksud dengan . hak reklame adalah hak yang diberikan kepada si penjual untuk meminta kembali barangnya yang telah diterima oleh si pembeli ' setelah pembeli membayar tunai. Jadi, jikalau penjualan telah dilakukan dengan tunai, maka si penjual mempunyai kekuasaan menuntut kembali barang-barangnya, selama barang-barang ini masih berada di tangan si pembeli, asal saja penuntutan kembali ini dilakukan dalam jangka waktu 30 hari setelah penyerahan barang kepada si pembeli (Pasal 1145 ayat 1 KUHPdt).
Menurut undang-undang, hak si penjual ini gugur/tidak dapat dilaksanakan apabila:
1)      Barang-barang yang telah diterima pembeli, ternyata telah disewakan (Pasal 1146).
2)      Barang-barang tersebut oleh pembeli telah dibeli pihak ketiga dengan itikad baik dan telah diserahkan kepada pihak ketiga tersebut (Pasal 1146a KUHPdt).
Dari uraian di atas dapat disimpulkan, bahwa hak reklame ini mempunyai unsur yang dimiliki dalam hak kebendaan, yaitu ;memberikan kekuasaan langsung pada bendanya dan dapat dipertahankan terhadap siapa pun juga. Oleh karena hak reklame ini ada miripnya dengan hak kebendaan, maka ia diatur dalam Buku II KUHPdt.
11.  Hak Retentie
Hak retentie ini juga diatur dalam Buku II KUHPdt, karena mengandung persamaan dengan gadai. Hak retentie ini juga memberikan jaminan dan juga bersifat accessoir. Menurut Prof. Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, yang dimaksud dengan hak retentie adalah hak untuk menahan sesuatu benda, sampai suatu piutang yang bertalian dengan benda itu dilunasi. Sedangkan menurut H.F.A. Vollmar, hak menahan (hak retentie) adalah hak untuk tetap memegang benda milik orang lain sampai piutang si pemegang mengenai benda tersebuttelah lunas. Hak retentie ini mempunyai sifat yang tak dapat dibagi-bagi. Artinya, pembayaran atas sebagian utang saja, tidak berarti ha-pusnya hak retentie (harus mengembalikan sebagian dari barang yang ditahan). Hak retentie hapus apabila seluruh utang telah dibayar lunas.                                                                 
12.  Hak Kebendaan Menurut Undang-Undang Pokok Agraria
Menurut Pasal 16 Undang-Undang Pokok Agraria No. 5 Tahun 1960, hak-hak atas tanah adalah sebagai berikut:
a.      Hak milik
Adalah hak turun-temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat semua hak atas tanah mempunyai fungsi sosial (Pasal 20 ayat 1 UUPA).
b.      Hak guna usaha
Adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara, dalam jangka waktu paling lama 25 tahun, guna perusahaan pertanian, perikanan atau peternakan (Pasal 28 ayat 1 UUPA).
c.       Hak guna bangunan
Adalah hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri, dengan jangka waktu paling lama 30 tahun (Pasal 35 ayat 1 UUPA).
d.      Hak pakai
Adalah hak untuk menggunakan dan/atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberiannya oleh pejabat yang berwenang memberikannya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanah nya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah, segala sesuatu asal tidak bertentangan dengan jiwa dan undang-undang ini (Pasal 41 ayat 1 UUPA).
e.       Hak sewa untuk bangunan
Adalah hak seseorang atau suatu badan hukum mempergunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan, dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa (Pasal 44 ayat 1 UUPA).
f.       Hak membuka hutan dan memungut hasil hutan
Adalah hak membuka tanah dan memungut hasil hutan yang hanya dapat dipunyai oleh warganegara Indonesia. Dengan mempergunakan hak memungut hasil hutan secara sah, tidak dengan sendirinya diperoleh hak milik atas tanah itu (Pasal 46 UUPA).
g.      Hak guna air, pemeliharaan dan penangkapan ikan
Adalah hak memperoleh air untuk keperluan tertentu dan/atau mengalirkan air itu di atas tanah orang lain (Pasal 47 ayat 1 UUPA).
h.      Hak guna ruang angkasa
Adalah hak untuk mempergunakan tenaga dan unsur-unsur dalam ruang angkasa, guna memelihara, memperkembangkan kesuburan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dan hal lainnya yang bersangkutan dengan itu (Pasal 48 (1).
i.        Hak-hak tanah untuk keperluan suci dan sosial
Adalah hak milik tanah badan-badan keagamaan dan sosial sepanjang dipergunakan untuk usaha dalam bidang keagamaan dan sosial diakui dan dilindungi. Badan-badan tersebut dijamin pula akan memperoleh tanah yang cukup untuk bangunan dan usahanya dalam bidang keagamaan dan sosial (Pasal 49 ayat 1 UUPA).
13.  Hak Tanggungan Menurut Undang-Undang Hak Tanggungan
a.      Pengertian hak tanggungan
Mengenai hak tanggungan ini diatur dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1996 tentang "hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah" dan disingkat dengan Undang-Undang Hak Tanggungan (UUHT). Maksud  hak tanggungan adalah hak jaminan atas ta­nah yang dibebankan pada hak atas tanah, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditur tertentu terhadap kreditur-kreditur yang lain (Pasal 1 angka 1 UUHT).
Kehadiran Undang-Undang Hak Tanggungan ini adalah bertujuan untuk:
1)      Menuntaskan unifikasi tanah nasional, dengan menyatakan tidak berlaku lagi ketentuan Hipotik dan Credietverband (Pasal 29 UUHT).
2)      Menyatakan berlakunya UUHT dan Hak Tanggungan dinyatakan sebagai satu-satunya hak jaminan atas tanah. Oleh karena itu, tidak berlaku lagi Fidusia sebagai hak jaminan atas tanah.
b.      Sifat-sifat hak tanggungan
Pada dasarnya, hak tanggungan ini mempunyai sifat-sifat sebagai berikut:
1)      Kreditur pemegang hak tanggungan diutamakan (droit de preference) daripada kreditur-kreditur lainnya dalam rangka pelunasan atas piutangnya (Pasal 1 angka 1 UUHT).
2)      Tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan oleh kreditur dan debitur dilaksanakan roya partial (Pasal 2 UUHT).
3)      Obyek hak tanggungan dapat dibebani lebih dari satu hak tanggungan (Pasal 5 UUHT).
4)      Hak tanggungan tetap mengikuti obyeknya ditangan siapa pun obyek tersebut berada (Pasal 7 UUHT).
5)      Hak tanggungan hanya dapat diberikan oleh yang berwenang atau yang berhak atas obyek hak tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 2 UUHT).
6)      Hak tanggungan dapat beralih kepada kreditur lain apabila perjanjian kreditnya dipindahkan kepada kreditur yang bersangkutan karena cessie atau subrograsi (Pasal 16 UUHT).
7)      Pemegang hak tanggungan tetap berwenang melakukan segala hak yang diperolehnya menurut UUHT, apabila pemberi hak Tanggungan dinyatakan pailit (Pasal 24 UUHT).
c.       Obyek hak tanggungan
Menurut Pasal 4 UUHT, obyek dari hak tanggungan adalah sebagai berikut:
1)      Hak Milik (Pasal 25 UUPA), Hak Guna Usaha (Pasal 33 UUPA), dan Hak Guna Bangunan (Pasal 39 UUPA).
2)      Hak Pakai atas tanah Negara, yang memenuhi syarat se­bagai berikut:
a)  Bersertifikat
b)  Dapat diperjual-belikan
3)      Bangunan Rumah Susun dan Hak Milik Atas Satuan Riimah Susun, yang berdiri di atas tanah Hak Milik, Hak Guna Bangunan atau Hak Pakai yang diberikan oleh Negara (UU No. 16/1985 tentang Rumah Susun).
Pemberi dan pemegang hak tanggungan Pemberi hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan yang bersangkutan (Pasal 8 ayat 1 UUHT).
Sedangkan pemegang hak tanggungan adalah orang atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang (kreditur). Sebagai pemegang hak tanggungan, dapat berstatus Warganegara Indonesia, Badan Hukum Indonesia, Wargane-gara Asing atau Badan Hukum Asing, baik yang berkedudukan di Indonesia maupun di luar negeri, sepanjang kredit yang bersangkutan dipergunakan untuk kepentingan pembangunan di wilayah negara Republik Indonesia (Pasal 9 UUHT).
d.      Lahirnya hak tanggungan
Hak tanggungan lahir sejak tanggal hari ketujuh (hari kerja ketujuh), setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftaran hak tanggungan dinyatakan leng­kap oleh Kepala Seksi Pendaftaran Tanah di Kantor Pertanahan yang bersangkutan.                                        
e.       Hapusnya hak tanggungan
Menurut Pasal 18 UUHT, hak tanggungan hapus karena hal-hal sebagai berikut:
1)      Hapusnya piutang yang dijamin dengan hak tanggungan.
2)      Dilepaskannya hak tanggungan oleh kreditur pemegang hak tanggungan.
3)      Pembersihan hak tanggungan berdasarkan penetapan Ketua Pengadilan Negeri atas permohonan pembeli obyek hak tanggungan.
4)      Hapusnya hak atas tanah yang dibebani hak tanggungan.